“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: ‘Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.’ Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”(al-A’raaf:28)
Orang orang kafir mengklaim bahwa keburukan yang dilakukannya adalah perintah Allah, padahal Allah tidak pernah memerintahkan berbuat keburukan. Dan sebenarnya perbuatan mereka adalah tradisi nenek moyangnya yang diatasnamakan perintah Allah. Mereka telah berbuat culas dengan mengutip firman Allah yang tidak pernah difirmankanNya.
Dan setelah empat belas abad berlalu kini sejarah berulang. Saya sering mendengar orang mengatakan, Islam begini atau Islam begitu, sembari mengabaikan informasi valid dari sumber Islam, yaitu Quran dan Hadis, yang jelas jelas betentangan dengan klaim Islam begini atau Islam begitu. Apa yang dikatakannya tentang Islam sebenarnya bukan Islam seperti difirmankan Pemiliknya, melainkan keinginan orang itu agar Islam menjadi begini atau begitu. Kalau orang orang kafir dulu menyandarkan klaimnya pada tradisi nenek moyang, orang orang modern bersandar pada inferioritas yang berujung pada kepatuhan tanpa batas kepada kemajuan peradaban Barat. Ini cara cara yang culas dalam menafsirkan Islam, dan pemerkosaan paling biadab terhadap kebebasan menentukan pilihan. Dan apa pemerkosaan yang lebih keji dan lebih nista dari pemerkosaan terhadap kehendak Allah agar Islam menjadi Islam seperti yang dikehendakiNya?
Islam adalah Agama yang dirisalahkan kepada Nabi Muhammad. Dan apa yang disampaikan Nabi Muhammad tentang Islam didokumentasikan dalam Quran dan Hadis. Oleh karena itu klaim apapun tentang Islam harus tetap berada dalam wilayah pemahaman teks Quran dan Hadis. Itulah Islam. Ambil kalau mau atau tinggalkan dan cari saja tuhan lain. Dan mencari tuhan lain lebih bermartabat ketimbang membungkus peradaban tuhan lain dalam kemasan Islam.
Pada ekstrem yang berseberangan sekelompok orang mengatakan, hanya ada satu pemahaman terhadap teks Quran dan Hadis yang benar, yaitu pemahaman orang orang terdahulu. Selebihnya adalah kesesatan atau sekurang kurangnya bid’ah yang kelak mendapat imbalan neraka. Mereka mengira akal manusia tak ubahnya microchip buatan pabrik yang merespon setiap perintah dengan cara dan hasil yang sama persis. Dan karenanya jika ada microchip yang tidak merespon secara seragam akan diklasifikasikan sebagai sampah. Ini pengingkaran yang nyata terhadap fitrah keberagaman manusia.
Pemahaman terhadap teks sudah pasti bukan teks itu sendiri. Rasulullah memerintahkan orang orang yang mendengar sesuatu dari beliau agar menyimpannya persis dengan apa yang didengarnya untuk kemudian mentransmisikannya kepada orang lain persis dengan apa yang disimpannya. Selanjutnya Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang tidak mendengar langsung bisa jadi lebih paham dibanding orang yang mendengar langsung dari Rasulullah. Perintah Rasulullah ini menegaskan tiga hal. Pertama, pengakuan terhadap keberagaman pemahaman. Kedua, pemahaman terhadap teks bukan monopoli orang orang terdahulu. Ketiga, penyampaian teks harus dipisahkan dari pemahaman terhadap teks itu sendiri.
Dengan demikian jelaslah bahwa teks Quran dan Hadis yang merupakan sekumpulan informasi mengenai Islam sudah purna dan sempurna. Tetapi pemahaman terhadap teks itu akan (seharusnya) terus berlangsung sampai kapanpun. Dan setiap pemahaman meimiliki tingkat probabilitas kebenaran yang sama. Malik di depan makam Rasulullah berkata, “kullun yu’khadzu bihi wa yuraddu ‘alaihi illa saahiba haadza al-maqaam”. Semua pendapat bisa diambil atau ditolak kecuali pendapat pemilik makam ini yaitu Rasulullah. Syafi’i berkata tentang ijtihad Sahabat, “hum rijaal wa nahnu rijaal”. Mereka generasi Sahabat adalah orang orang yang berijtihad dan generasi kami juga berijtihad. Oleh karena itu Syafi’iy tidak menempatkan ijtihad Sahabat sebagai pendapat yang mengikat generasi selanjutnya seperti Quran ataupun Hadis.
Itulah dua kutub ekstrem dalam memahami Islam. Kutub pertama berbicara tentang Islam bukan dari sumber Islam. Dan kutub kedua berbicara tentang Islam seraya menafikan pihak lain yang sama sama mengacu kepada sumber Islam. Kalau harus memilih saya pasti memilih kutub kedua.
Tetapi saya yakin ada cara yang lebih baik dalam memahami Islam. Oleh karena itu saya tidak memilih kutub kedua apalagi kutub pertama. Saya lebih memilih mengembangkan pemahaman terhadap teks teks Quran dan Hadis sesuai dengan perkembangan mutakhir generasi sekarang. Menurut saya ini pilihan yang masuk akal dan memiliki rujukan yang meyakinkan dalam teks teks Quran dan Hadis serta fakta sejarah ijtihad.
Umat Islam sepakat bahwa Rasulullah diutus untuk segenap umat manusia. Dan karenanya Islam seperti didakwahkan Rasulullah berlaku lintas generasi. Masing masing generasi umat Islam tentu berada dalam situasi dan tuntutan perubahan yang tidak selalu sama. Dalam keadaan seperti ini maka keberlakuan Islam secara lintas generasi memiliki dua kemungkinan. Pertama, Islam diberlakukan kepada semua generasi sama persis dengan Islam yang dipraktikkan pada masa Rasulullah, tanpa memandang keadaan dan tuntutan spesifik lokal. Kedua, Islam diberlakukan kepada semua generasi dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya perubahan sesuai dengan tuntutan spesifik.
Kemungkinan pertama mengandung potensi haraj atau keadaan sulit. Sebab suatu masalah yang sama dalam situasi yang berbeda tentu menuntut perlakuan yang berbeda pula. Keadaan bepergian adalah situasi yang berbeda dari keadaan tinggal di rumah. Dalam perbedaan ini Islam menerapkan perlakuan yang berbeda. Islam memperkenankan kepada orang yang bepergian hal hal yang tidak diperkenankan kepada orang yang tinggal di rumah, seperti menunda puasa, jama’ dan Qoshor sholat. Sebab membebankan kepada orang yang bepergian hal hal yang sama dengan yang dibebankan kepada orang yang tinggal di rumah akan menimbulkan kesulitan. Dan Islam tidak mengehendaki kesulitan dalam bergama. Ini sekedar contoh yang sudah umum dikenal.
Contoh yang lebih ekstrem adalah nikah mut’ah. Ibnu Mas’ud mengisahkan bahwa saat itu umat Islam sedang berperang bersama Rasulullah dan sudah barang tentu tidak menyertakan kaum perempuan. Kemudian mereka meminta kepada Rasulullah agar diijinkan melakukan kebiri. Tetapi Rasulullah melarangnya dan justru mengijinkan nikah mut’ah (Buchori:4686). Dalam kondisi perang, dimana mereka jauh dari perempuan perempuan mereka, ada dua pilihan untuk merespon hasrat seksual yaitu: membunuh sama sekali hasrat tersebut; atau memenuhinya dengan cara cara darurat, dalam hal ini nikah mut’ah. Dan ternyata Rasulullah memilih mengijinkan nikah mut’ah. Hal ini menunjukkan bahwa dalam situasi berbeda Islam memberlakukan perlakuan yang berbeda pula.
Dengan demikian jelaslah bahwa keberlakuan Islam secara lintas generasi tetap mempertimbangkan perbedaan situasi demi menghindari terjadinya kesulitan kesulitan dalam mengamalkan ajaran Islam. Karena Allah tidak menghendaki kesulitan dalam beragama.
Selain persoalan situasi dan tuntutan yang berbeda, risalah lintas generasi juga menghadapi persoalan keterbatasan teks. Tidak diragukan lagi bahwa jumlah seluruh teks Quran dan seluruh Hadis yang beredar adalah bilangan yang jauh dari cukup untuk bisa menyediakan pedoman praktis dan instan bagi seluruh generasi umat Islam di berbagai tempat. Bahkan pedoman praktis yang disiapkan para imam mazhab pun tidak mungkin menjangkau seluruh perkembangan mutakhir tiap generasi.
Dari kenyataan ini dapat dilihat bahwa risalah lintas generasi mengimplikasikan tuntutan kreatifitas dan inovasi dalam setiap generasi untuk menjembatani keterbatasan teks dan perkembangan mutakhir yang dihadapi masing masing generasi.
Hal inilah yang ditangkap generasi Sahabat sepeninggal Rasulullah. Banyak peristiwa yang menggambarkan bagaimana para Sahabat mengatasi persoalan baru dengan mengandalkan ra’yu, atau kreatifitas akal. Dan diantara sekian contoh, yang menurut saya paling mengesankan adalah peristiwa jam’ul Quran, atau dokumentasi tunggal dan terstruktur terhadap Quran.
Zaid bin Tsabit mengisahkan bahwa setelah peristiwa gugurnya ahlul Yamamah, yaitu pasukan Islam yang disiapkan untuk menumpas kesesatan Musailamah si pendusta, Abu Bakar memanggilnya dan di sana sudah ada Umar. Abu Bakar berkata kepada Zaid bahwa Umar datang kepadanya dan mengatakan, “kematian telah banyak merenggut para qurraa’ (pencatat Quran baik dengan hafalan maupun tulisan) di hari yamamah. Dan saya khawatir kematian juga akan merenggut para qurraa’ di medan (perang) lain dan mengakibatkan hilangnya banyak qurraa’. Saya berpendapat, sebaiknya engkau (Abu Bakar) memerintahkan kodifikasi Quran”. Abu Bakar menjawab, “Bagaimana engkau melakukan sesuatu yang Rasulullah tidak pernah melakukannya”. Umar berkata, “Demi Allah ini adalah hal baik”. Abu Bakar melanjutkan, “Umar terus membujukku sampai akhirnya Allah melapangkan dadaku dan (akhirnya) aku juga berpendapat sama dengan pendapat Umar”. Selanjutnya Abu Bakar menugaskan Zaid bin Tsabit, dengan melihat kapasaitasnya sebagai sekertaris Rasulullah dalam mencatat wahyu, untuk mengumpulkan catatan cataran Quran dari para qurraa’ (Buchori:4603).
Abu Bakar, seperti kisah di atas, merasa bahwa jam’ul Qur’an tidak memiliki rujukan tekstual dari sumber ajaran Islam. Namun setelah mempertimbangkan masak masak usulan Umar, Abu Bakar menjadi yakin bahwa jam’ul Qur’an memang harus dilakukan. Dan yang menarik, alasan umar mengusulkan jam’ul Qur’an adalah karena menurutnya itu “hal baik”. Jika Abu Bakar, demikian juga Zaid bin Tsabit, merasa bahwa jam’ul Qur’an tidak memiliki landasan tekstual, maka “hal baik” yang disampaikan Umar tentulah bermakna landasan yang bersifat rasional.
Generasi Sahabat tidak hanya berijtihad pada persoalan yang tidak ada presedennya pada masa Rasulullah, tetapi juga berijtihad pada pesoalan yang sudah ada presedennya pada masa Rasulullah. Anas bin Malik menceritakan Rasulullah memukul (bukan mencambuk) orang yang minum arak dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali. Pada masa kepemimpinannya, Abu bakar juga memukul peminum sebanyak empat puluh kali. Ketika Umar menjabat sebagai Khalifah, ia meminta pendapat kepada Sahabat lain tentang hukuman bagi peminum. Abdurrahman bin ‘Auf mengusulkan agar peminum dipukul delapan puluh kali. Lalu Umar pun memerintahkan agar peminum dihukum dengan delapan puluh kali pukulan (Muslim:3218).
Versi penuturan Anas bin Malik yang lain menyebutkan bahwa Alasan Umar ingin memperberat hukuman bagi peminum adalah karena umat Islam waktu itu “hidup dekat dengan daerah subur”(Muslim 3219). Dalam Syarah-nya Nawawi menjelaskan bahwa pada masa kepemimpinan Umar, dimana wilayah Islam semakin meluas dan kesejahteraan umat Islam meningkat, banyak orang yang melanggar larangan minum arak. Dan Buchori menuturkan bahwa Umar menerapkan hukuman yang lebih berat dari yang pernah dilakukan Rasulullah dan Abu Bakar, ketika angka pelanggaran minum arak meningkat (Buchori:6281).
Di sini saya melihat bahwa Umar, dengan mempertimbangkan kondisi rill yang dihadapinya, tidak menempatkan apa yang dilakukan pendahulunya sebagai ketetapan yang berharga mati. Dan keputusan Umar ini mendapat pengakuan dari Ali bin abi Thalib dengan mengatakan, “Rasulullah mencambuk (peminum arak) empat puluh kali, Abu bakar juga empat puluh kali dan Umar delapan puluh kali. Semuanya adalah sunnah (tradisi). Dan ini (empat puluh) lebih saya sukai.” (Muslim 3220).
Dari cerita di atas semakin jelas bahwa ijitihad bagi umat Islam adalah keniscayaan sebagai upaya mengatasi persoalan di masanya. Ijtihad bukan sekedar upaya menemukan solusi baru bagi persoalan baru, melainkan juga upaya memperbaharui ketetapan lama agar penerapannya sesuai dengan kondisi riil baru.©2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar