Kamis, 28 Maret 2013

Kekuasaan Etnis Mawali di Timur Islam, Menguak Sejarah Thahiriyah, Samaniyah dan Ghaznawiyah

A. Pendahuluan


Sebelum datangnya Islam, Iran, Iraq, Transoxania[1], Sijistan (sekarang disebut Afganistan) dan Khurasan menjadi wilayah kekuasaan Imperium Persia. Penaklukan wilayah kekuasaan Persia oleh pasukan Islam dimulai sejak masa Abu Bakar.Pada tahun 13 H di bawah kepemimpinan panglima Kholid bin Walid pasukan Islam berhasil menumbangkan kekuasaan Hera di Irak Utara yang merupakan kerajaan satelit Persia. Penaklukan ini berlanjut pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Dalam perang Qadisiyah (sekarang masuk wilayah Kuwait) tahun 16 H, pasukan Islam yang dipimpin Sa’ad bin Abi Waqhos berhasil memukul mundur pasukan Persia yang dipimpin Rustum. Sejak kekalahan ini praktis tidak ada perlawanan berarti terhadap penetrasi pasukan Islam ke wilayah Persia.Utsman bin Affan yang menggantikan Umar bin Khattab melanjutkan penaklukan Persia. Pada tahun 30 H. Abdullah bin Amr yang saat itu menjabat sebagai gubernur Bashrah menaklukkan Khurasan. Hingga akhir masa kepemimpinan Utsman bin Affan hampir seluruh wilayah Iran, Iraq, Sijistan dan Khurasan tunduk di bawah kekuasaan kekhalifahan Islam. Wilayah Persia yang masih tersisa, yaitu Transoxania, ditaklukkan pasukan Islam pada tahun 86 H di bawah pimpinan Qutaibah bin Muslim pada masa kepemimpinan Walid bin Abdul Malik dari dinasti Umayyah[2].


Berkahirnya kekuasaan Persia tidak berarti berkahir pula peradaban Persia. Dengan banyaknya etnis Persia yang memeluk Islam, dan banyaknya etnis Arab yang berhijrah ke wilayah Persia, lahirlah generasi baru di bekas wilayah kekuasaan Persia yang memadukan peradaban Islam dengan peradaban Persia.


Di bekas wilayah kekuasaan Persia inilah kelak lahir kerajaan-kerajaan Islam yang otonom ataupun sama sekali terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Kerajaan-kerajaan ini lazim disebut dengan kerajaan-kerajaan Islam Timur atau al-Masyriq al-Islamy.


B. Benih-Benih Kekuasaan Persia dan Turki di Wilayah Timur Islam


Ajaran suatu agama tidak selalu berbanding lurus dengan perilaku penganutnya.Di dalam Islam jelas diajarkan egalitarianisme. Rasulullah dalam khutbahnya di hari Tasyriq bersabda:


يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّوَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى ..


Wahai Orang-orang! Ingatlah bahwa Tuhan kalian satu dan nenek moyang kalian satu. Tiada keutamaan bagi etnis Arab atas etnis non Arab; bagi etnis non Arab atas etnis Arab; bagi kulit merah atas kulit hitam; bagi kulit hitam atas kulit merah, kecuali dengan takwa … (Ahmad:22391)


Namun demikian warga non Arab yang biasa disebut mawali, termasuk diantaranya etnis Persia dan Turki, mendapat perlakuan diskrimatif dan rasis selama pemerintahan dinasti Umayyah. Ibnu al-Atsir dalam al-Kamil menceritakan:


Al-Jarroh bin Abdullah (gubernur Khurasan saat itu) membawa tiga orang, dua etnis Arab dan satu mawali, menghadap Umar bin Abdul Aziz. Dua orang Arab tersebut ikut berbicara sedangkan si mawali hanya diam saja.Umar bertanya, “Bukankah kamu termasuk rombongan mereka?”Si mawali menjawab, “benar”. Lalu Umar bertanya, “mengapa kamu tidak ikut berbicara?”.Si mawali menjawab, “20 (duapuluh) ribu mawali ikut berperang tanpa mendapat gaji.Orang-orang seperti mereka seharusnya terbebas dari kewajiban yang dibebankan kepada ahlu dzimmah (jizyah) dan hanya dikenakan kharraj.Pemimpin kami orang yang keras kepala dan rasis yang berdiri di atas mimbar sembari berkata,’Aku datang kepadamu tanpa alas kaki.Dan sekarang aku orang yang fanatik. Demi Allah, satu orang dari kaumku lebih aku cintai daripada seratus orang dari kaum lain’. Ia termasuk salah satu pedang Hajjaj.[3]


Penuturan di atas menggambarkan tiga hal. Pertama, etnis mawali sebagai tentara tidak mendapatkan pembagian yang adil. Kedua, meskipun mereka telah memeluk Islam, tetapi tetap dikenakan jizyah, yang seharusnya hanya dikenakan kepada non muslim. Ketiga, etnis mawali merasa bahwa penguasa saat itu bersifat rasis dan kejam terhadap etnis mereka.


Dalam kehidupan sosial sehari-hari, etnis mawali juga mendapatkan perlakuan yang tidak kalah buruk. Ibnu Abdi Rabbihi dalam al-Aqdu al-Farid menuturkan bahwa orang Arab menganggap aib ma’mum kepada mawali. Ketika ada jenazah mawali, seorang Arab rasis, Nafi’ bin Jubair bin Muth’im, bertanya, “jenazah siapakah itu?”. Ketika dijawab, “jenazah orang Quraisy”, Nafi’ berkata, “oh… kaumku”; ketika dijawab, “jenazah orang Arab”, Nafi’ berkata, “oh… negaraku”; dan ketika dijawab, “jenazah mawali”, Nafi’ berkata, “itu harta Allah”. Dengan kata lain, bagi Nafi’ etnis mawali adalah harta benda. Di kalangan Arab rasis, mawali disejajarkan dengan binatang. Mereka berkata, “Tidak memutus sholat kecuali tiga hal: keledai, anjing dan mawali”.  Arab rasis juga tidak pernah menyebut mawali dengan nama kunyah-nya, yang merupakan panggilan kehormatan.[4]


Karena itu tidak mengherankan, jika beberapa perlawanan terhadap kekuasaan dinasti Umayyah seringkali melibatkan etnis mawali, seperti perlawanan Abdullah bin Zubair dan al-Mukhtar. Bahkan seorang etnis Persia, yaitu Abu Muslim al-Khurasani, menjadi salah satu kekuatan terpenting dalam koalisi yang kemudian menumbangkan kekuasaan dinasti Umayyah.


Di bawah kekuasaan dinasti Abbasiyah, kehidupan etnis mawali menjadi lebih baik. Banyak orang Persia yang menduduki jabatan penting dalam kekhalifahan Abbasiyah, seperti: kepala jawatan, panglima perang, menteri dan gubernur. Bahkan al-Mahdiy mengangkat Ya’qub bin Dawud sebagai menteri dan menyerahkan segala urusan kekhalifahan kepadanya. Begitu besarnya kekuatan Ya’qub hingga Bassyar bin Burd membuat syair yang menggambarkan bahwa khalifah adalah Ya’qub bin Dawud. Sedangkan khlaifah yang sesungguhnya berada diantara kesenangan arak dan musik.[5]


Dari keluarga Barmak, seorang keturunan Persi, muncul nama-nama yang menduduki jabatan penting semasa kekuasaan dinasti Abbasiyah. Diawali dari Kholid bin Barmak yang pernah menjabat sebagai kepala jawatan pajak[6] dan gubernur Mosul pada pemerintahan al-Mansur[7]. Kemudian putranya, Yahya bin Kholid menjabat gubernur Azerbeijan juga pada masa al-Manshur[8]. Ketika al-Rasyid naik tahta, Yahya diangkat menjadi menteri dan orang kepercayaan Khalifah.[9] Demikian pula dua putra Yahya yaitu, al-Fadl bin Yahya, yang juga saudara sesusuan al-Rasyid, diangkat sebagai gubernur Khurasan dan Ja’far bin Yahya menjabat sebagai gubernur Mesir[10].


Ketika terjadi perebutan kekuasaan antara al-Amin dan al-Ma`mun, etnis Persia berada di barisan al-Ma`mun. Kemenangan al-Ma’mun memberikan jalan bagi etnis Persia untuk memasuki panggung kekuasaan. Thohir bin Husain, yang membantu al-Ma`mun merebut kekuasaan dari al-Amin, mendapat jabatan sebagai gubernur Khurasan.[11]


Dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi. Demikian pun yang terjadi dengan hubungan politik antara Ya’qub bin Dawud dengan al-Mahdiy dan keluarga Barmak dengan al-Rasyid. Al-Mahdiy yang semula sangat mempercayai Ya’qub bin Dawud harus memenjarakannya setelah menyadari begitu besarnya pengaruh Ya’qub melebihi pengaruh kekuasaan khalifah[12]. Demikian pula al-Rasyid harus mempreteli kekuasaan dan memenjarakan keluarga Barmak, bahkan membunuh Ja’far bin Yahya[13]. Thohir bin Husain beruntung. Karena meskipun ia memperlihatkan sedikit pembangkangan, al-ma`mun tidak memecatnya, bahkan putranya dikukuhkan sebagai gubernur Khurasan sepeninggal Thohir.


Pengalaman pahit ini tampaknya memberikan pelajaran berharga bagi al-Mu’tashim. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Abbasiyah, seorang khalifah mengangkat orang kepercayaan bukan dari etnis Arab ataupun Persia, melainkan dari etnis Turki. Al-Mu’tashim merupakan khalifah Abbasiyah pertama yang mempekerjakan etnis turki di jawatan-jawatan pemerintah. Pegawainya dari etnis Turki mencapai belasan ribu orang[14].


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bermula dari penindasan yang diterima selama masa dinasti Umawiyah, etnis Persia dan Turki mendapatkan kedudukan yang berpengaruh selama masa pemerintahan dinasti Abbasiyah. Pengaruh-pengaruh ini pada gilirannya menanamkan benih-benih kekuasaan etnis Persia dan Turki di wilayah timur Islam. Bersamaan melemahnya kekhalifahan Abbasiyah setelah meninggalnya al-Watsiq di tahun 232, benih-benih kekuasaan ini semakin subur hingga menjelma menjadi kerajaan-kerajaan Islam Timur yang terpisah dari kekuasaan Abbasiyah dan diperintah oleh etnis Persia dan Turki. Islam Persia diwakili oleh kerajaan Thahiriyah, Shfariah, Samaniyah dan Buwaihiah. Dan Turki Islam diwakili oleh kerajaan Ghaznawiyah, Seljukiah dan Khawarizimiyah.


Dalam makalah ini hanya akan dibahas kerajaan Thahiriyah, Samaniyah dan Ghznawiyah..


C. Thohiriyah (205-259)


Sejatinya Thohiriyah bukanlah kerajaan yang terpisah dari kerajaan Abbasiyah. Seperti telah dijelaskan di muka, al-Ma’mun mengangkat Thohir bin Husain sebagai gubernur Khurasan. Pengangkatan ini terjadi pada tahun 205. Dengan demikian, sesungguhnya Thohir bin Husain bukanlah seorang raja, melainkan emir atau gubernur. Yang membedakannya dari gubernur-gubernur lain adalah keberanian Thohir, menjelang wafatnya, menghilangkan doa untuk khalifah Abbasiyah dalam khutbahnya[15]. Penghilangan doa ini melambangkan pembangkangan terhaddap kerajaan pusat Abbasiyah.


Namun demikian khurasan tetap berada di bawah kendali politik al-Ma’mun. Setelah Thohir bin Husain wafat tahun 207, al-Ma’mun mengangkat putera Thohir, Abdullah bin Thohir[16], sebagai gubernur Khurasan. Penaklukan Abdullah bin Thohir atas Mesir dan Alexandria juga atas perintah al-Ma`mun. Dengan demikian naiknya Abdullah bin Thohir sebagai gubernur Khurasan bukanlah atas legitimasi politik putera mahkota melainkan karena legitimasi politik kekuasaan pusat Abbasiyah.


Abdullah bin Thohir meninggal pada tahun 230. Hingga meninggalnya wilayah kekuasaan abdullah mencakup Khurasan, Tibristan, Kirman dan wilayah sekitarnya termasuk sebagian wilayah Transoxania. Pengganti Abdullah bin Thohir adalah Thohir bin Abdullah bin Thohir atas dasar pengangkatan al-Watsiq[17]. Thohir bin Abdullah meninggal tahun 248 pada masa pemerintahan al-Musta’in. Muhammad bin Thohir, puteranya, ditetapkan oleh al-Musta’in, sebagai gubernur Khurasan sedangkan wilayah Iraq dipercayakan kepada Muhammad bin Abdullah, saudara Thohir bin Abdullah[18]. Kekuasaan Bani Thohir bin Husain berakhir setelah Thohir bin Abdullah dikalahkan Ya’qub bin al-Laits, pendiri kekuasaan Shofariyah, pada tahun 259[19].


Berikut daftar penguasa Khurasan dari bani Thohir:




  1. Thohir bin al-Husain, 205-207

  2. Abdullah bin Thohir, 207-230

  3. Thohir bin Abdullah, 230-248

  4. Muhammad bin Thohir, 248-259


D. Catatan Atas Sejarah Thahiriyah


Beberapa catatan atas sejarah Thahiriyah adalah sebagai berikut:




  1. Ada dua jenis gubernur yang berkuasa pada masa Abbasiyah. Pertama, gubernur yang ditentukan oleh pemerintah pusat Abbasiyah. Kedua, Gubernur yang ditetapkan karena secara de facto telah menguasai wilayahnya, dan pemerintah pusat tidak berdaya menghadapinya[20]. Kendali Abbasiyah terhadap Dinasti Thahiriyah masih kuat pada masa pemerintahan al-Ma`mun. Dan karenanya pada awal masa pemerintahannya, Dinasti Thahiriyah masih berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Abbasiyah. Demikian pun pengangkatan Abdullah bin Thahir oleh al-Ma`mun bukan karena kekuasaan  de facto dinasti Thahiriyah, tetapi lebih karena kecakapan yang dimiliki Abdullah.

  2. Penetapan Emir setelah Abdullah bin Thahir tampaknya masuk kategori pengukuhan Emir de facto. Sebab, Dinasti Thahiriyah menjadi sangat kuat secara militer pasca kepemimpinan Abdullah.


E. Samaniyah (261-389 H)


Kejayaan dinasti Saman berawal dari hubungan baik empat putera Asad bin Saman, yaitu: Nuh, Ahmad, Yahya dan Ilyas, dengang al-Rasyid. Mereka telah berjasa membantu memadamkan pemberontakan Rafi’ bin Laits di Samarkand. Dengan memandang jasa dan loyalitas mereka kepada kekhalifahan Abbasiyah, al-Ma`mun mengangkat keempat putera Asad bin Saman sebagai gubernur: Nuh di Samarkand, Ahmad di Farghanah, Yahya di Syas dan Ilyas di Herat. Ketika Nuh meninggal, kekuasaan Samarkand dikendalikan sekaligus oleh Ahmad, saudaranya. Kemudian Nashr bin Ahmad menguasai Samarkand pada tahun 251 H sepenginggal ayahnya.


Selama dinasti Thohiriyah berkuasa, Samarkand menjadi salah satu wilayah kekuasaan dinasti Thohiriyah. Karenanya, penguasa Samarkand adalah pembantu penguasa Khurasan. Atau dengan kata lain kekuasaan Samarkand adalah sub kekuasaan Khurasan. Dan karenanya pula, pengukuhan ataupun pengangkatan Nashr bin Ahmad dilakukan oleh penguasa dinasti Thohiriyah dan bukan langsung dilakukan Abbasiyah pusat. Nashr bin Ahmad baru mendapat pengukuhan sebagai gubernur Samarkand langsung dari khalifah Abbasiyah pada tahun 261, dua tahun setelah runtuhnya dinasti Thohiriyah di Khurasan[21]. Sejak saat itulah dinasti Saman menancapkan kekuasaannya di Samarkand, bahkan kemudian berkembang hingga ke seluruh wilayah Transoxania dan Khurasan.


Nashr bin Ahmad (261-279 H). Di bawah kepemimpinan Nashr bin Ahmad, Samarkand mendapatkan stabilitas politik dan keamanan. Kekuasaan bani Saman semakin harum dan mendapatkan pengakuan dari wilayah-wilayah di sekitar Samarkand. Ketika Bukhoro bergejolak, salah satu faksi di Bukhoro meminta Nashr Bin Ahmad agar turut campur menyelesaikan persoalan mereka. Lalu dikirmlah saudaranya, Ismail bin Ahmad ke Bukhoro. Kehadiran Ismail bin Ahmad mendapatkan sambutan hangat dari faksi-faksi Bukhoro. Dan merekapun sepakat menetapkan Ismail sebagai gubernur Bukhoro di bawah kekuasaan Samarkand. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Nashr bin Ahmad kekuasaan Bani Saman sudah meluas hingga ke Bukhoro. Nashr bin Ahmad meninggal tahun 279 dan kedudukannya sebagai penguasa Samarkand digantikan saudaranya, Ismail bin Ahmad.


Ismail bin Ahmad (279-295). Di tangan Ismail bin Ahmad, kekuasaan Bani Saman semakin kuat dan meluas. Setelah melalui masa peperangan bertahun-tahun, akhirnya Ismail berhasil mengalahkan Amr bin laits, penguasa Bani Shaffar di Khurasan. Dan Ismail diakui Pemerintah Abbasiyah Pusat seabagai penguasa Transoxania, Khurasan, Turkistan dan Jurjan. Ismail juga berhasil merebut wilayah Tibristan dari tangan Muhammad Zaid serta menguasai wilayah Rayyu dan Qozwain. Pada tahun 291, Ismail berhasil menahan serangan tentara Turki yang menyerbu wilayah timur Transoxania. Ismail meninggal di Bukhoro pada tahun 295.


Ahmad Bin Ismail (295-301). Ahmad Bin Ismail menggantikan kedudukan ayahnya dan mendapatkan pengukuhan dari al-Muktafi, Penguasa Abbasiyah. Penaklukan wilayah-wilayah Bani Shaffar yang telah dilakukan Ismail dilanjutkan putranya Ahmad bin Ismail. Sijistan, wilayah terakhir yang dikuasai Bani Shaffar, berhasil direbut Ahmad bin Ismail pada tahun 295. Ahmad juga berhasil memadamkan beberapa pemberontakan di wilayah kekuasaan Bani Saman. Namun, wilayah Tibristan dan Daelam tak mampu dipertahankan dari pemberontakan Hasan Bin Ali yang mendapat julukan al-Uthrusy.


Nashr bin Ahmad bin Isma’il (301-331). Ahmad bin Isma’il terbunuh pada tahun 301 H. kedudukannya digantikan puteranya, Nashr bin Ahmad bin Isma’il, yang saat itu baru berusia 8 tahun. Banyak orang meragukan kemampuan Nashr bin Ahmad. Pada saat itu dari keluarga Saman ada yang lebih senior yaitu, Ishaq bin Ahmad bin Asad, kakek-paman dari Nashr bin Ahmad, yang menjabat sebagai gubernur Samarkand. Ishaq bin Ahmad telah mengkampanyekan dirinya dan anak-anaknya di seluruh wilayah Transoxania kecuali Bukhoro untuk menggantikan Ahmad bin Ismail. Bahkan Ishaq bin Ahmad meminta kepada Khalifah Abbasiyah, al-Muqtadir, agar diberi kekuasaan di wilayah Khurasan dan sekitarnya. Namun, al-Muqtadir lebih memilih Nashr bin Ahmad sebagai pengganti ayahnya.


Tidak berhasil mendapat dukungan al-Muqtadir, Ishaq bin Ahmad mengangkat senjata dan menyerbu Bukhoro yang menjadi pusat kekuasaan Bani Saman. Dalam beberapa kali penyerbuannya Ishaq bin Ahamd selalu gagal dan dapat dikalahkan tentara yang setia dengan Nashr bin Ahmad. Bahkan akhirnya Samarkand pun kembali ke pangkuan Nashr bin Ahmad sebagai penguasa yang sah.


Pemberontakan keluarga Ishaq bin Ahmad terus berlangsung di berbagai daerah kekuasaan Bani Saman. Manshur bin Ishaq melakukan pemberontakan di Naisabur dan Sijistan. Peperangan antara Nashr dan Manshur berlangsung selama empat tahun, dari tahun 302 hingga 306 dan berakhir dengan kemenangan Nashr. Tahun 310 Ilyas bin Ishaq mencoba merebut Samarkand dan berhasil di tumpas Nashr bin Ahmad. Muhammad bin Ilyas bin Ishaq menguasai Kirman pada tahun 322. Tetapi tentara Nashr di bawah pimpinan Makan bin Kali berhasil merebutnya kembali.


Pemberontakan juga dilakukan beberapa pembantu Nashr bin Ahmad. Tahun 328 Makan bin Kali, yang semula menjadi pembantu setia Nashr, melakukan pemberontakan di Jurjan. Pemberontakan ini dapat dipadamkan tentara Nashr di bawah pimpinan Abu Ali bin Muhtaj, gubernur Khurasan, sekaligus merebut Rayyu dari pemberontakan Wasymakir.


Selama kepemimpinannya, Nashr bin Ahmad berhasil merebut daerah Rayyu, Qozwain, Zinjan, Abhar dan Qum serta merebut kembali Jurjan dan Tibristan yang sempat jatuh ke tangan Hasan bin Ali pada masa kepemimpinan Ahmad Bin Ismail. Tetapi di akhir masa kepemimpinannya wilayah Rayyu, yang ssat itu dipercayakan kepada Wasymakir, berhasil direbut oleh Ruknud Daulah bin Buwaih.


Nuh bin Nashr (331-343). Nashr bin Ahmad meninggal tahun 331. Dan kematiannya menandai awal kemunduran kekuasaan Bani Saman. Sepeninggal Nashr bin Ahmad banyak pemimpin-pemimpin daerah yang berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Bani Saman. Tugas berat telah menanti Nuh bin Nashr, suksesor Nashr bin Ahmad. Nuh bin Nashr terlibat pertempuran dengan Ruknud Daulah untuk merebut kembali Rayyu yang berkahir dengan kemenangan Nuh bin Nashr pada tahun 333. Nuh bin Nashr juga menghadapi ketidakpuasan kalangan prajurit di daerah atas perlakuan tidak adil pemimpinnya. Ketidak-puasan ini mendorong para prajurit untuk menobatkan Ibrahim bin Ahmad bin Ismail, paman Nuh bin Nashr, sebagai pemimpin tandingan. Mereka bersekutu dengan Abu Ali bin Muhtaj dan berhasil mengusai Bukhoro, Marwa dan Naisabur pada tahun 335. Tetapi kemudian terjadi pecah kongsi antara Ibrahim bin Ahmad dengan Abu Ali bin Muhtaj. Ibrahim sepakat mengembalikan kekuasaanya kepada Nuh bin Nashr dengan kompensasi jabatan Panglima Pasukan Bukhoro. Sedangkan Abu Ali bin Muhtaj terus melakukan perlawanan terhadap Nuh bin Nashr. Pasang surut hubungan Nuh bin Nashr dengan Abu Ali berakhir dengan dikuasainya Khurasan oleh Abu Ali pada tahun 343. Kemenangan Abu Ali atas Nuh bin Nashr di Khurasan tidak lepas dari bantuan militer Muizud Daulah bin Buwaih dan dukungan politik Khalifah Abbasiyah al-Muthi’ yang memberikan pengakuan terhadap kekuasaan Abu Ali.


Abdul Malik bin Nuh (343-350). Abdul Malik bin Nuh naik tahta setelah Nuh bin Nashr meninggal pada tahun 343. Kerja pertamanya adalah merebut kembali Khurasan dari tangan Abu Ali. Ia memerintahkan Bakar bin Malik memimpin pasukannya menyerbu Khurasan. Dalam pertempuran itu banyak pasukan Abu Ali yang membelot ke Bakar bin Malik. Khurasan berhasil direbut kembali dan Abu Ali melarikan diri dan meminta perlindungan Ruknud Daulah di Rayyu.


Manshur bin Nuh (350-366). Kepemimpinan Abdul Malik bin Nuh hanya berlangsung 7 Tahun. Ia meninggal pada tahun 350 dan kekuasaan Bani Saman beralih ke tangan saudaranya, Manshur bin Nuh. Pada masa kepemimpinannya penduduk Sijistan melakukan pemberontakan dan mereka menggulingkan emir Samani, Kholaf bin Ahmad, dan mengangkat emir baru, Thohir bin Husain. Manshur bin Nuh mengirimkan bala bantuan untuk mendukung Kholaf. Terjadilah perang berkepanjangan yang berakhir dengan perdamaian win win solution: nama Manshur bin Nuh kembali dikumandangkan dalam khotbah sebagai simbol kekuasaan Bani Saman dan Hasan Bin Thohir bin Husain ditetapkan sebagai emir Sijistan.


Pada tahun 357 terjadi perang antara Manshur bin Nuh dengan Ruknud Daulah, penguasan Bani Buwaih di Rayyu. Perang ini berkahir damai pada tahun 361 dengan syarat: Ruknud Daulah dan puteranya, Adhudud Daulah, masing-masing menyetor upeti sebesar 100 ribu dinar dan 50 ribu dinar tiap tahun kepada Manshur bin Nuh. Bahkan akhirnya Bani Saman berbesan dengan Bani Buwaih ketika Manshur bin Nuh menikahi puteri Adhudud Daulah.


Nuh II bin Manshur (366-387). Kekuasaan Bani Saman beralih ke tangan Nuh II bin Manshur, yang saat itu baru berusia 13 tahun, setelah Manshur bin Nuh meninggal pada tahun 366. Nuh II menghadapi tiga persoalan besar yang mengancam kekuasaan Bani Saman. Pertama, ronrongan komandan pasukan Khurasan, Muhammad bin Ibrahim bin Simagur, yang terus berupaya melepaskan diri dari kekuasaan Bani Saman. Kedua, perebutan kekuasaan di Jurjan dengan Adhudud Daulah dari Bani Buwaih. Ketiga, konflik internal dengan sesama Bani Saman.


Pada tahun 383 komandan Khurasan, yaitu Abu Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin Simagur, membujuk Harun bin Sulaiman Ilik untuk mencaplok Trnsoxania yang memang berbatasan dengan wilayah kekuasaannya. Persekutuan Abu Ali dengan Harun Bin Sulaiman Ilik berhasil merebut Bukhoro dari tangan Nuh II. Sementara Abu Ali semakin mengukuhkan kekuasaanya di Khurasan dan melepaskan diri dari kekuasaan Bani Saman.


Nuh II memang berhasil mengambil kembali Bukhoro ketika Harun bin Sulaiman Ilik meninggal. Tetapi pembangkangan para penguasa daerah yang bersekutu dengan penguasa Bani Buwaih terus berlangsung dan tidak dapat dipadamkan. Pada tahun 384 Nuh II meminta bantuan Subuktigin, penguasa Ghaznah, untuk memadamkan pemberontakan-pemebrontakan di Daerah. Dengan bantuan Subuktigin, Nuh II berhasil merebut kembali Herat, Naisabur dan Khurasan. Sebagai balas budi, Mahmud bin Subuktigin diangkat sebagai komandan pasukan Khurasan.


Manshur II dan Abdul Malik bin Nuh(387-389). Nuh II meninggal pada tahun 387 dan kedudukannya digantikan oleh puteranya, Manshur II bin Nuh. Manshur II mewarisi kekuasaan Bani Saman yang sudah rapuh dan siap menjadi mangsa kekuatan lain. Faiq al-Khossoh yang sejak lama berambisi menguasai Bukhoro bersekutu dengan Ailik Khan yang bermaksud menganeksasi Transoxania. Di Khurasan Manshur II harus berbalik bermusuhan dengan Mahmud Subuktigin. Hal ini terjadi karena kekuasaan Mahmud diberikan kepada Bektozon yang ternyata bukanlah pembantu yang loyal kepada Manshur II. Tahun 389 Bektozon dan Faiq menangkap Manshur dan membunuhnya, kemudian mengangkat Abdul Malik bin Nuh yang masih kecil sebagai pengganti Manshur II.


Abdul Malik tidak berkuasa lama. Mahmud bin Subuktigin berhasil merebut Khurasan dari tangan Bektozon yang merepresentasikan kekuasaan Bani Saman. Sedangkan Transoxania akhirnya berhasil dikuasai Ailik Khan dari Turki. Dengan berakhirnya kekuasaan Abdul Malik bin Nuh berkahir pula kekuasaan Bani Saman.


F. Beberapa Catatan Sejarah Samaniyah


Beberapa catatan atas sejarah Samaniyah adalah:




  1. Hubungan politik Samaniyah dan Abbasiyah mengimplikasikan lemahnya kendali Abbasiyah terhadap wilayah-wilayah yang dikuasai dinasti lain. Dalam beberapa kasus, kehadiran simbol-simbol Abbasiyah hanya dijadikan sebagai legitimasi politik dalam situasi konflik.

  2. Di beberapa wilayah Samaniyah, nama Khalifah Abbasiyah sudah tidak lagi disebut dalam khutbah. Hal ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya Samaniyah adalah kerajaan berdaulat yang berkonfederasi dengan Abbasiyah.

  3. Samaniyah memiliki andil yang besar atas kemajuan ilmu pengetahuan di wilayah Islam Timur. Diantara ulama yang lahir di lingkungan intelektual Samaniyah adalah Abu Bakar ar-Razi, ahli kedokteran, dan Ibnu Sina, fiolsuf dan ahli kedokteran. Samaniyah juga mendorong kemajuan sastra Persia yang mengalami kebangkitanya kembali pada Abad 3. Bahkan bahasa Persia digunakan kembali dalam karya-karya sastra Persia. Tetapi buku-buku di bidang kedokteran, Falak dan filsafat tetap ditulis dalam bahasa Arab. Di Bukhoro, pusat kekuasaan Samaniyah, terdapat buku-buku berkualitas yang tidak pernah ditemukan sebelumnya.[22]

  4. Kehidupan Transoxania menjadi lebih baik selama masa pemerintahan Samaniyah. Hal itu terjadi seiring dengan kemajuan industri, perdagangan dan pertanian di wilayah tersebut. Kondisi politik dan keamanan juga relatif stabil. Al Muqoddasi seperti dikutip Ishomuddin menyebutkan daftar panjang produk-produk industri, pertanian dan pertambangan di kota-kota di Transoxania serta daftar komoditas yang diekspor keluar[23].


G. Ghaznawiyah (366-582)


Ghaznah telah berada di bawah kekuasaan etnis Turki sejak kepemimpinan Albetigin. Ia menjabat sebagai komandan pasukan Ghaznah Dinasti Saman. Kekuasaan Ghaznah beralih ke putranya, Abu Ishaq bin Albetigin. Pada tahun 366 Abu Ishaq meninggal dan berdasarkan kesepakatan tokoh dan pembesar Ghaznah Subuktigin diangkat menjaddi pengganti Abu Ishaq. Sejak saat itulah Dinasti Subuktigin berkuasa di Ghaznah.


Semula kekuasaan dinasti Subuktigin di Ghaznah berada di bawah kekuasaan Dinasti Saman di Bukhoro. Subuktigin atas nama keukasaan Dinasti Saman memperlebar wilayah kekuasaannya hingga Peshawar di timur dan Khurasan di barat. Subuktigin juga berhasil menguasai Kasdhar yang dekat dengan Ghaznah dan Pusta yang terletak diantara Sijistan dan Herat. Kemenangan Subuktigin di wilayah-wilayah tersebut melapangkan jalan baginya untuk melakukan ekspansi  hingga ke wilayah pegunungan Afganistan, yang menjadi wilayah kekuasaan kerajaan India.


Pada dasarnya ekspansi Subuktigin bukan atas komando Pemerintahan Bani Saman. Namun demikian, Subuktigin tetap membawa atribut Bani Saman sebagai penghormatan dan pengakuan atas kekuasaan Bani Saman.


Subuktigin meninggal pada tahun 387 setelah memerintah selama 21 tahun dengan mewariskan pondasi kekuasaan Ghoznah bagi Dinasti Subuktigin. Sebenarnya Subuktigin telah menunjuk Ismail, puteranya, untuk menggantikan kedudukannya. Namun Ismail tidak cukup cakap memimpin Ghaznah. Hal itu mendorong Mahmud, kakak Ismail, untuk mengambil alih kekuasaan Ghaznah. Ismail memimpin Ghaznah selama tujuh bulan dan kemudian digantikan Mahmud.


Seperti telah disebutkan di atas, kekuasaan Bani Saman berakhir pada saat Mahmud bin Subuktigin menjadi penguasa Ghaznah. Dengan berakhirnya kekuasaan Bani Saman, maka kekuasaan Dinasti Subuktigin di Ghaznah tidak lagi berada di bawah bayang-bayang kekuasaan dinasti lain. Dengan demikian sejak kepemimpinan Mahmud kekuasaan Ghaznah tidak lagi mengusung simbol-simbol Dinasti Saman.


Mahmud bin Subuktigin merupakan orang pertama yang menggunakan julukan sultan. Sebelumnya penguasa di daerah menggunakan julukan amir. Al-Qodir memberikan gelar Yamin al-Daulah wa Amin al-Millah. Gelar ini tampak di mata uang yang mencantumkan namanya[24].


Di bawah kepemimpinan Mahmud, kekuasaan Ghaznah terus meluas hingga ke Punjab dan berhasil merebut Asbihan dari tangan Bani Buwaih. Khurasan, yang sempat diberikan Bektozon, dan Naisabur juga berhasil ditaklukkan. Di kedua wilayah ini, simbol-simbol Abbasiyah kembali ditegakkan dengan disebutnya Khalifah Abbasiyah, al-Qodir, dalam khutbah-khutbah. Tahun 393 Mahmud mengekspansi Sijistan yang semula berada di bawah kekuasaan Kholaf bin Ahmad. Rayyu juga berhasil direbut dari tangan Bani Buwaih. Keberhasilan ekspansi Mahmud mencakup pula kemenangannya atas penguasa Turki lain, Arslan bin Seljuk, di gurun Buhkoro. Wilayah Transoxania yang sempat dikuasai Ailik Khan berhasil pula dikuasainya. Dan penaklukan Mahmud ke India menembus hingga wilayah sungai Gangga.


Mahmud tidak hanya berperang untuk menguasai suatu wilayah, tetapi juga berperang untuk memberantas sekte-sekte Islam yang dianggap sesat dan mendakwahkan Islam di wilayah-wilayah yang berpenduduk non Muslim. Mahmud menyebarkan Islam di wilayah perbukitan yang terlatak diantara Ghaznah dan Herat serta wilayah India Selatan yang ditaklukkannya. Beberapa guru dikirimkan ke daerah tersebut untuk mengajarkan agama Islam. Mengikuti perintah al-Qodir, Mahmud mengirim dekrit ke Khurasan yang memerintahkan pelenyapan Mu’tazilah, Qaramithah, Ismailiyah, Rafidlah, Jahamiyah dan Musyabbihah. Dekrit itu juga memerintahkan pelaknatan sekte-sekte tersebut di atas minbar.


Mahmud bin Subuktigin meninggal pada tahun 420 dan menunjuk puteranya, Muhammad bin Mahmud, sebagai penggantinya. Kisah perebutan kekuasaan antara Mahmud dengan saudaranya, Ismail, terulang kepada kedua putera Mahmud. Masud bin Mahmud yang lebih tua berhasil menggulingkan kekuasaan adiknya Muhammad bin Mahmud yang berkuasa hanya 5 bulan.


Seperti lazimnya sejarah kekuasaan dinasti, setelah suatu regim berhasil melebarkan sayap kekuasaanya hingga mencapai puncak kejayaannya, maka regim berikutnya dihadapkan pada persoalan pemberontakan di daerah-daerah yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Dan itulah yang terjadi pada Masud bin Mahmud yang mewarisi puncak kejayaan Mahmud bin Subuktigin. Masud disibukkan dengan berbagai pemberontakan. Di Khurasan berkali-kali Masud terlibat perang dengan Turki Seljuk untuk mempertahankan kekuasaannya. Masud juga dihdapkan dengan pemebrontakan di Asbihan, dan Lahor.


Di samping upayanya memadamkan pemberontakan, Masud juga melakkukan ekspansi. Ia melanjutkan penetrasi ayahnya ke India dan berhasil menguasai benteng Hansi dan Sonipat. Masud juga berhasil menguasai Taiz, Mukran dan Kirman


Masud mati terbunuh pada tahun 432. Muhammad bin Ahmad yang sempat dilengserkan di awal pemerintahannya, kembali berkuasa setelah meninggalnya Masud. Mendengar pembunuhan Ayahnya Maudud bin Masud mengkonsolidasi kekuatannya dan menuju Ghaznah. Tidak lama kemudian pasukan Maudud sudah berhadap-hadapan dengan pasukan pamanya, Muhammad bin Mahmud. Maudud memenangkan pertarungan dan membunuh Muhammad beserta seluruh puteranya kecuali Abdur Rohim bin Muhammad yang tidak setuju dan marah atas rencana pembunuhan Masud.


Maudud terlibat perseteruan dengan saudaranya, Majdud yang menjadi penguasa Ghaznawiyah di Punjab. Majdud melepaskan diri dari kekuasaan Ghaznawiyah dan menyiapkan pasukan untuk meyerbu Ghaznah. Tetapi sebelum sampai di Ghaznah, Majdud meninggal. Musuh laten Ghaznawiyah, yaitu Turki Seljuk, dibawah pimpinan Aleb Arslan berhasil memukul mundur pasukan Maudud di Khurasan.


Upaya penetrasi Ghaznawiyah ke India terus berlanjut di bawah kepemimpinan Maudud bin Masud. Maudud berhasil mempertahankan Lahore, yang menjadi pusat kekuasaan Ghaznawiyah di India, dari serangan penguasa India. Kemenangan Maudud mengharumkan namanya dan menjadikannya sangat disegani di India.


Maudud meninggal pada tahun 441 setelah berkuasa selama 9 tahun. Masud II bin Maudud sempat memegang tampuk kekuasaan selama 5 hari sebelum kemudian berpindah ke tangan pamannya, Ali bin Masud. Namun instabilitas politik yang terjadi pada masa Ali bin Masud dimanfaatkan oleh Abdur Rasyid bin Mahmud bin Subuktigin. Abdur Rasyid mempropagandakan diri sebagai penguasa Ghaznah yang sah.  Propaganda itu mendapatkan sambutan luas dari masyarakat. Abdur Rasyid-pun menuju Ghaznah untuk mengambil alih kekuasaan. Mendengar kedatangan Abdur Rasyid, Ali bin Masud melarikan diri dan Ghaznah jatuh ke tangan Abdur Rasyid.


Turki Seljuk masih menjadi isu utama pemerintahan Abdur Rasyid. Ia berhasil mengusir Turki Seljuk dari Khurasan dengan bantuan Tughrul, ipar Maudud dan pengawal pribadinya. Ketika Tughrul merasa kuat, ia berbalik menjadi salah satu musuh utama Abdur Rasyid. Pada tahun 444 Tughrul berhasil merebut kekuasaan Abdur Rasyid dan membunuhnya.


Pembunuhan Abdur Rasyid memicu kemarahan para komandan pasukan. Tughrul pun dibunuh beramai-ramai oleh para komandan. Dan mereka mengangkat Farrokh Zad bin Masud bin Mahmud sebagai penguasa Ghaznah yang baru.


Farrokh Zad melalui 7 tahun masa kepemimpinannaya dengan menghadapi kekuatan Turki Seljuk dan upaya kudeta para jenderal. Farrokh Zad sempat mengalami percobaan pembunuhan yang dilakukan para jenderal, namun selamat. Tetapi peristiwa itu meninggalkan trauma yang mendalam, hingga sepanjang sisa hidupnya ia selalu dihantui kematian. Pada tahun 451[25] Farrokh Zad meninggal dan kekuasaannya digantikan saudaranya, Ibrahim bin Masud. Pada masa pemerintahan Ibrahim bin Masud Ghaznawiyah berdamai dengan Turki Seljuk. Perdamaian itu terjadi di tahun 451 atau di tahun pertama kepemimpinan Ibrahim. Ibrahim juga melanjutkan upaya penetrasi leluhurnya ke India. Dan ia berhasil menaklukkan wilayah-wilayah di India yang pada masa kepemimpinan ayahnya, masud, maupun kakeknya, Mahmud, tidak dapat ditaklukkan.


Ibrahim bin Masud meninggal tahun 481[26]. Penggantinya adalah Masud bin Ibrahim. Kekuasaan Ghaznah diperebutkan putera-putera Masud bin Ibrahim setelah ia meninggal pada tahun 508. Awalnya Arslan Syah yang menguasai Ghaznah. Tetapi di tahun 510 saudaranya, Bahram Syah bin Masud, berhasil menggulingkan Arslan Syah berkat bantuan Sinjar bin Malik Syah, penguasa Khurasan. Bahkan akhirnya Arslan Syah dibunuh oleh Bahram Syah pada tahun 312[27].Bahram Syah meninggal padda tahun 548 dan kedudukannya digantikan oleh puteranya, Khusyru Syah. Kekuasaan Khusyru Syah yang merepresentasikan kekuasaan Ghaznawiyah berakhir pada tahun 555 di tangan Penguasa Ghouriyyin. Dan berkahirnya kekuasaan Khusryu Syah menandai berakhirnya kekuasaan Dinasti Subuktigin di Ghaznah.Yang tersisa dari Dinasti Subuktigin pasca Khusyru Syah adalah beberapa kerajaan kecil di wilayah India.


H. Beberapa Catatan Atas Sejarah Ghaznawiyah


Beberapa catatan atas sejarah Ghaznawiyah adalah:




  1. Para sultan Ghaznawiyah adalah penganut Sunni fanatik sebagaimana tercermin dari gerakan Sultan Mahmud bin Subuktigin dalam memerangi sekte-sekte yang dianggap sesat.

  2. Kekuasaan Ghaznawiyah telah membuka wilayah-wilayah baru dan menyebarkan ajaran Islam di wilayah-wilayah tersebut, seperti dilakukan sejak masa kepemimpinan Rasulullah hingga Dinasti Umawiyah.

  3. Kekuasaan Ghaznawiyah mendukung terciptanya iklim keilmuan dan tradisi intelektual di wilayah kekuasaannya. Ibnu al-Atsir seringkali menggambarkan sifat dan perilaku Para Sultan Ghaznawiyah dengan mengatakan, “… ia adalah orang yang mencintai ilmu” atau, “..ia sangat menghormati Ulama”. Di antara tokoh intlektual yang lahir dari lingkungan Ghaznawiyah adalah al-Biruni dan al-Ghazali.

  4. Hubungan Ghaznawiyah dengan Samaniyah adalah hubungan tawadlu’ seorang yunior kepada senior. Meskipun di akhir masa kekuasaan Samaniyah, Ghaznawiyah lebih kuat dari Samaniyah, namun Ghazanwiyah tetap memperlakukan Samaniyah sebagai kekuatan pusat. Hal itu terbukti dengan berkibarnya panji-panji Samaniyah ketika Ghaznawiyah melakukan penaklukan. Demikian pula hubungan Ghaznawiyah dengan Abbasiyah. Meskipun Abbasiyah berada diambang kehancurannya, Ghaznawiyah tetap menghormatinya sebagai kekuatan pusat. Hal ini dibuktikan dengan penyebutan nama Khalifah Abbasiyah, al-Qadir, dalam khutbah di wilayah Naisabur dan Khurasan pada masa kepemimpinan Mahmud bin Subuktigin.

  5. Sebagaimana Samaniyah, Ghaznawiyah adalah kerajaan berdaulat yang berkonfedderasi dengan Abbasiyah. Bahkan ketika Abbasiyah runtuh di tahun 477, Ghaznawiyah masih berdiri tegak

  6. Para Sultan Ghaznawiyah termasuk diantara raja-raja terbaik yang pernah dimiliki Sejarah Islam sebagaimana dikatakan Ibnu al-Atsir[28]. Setiap kali menyebut sifat sultan-sultan Ghaznawiyah, Ibnu al-Atsir selalu menyematkan sifat adil pada mereka.


I. Kesimpulan


     Sebelum datangnya Islam, wilayah Khurasan, Transoxania dan sekitarnya berada di bawah kekuasaan Imperium Persia. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar wilayah imperium Persia mulai ditaklukkan oleh pasukan Islam. Hingga masa kekhalifahan Walid bin Abdul Malik, seluruh wilayah kekuasaan Persia berhasil ditaklukkan pasukan Islam. Di wilayah-wilayah inilah kelak berdiri kerajaan-kerajaan Persia dan Turki Islam.


Benih-benih kerajaan itu mulai tumbuh ketika etnis Mawali, Turki dan Persia mendapat perlakuan rasis selama pemerintahan Dinasti Umawiyah. Dan benih itu berkembang semakin subur ketika pada masa Abbasiyah banyak etnis Mawali yang menduduki jabatan-jabatan strategis.


Berdirinya Dinasti Thahiriyah, yang beretnis Persia, merupakan balas budi Khalifah al-Ma`mun atas jasa Thohir Bin Husain dalam mengalahkan al-Amin. Thohir yang diangkat sebagai gubernur Khurasan kemudian membangun Dinasti Thohiriyah. Kekuasaan Dinasti Tohiriyah mencapai puncak kejayaannya di tangan Abdullah bin Thohir. Setelah itu Dinasti Thohiriyah terus mengalami kemunduran hingga akhirnya jatuh di Tangan Ya’qub bin Laits dari Bani Shaffar.


Bani Saman yang juga beretnis Persia membangun dinastinya di wilayah Transoxania. Nashr bin Ahmad yang merupakan emir pertama dari Dinasti Saman, awalnya merupakan sub kekuasaan dinasti Thohiriyah. Setelah kejatuhan Thohiriyah dinasti Saman menjadi penguasa absolut Samarkand. Samaniyah mencapai puncak kejayaannya di tangan Ismail bin Ahmad. Wilayah kekuasaan Samaniyah meluas hingga mencapai seluruh Transoxania dan Khurasan.


Pasca Ismail bin Ahmad, Samaniyah mengalami stagnasi dan secara perlahan wilayah kekuasaannya jatuh ke pihak lain. Manshur II dan Abdul Malik, dua penguasa terakhir Samaniyah, tidak mampu lagi mempertahankan kekuasaannya. Transoxania jatuh ke Tangan Ailik Khan dan Khurasan menjadi milik mantan sekutu Samaniyah, Mahmud bin Subuktigin.


Kekuasaan Ghaznawiyah berawal ketika Subuktigin diangkat penguasa Dinasti Samaniyah sebagai gubernur Khurasan. Dinasti ini terus mengalami perkembangan dan mencapai puncak kejayaannya di tangan Mahmud bin Subuktigin. Selama masa kepemimpinannya, Mahmud Subuktigin berhasil membuka wilayah baru, yaitu India selatan. Penetrasi Mahmud ke India mencapai wilayah sungai Gangga.


Setelah Mahmud meninggal, Ghaznawiyah mengalami banyak pemberontakan, baik dari keluarga maupun dari pihak luar, seperti Bani Buwaih. Penguasa Ghaznawiyah terkahir adalah Khusyru Syah yang kemudian jatuh di tangan Ghowriyin. Pasca tumbangnya Ghaznah di tangan Ghowriyin, beberapa keturunan Subuktigin masih ada yang berkuasa di kerajaan-kerajaan kecil di India.


Secara umum ketiga dinasti ini dapat dikategorikan sebagai kerajaan-kerajaan yang berkonfederasi dengan Abbasiyah. Masing-masing kerajaan memiliki kedaulatannya sendiri, namun bersatu di bawah panji-panji kerajaan Islam dimana Abbasiyah menjadi simbolnya.


Di bidang ilmu pengetahuan, Samaniyah dan Ghaznawiyah memiliki andil cukup besar dalam mengharumkan nama kerajaan Islam. Beberapa tokoh intelektual lahir di lingkungan Samaniyah, seperti Ibnu Sina dan Abu Bakar al-Razi, dan lingkungan Ghaznawiyah, seperti al-Biruni dan al-Ghazali.


Samaniyah mencatat kemajuan di bidang ekonomi dan keamanan. Selama berada di bawah kekuasaan Samaniyah, industri, pertanian dan perdagangan di Transoxania mengalami kemajuan pesat. Dan di bidang keamanan, Samaniyah merupakan kerajaan yang realtif stabil dan aman.


Sedangkan Ghaznawiyah tercatat memiliki raja-raja terbaik. Mereka dikenal adil dan mengutamakan kepentingan rakyat. Ghaznawiyah juga tercatat sebagai kerajaan yang menghargai senioritas.©2013




 


Daftar Pustaka


Abu al-Fida’,Ismail bin Ali,al-Mukhtashor fi Akhbar al-Basyar, (Koleksi Maktabah Syamilah)


al-Baladzuri, Ahmad bin Yahya, Futuh al-Buldan (Beirut: Dar wa Maktabah al-Hilal: 1988).


Hasan Ibrahim Hasan,Dr.,Tarikh al-Islam al Siyasy wa al-Diny wa al-Tsaqofi wa al-Ijtima’iy, (Cairo: Maktabah Nahdlah al-Misriyah, cet. XIV, 1996)


Ibnu al-Atsir, Muhammad bin Jarir,al-Kamil fi al-Tarikh (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby 1997)


Ibnu Abdi Rabbihi,Syihabuddin,al-Aqdu al-Farid (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1404 H)


Ibnu Katsir, Abu al-Fida’ Isma’il,al-Bidayah wa an-Nihayah (Beirut: dar ihya` al-Turats al-Araby, 1988)


Ibnu Khalkan, Syamsuddin, wafayat al-A’yan, (Koleksi Matbah Syamilah)


Ishomuddin Abdur Rouf al-Faqy, ad-Daulah al-Mustaqillah fi al-Masyriq al-Islamy, (Cairo: Daar al-Fikr al-Araby, 1999)


as-Suyuthi,Jalaluddin,Tarikh al-Khulafa’ (Nizar Musthofa al-Baz, 2004)









[1]Transoxania atau disebut juga Transoxiana merupakan daerah yang berada di Asia Tengah di antara sungai Sir Darya di timur dan sungai Amur Darya di Barat. Orang Arab menyebutnya بلاد ما وراء النهر . Daerah ini sekarang masuk ke dalam wilayah Negara Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgystan dan Khazakastan.




[2] Dirangkum dari Ahmad bin Yahya al-baladzuri, Futuh al-Buldan (Beirut: Dar wa Maktabah al-Hilal: 1988).




[3]Muhammad Bin Jarir Ibnu al-Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby 1997),  6/106.




[4] Syihabuddin Ibnu Abdi Rabbihi, al-Aqdu al-Farid (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1404 H) 3:361




[5]Abu al-Fida’ Isma’il Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah (Beirut: dar ihya` al-Turats al-Araby, 1988) 10:157. Lihat pula Ibnul al-Atsir, Al-Kamil, 5:241-242




[6] Ibnu al-Atsir, al-Kamil, 5:35




[7] Ibid, 5:156




[8] Ibid, 5:193




[9] Ibid, 5:274




[10] Ibid, 5:302




[11] Ibid, 5:513




[12] Ibid, 5:243




[13] Ibid, 5:348 dan seterusnya




[14]Jalaluddin as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’ (Nizar Musthofa al-Baz, 2004), 244.




[15] Ibnu al-Atsir, al-Kamil, 5:530.




[16] Ada dua versi tentang pengganti Thohir bin Abdullah. Ada yang menyebutkan pengganti Thohir adalah Thalhah bin Thohir atas pengangkatan al-Ma’mun. Thlahah berkuasa selama tujuh tahun. Dan setelah meninngal kedudukkannya digantikan oleh saudaranya, Abdullah bin Thohir. Versi lain menyebutkan bahwa pengganti Thohir adalah Abdullah bin Thohir. Lihat Ibnu al-Atsir, al-Kamil, 5:531.




[17] Ibnu al-Atsir, al-Kamil, 6:91.




[18] Ibid, 6:190.




[19] Ibid, 6:311.




[20] Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al Siyasy wa al-Diny wa al-Tsaqofi wa al-Ijtima’iy, (Cairo: Maktabah Nahdlah al-Misriyah, cet. XIV, 1996), 2:216-217.




[21]Ibnu al-Atsir, al-Kamil, 6:324-325




[22] Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, 3:89.




[23] Ishomuddin Abdur Rouf al-Faqy, ad-Daulah al-Mustaqillah fi al-Masyriq al-Islamy, (Cairo: Daar al-Fikr al-Araby, 1999), 48-49




[24] Ibnu Khalkan, wafayat al-A’yan, (Koleksi Matbah Syamilah), 5:175




[25] Versi lain menyebutkan, Farokh Zad meninggal tahun 449. Lihat Ismail bin Ali Abu al-Fida’, al-Mukhtashor fi Akhbar al-Basyar, (Koleksi Maktabah Syamilah), 1:271.




[26] Versi lain menyebutkan, Ibrahim meninggal tahun 492. Lihat Abu al-Fida’, al-Mukhtashor fi Akhbar al-Basyar, 1:284.




[27] Abu al-Fida’, al-Mukhtashor fi Akhbar al-Basyar, 1:304




[28] Ibnu al-Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, 9:193

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Terkini

PERKEMBANGAN LEMBAGA PERADILAN DARI MASA KENABIAN HINGGA DINASTI ABBASIYAH

Download versi pdf A. Pendahuluan Agama apapun tentu berisikan ajaran-ajaran tentang kebenaran dan petunjuk bagi penganutnya agar mendapatka...

Paling Sering Dibaca