Rabu, 17 April 2013

Fundamentalisme Kontemporer Dalam Agama Agama Besar

Oleh: Dr. Murad Wahbah*


Kemungkinan besar istilah fundamentalisme dipopulerkan pertama kali oleh Watchman, pemimpin redaksi jurnal Examiner[1].  Dalam jurnal tersebut edisi Juli 1920 Watchman mendefinisikan kaum fundamentalis sebagai orang orang yang berjuang tanpa pamrih demi mempertahankan “fondasi fondasi”. Tetapi istilah fundamentalisme telah diperkenalkan sebelumnya oleh sebuah terbitan berkala bertajuk “The Fundamentals” yang terbit antara tahun 1909-1915 dalam dua belas seri. Tiga juta copy “The Fundamentals” dibagikan secara gratis kepada para pendeta, misionari, teolog, sekolah Minggu, dan organisasi kepemudaan Kristen. Pokok pokok isu dalam “The Fundamentals” dapat diringkas dalam tiga poin. Pertama, dasar keimanan seperti hakekat neraka dan kehadiran kembali Almasih. Kedua, mengkanter para pengeritik Injil yang mengatakan bahwa Injil adalah tulisan tentang sejarah perkembangan agama. Dan ketiga, kritik terhadap teori sain, khususnya teori Darwin, yang dianggap dapat mengancam kesahihan Kitab Kejadian tentang penciptaan alam semesta[2].


Diperkirakan fundamentalisme Kristen berakar pada gerakan perlawanan Revolusi Perancis yang borjuistik, merepresentasikan gerakan pencerahan abad 18, dan merupakan pengembangan dari gerakan Reformasi Agama. Edmund Burke (1765-1797) menggambarkan perlawanan ini dengan sangat gamblang dalam bukunya yang terkenal Reflection on the Revolution in France yang terbit tahun 1790 atau dua tahun setelah Revolusi. Tema sentral buku ini adalah “kepatuhan terhadap tradisi”, atau kepatuhan terhadap pandangan ke belakang. Berdasarka hal tersebut Burke berpendapat bahwa politik seyogyanya menyesuaikan diri dengan watak alami manusia, dan bukan dengan akal manusia yang sebenarnya hanyalah sebagian dari watak alami itu sendiri. Oleh karenanya yang dibutuhkan seorang politisi adalah pengalaman, kewaspadaan, dan instink, bukan kalkulasi kalkulasi kosong dan kering.  Manusia tidak akan mampu menata kembali dunia, sebab penataan kembali akan menimbulkan guncangan pada stabilitas politik yang menjadi penyangga masyarakat sipil. Masyarakat sipil dibangun berdasarkan teori “Kontrak Sosial”. Tetapi pengertian kontrak sosial disini tidak sama dengan yang dipahami para filosof abad 17. Kontrak sosial abad 17 mengandaikan bahwa manusia secara alami memiliki kebebasan yang mendahului terbentuknya masyarakat, kemudian sebagian kebebasan itu diserahkan kepada negara. Burke memandang teori ini hanyalah mitos belaka. Menurutnya, keadaan alami manusia adalah anarkis-primitif. Karena itulah kontrak sosial diadakan untuk mengatasi situai anarkis-primitif ini. Sebab itu kontrak sosial semacam ini memiliki basis moral abadi. Manusia akan mematuhi kontrak sosial di hadapan negara dan Tuhan, sebab kedaulatan manusia bukanlah bagian dari hak asasi politik mereka. Kebebasan politik hanya dimiliki negara. Rakyat harus mematuhi negara sepanjang negara tidak mengeluarkan kebijakan yang “menyimpang”. Dengan demikian Burke menilai bahwa tujuan negara adalah memelihara keutuhan masyrakat. Kesimpulan ini memiliki dua implikasi penting. Pertama, negara akan memelihara struktur sosial yang ada dan kepemilikan pribadi. Kedua, negara akan mempertahankan regim politik yang ada. Konservatisme inilah yang dikibarkan Inggris dalam menjalankan program reformasinya. Burke mengatakan, “Kami telah memutuskan untuk mempertahankan gereja, monarkhi, aristokrasi yang berkuasa saat ini”. Namun demikian konservatisme itu sama sekali tidak menentang perubahan perubahan parsial dalam tiga institusi dimaksud, sepanjang perubahan tersebut tidak menyentuh persoalan substantif.


Konsisten dengan konservatismenya, Burke menentang tiga aliran radikal: Rasionalisme Abad Pencerahan, Romantisme Rousseau, dan Utilitarianisme Bentham. Ketiga aliran ini memiliki ide sentral yang sama yaitu:




  1. Akal murni merupakan penggerak perubahan sosial

  2. Secara alami manusia berwatak baik, dan institusi sosial-lah yang merusaknya



  1. Tradisi masyarakat adalah mitos



  1. Manusia memiliki kemampuan untuk mencapai kemajuan tak terbatas

  2. Target reformasi moral dan politik adalah membebaskan manusia dari doktrin dan institusi lama.

  3. Masa depan manusia digantungkan pada kebebasan utuh manusia dan demokrasi tanpa batas

  4. Kekuasaan politik adalah alat perubahan.


Titik perbedaan Burke dengan ketiga aliran di atas terletak pada hubungan negara dan gereja. Menurut Burke negara dan gereja adalah satu kesatuan, sebab agama menjadi sumber undang undang negara. Karena itu siapapun tidak berhak mengubah undang undang. Demikian pula keadilan juga bersumber dari tatanan ilahi yang telah meletakkan dasar kolektivisme dan menciptakan tradisi tradisi. Dengan demikian Burke telah menggoyang masa pencerahan yang ia sebut dengan “masa kebodohan”[3].


Tahun 1953 seorang filosuf Amerika, Russel Kirk, meluncurkan bukunya yang berjudul The Concervative Mind yang mengupas dasar dasar filsafat Burke. Kirk memandang bahwa Titah Tuhan mengendalikan masyarakat dan nurani manusia, dan bahwa persoalan politik pada dasarnya adalah persoalan agama dan etika. Sementara Rasionalisme tidak memperhatikan tuntutan kebutuhan manusia. Manusia lebih dikendalikan oleh nafsu ketimbang akal. Karena itu tradisi dan keberpihakan diperlukan guna mencegah manusia mengikuti dorongan anarkisme. Inovasi revolusioner hanya mendatangkan kehancuran ketimbang menciptakan pembangunan. Perubahan paling ideal adalah melalui evolusi yang tanggap terhadap pentingnya memelihara identitas masyarakat. Dengan demikian musuh musuh Burke adalah kaum rasionalis seperti filosof pencerahan, kaum utilitarian seperti Rousseau, kaum materialis seprti Marx, dan kaum Darwinis. Keempat aliran ini dengan segala perbedaannya memiliki persamaan ide dalam beberapa hal:




  1. Keyakinan bahwa manusia dapat mencapai tahap kesempurnaannya, dan bahwa kemajuan masyarakat tidak terbatas,  dan bahwa keduanya dapat dicapai manusia berkat pendidikan, undang undang, dan rekayasa alam.

  2. Tidak adanya penghargaan terhadap tradisi dan kearifan lokal, serta memandang akal dan keniscayaan materialisme sebagai kendaraan menuju kesejahteraan masyarakat.

  3. Menolak anggapan Burke yang mengatakan bahwa negara bersifat ilahiah-moralistik, dan angapan bahwa negara adalah kesatuan spiritual yang menghimpun aktifitas orang orang yang telah meninggal dan masih hidup, masa sekarang dan masa yang akan datang[4].


Pemikiran Burke dan Kirk menjadi dasar fundamentalisme Kristen seperti diperankan gerakan “Mayoritas Moraliste” yang dipimpin dan didirikan oleh Garry Folwel tahun 1979. Folwel mengkalim bahwa gerakan ini adalah gerakan moral, sebab persoalan politik adalah persoalan moral. Gerakan ini berhasil merekrut empat juta anggota dan 72 ribu diantaranya adalah pendeta. Folwel menyatakan bahwa pendirian gerakan ini bermotif kebangsaan yang menginginkan negara Amerika yang kuat dengan jaringan pertahanan yang kuat pula. Karena itu Folwel termasuk orang pertama yang mendukung perang bintang seperti dikampanyekan Reagen semasa menjabat presiden. Folwel kemudian melebarkan sayap “Mayoritas Moraliste” dan membangun koalisi dengan kolega Katolik dan Yahudi untuk menghadapi kekuatan liberalisme dan humanisme sekular.


Pada tahun 1981 salah seorang pemimpin kelompok “Kanan Baru”, Richaed Viguerie, merilis bukunya The New Right yang diberi kata pengantar oleh Folwel. Dalam kata pengantarnya Folwel mengatakan, “Tidak diragukan lagi saat ini bahwa Amerika sebagai bangsa yang merdeka dan kuat sedang mengalami keguncangan. Beberap tahun terakhir ini masyarakat Amerika berpihak kepada kelompok sekular…….. . Jika stabilitas suatu masyarakat, baik pada level keluarga maupun negara, bergantung kepada kepemimpinan, maka tidak diragukan bahwa Amerika kini sedang mengalami degradasi moral. Sebagai seorang ‘bapak’ dan warga negara yang takut kepada Tuhan, saya salut terhadap keberanian Viguerie memposisikan diri berhadap-hadapan dengan kaum liberalis dengan segala perilakunya yang telah membahayakan eksistensi Amerika………….  Mr. Viguerie menyematkan sebutan ‘Kanan Baru’ kepada kaum Moraliste yang harus bersatu dan menjadi panutan bagi bangsa Amerika. Mereka terdiri dari beberapa kelompok. Pertama, warga negara Amerika yang taat dan memikul beban pajak yang begitu tinggi dan inflasi yang terus meningkat. Kedua, umat Kristiani penganut “kelahiran kedua” yang terhenyak menyaksikan film film di layar televisi dan layar lebar. Ketiga, para pendukung hak untuk hidup bagi janin yang menentang kampanye aborsi pemerintah federal. Ketiga kelompok inilah yang disebut kaum Moraliste. Saatnya kini mereka bahu-membahu dan merapatkan barisan untuk memperjuangkan aspirasinya. Dan saatnya pula minoritas sekular, yang didukung para penghianat tetapi berkuasa, untuk menyadari bahwa mereka kini bukanlah mayoritas. Rakyat Amerika masih cukup kuat untuk tidak membiarkan kelompok minoritas menghancurkan Amerika dengan filsafat sekular dan liberalnya”[5].


Demikianlah, pada mulanya fundamentalisme Kristen hanya mengecam masyarakat liberal dan mencoba membangun masyarakat baru yang berpegang pada absolutisme ajaran fundamental Kristen. Dan ekses dari itu, fundamentalisme Kristen juga mengecam ilmu pengetahuan moderen dan masyarakat moderen. Menurut kaum fundamentalis ilmu pengetahuan moderen yang diperankan teori evolusi Darwin adalah ilmu palsu, sebab ia dapat mengeliminir otoritas Injil. Jika Tuhan tidak menciptakan alam semesta dalam enam hari berarti Kitab Kejadian tidak benar. Dan jika salah satu Kitab tidak benar berarti keseluruhan Kitab Perjanjian Lama juga tidak benar.


Demikian pula kebudayaan moderen juga menetaskan birokratisme yang memperlemah hubungan kemanusiaan. Dan karenanya kebudayaan moderen bertentangan dengan agama yang salah satu fungsinya adalah memperkuat hubungan kemanusiaan. Dalam fundamentalisme Kristen dikenal slogan, “Tuhan menciptakan desa dan manusia menciptakan kota”. Distingsi desa-kota lebih dilihat karena gaya kehidupan kota yang sekular. Harvey Cox  dalam The Secular City menyebutkan dua hal penting dalam gaya kehidupan kota, yaitu pragmatisme dan keduniaan. Pragmatisme dimaksud adalah kepedulian manusia terhadap hal hal yang bersifat ilmiah dan materialistik, atau dengan kata lain kepedulian terhadap hal hal yang produktif, dan karenanya manusia akan meninggalkan persoalan persoalan agama yang dianggap tidak produktif. Dan keduniaan dimaksud adalah dimensi horisontal manusia sekular yang menafikan hakekat hakekat transendental. Dalam bahasa Latin keduniaan diterjemahkan dengan kata profane yang berasal dari kata pro dan fanum yang bermakna “di luar rumah ibadah”, atau dengan kata lain hal hal yang berhubungan dengan dunia. Dengan demikian orang yang berorientasi keduniaan adalah mereka yang melihat dunia ini sebagai satu satunya dunia. Apa yang ada di dunia ini muncul dari dunia ini sendiri dan bukan dari dunia lain[6].


Pemikiran fundamentalis bukan hanya monopoli Kristen tetapi juga merambah agama agama lain termasuk Islam. Di sini hanya akan dibahasa empat tokoh fundamentalisme Islam kontemporer, yaitu Maudoudi, Sayyid Qutb, Khomeini, dan Ali Syariati.


Ketokohan Maudoudi tidak hanya sebatas sebagai teoritisi fundamentalisme Islam, tetapi juga sebagai pendiri Jamaah Islamiyah di seluruh dunia. Buku Maudoudi “Islamic Government” yang banyak memberikan kontribusi konseptual kepada Jamaah Islamiyah menjelaskan karakteristik pemerintahan Islam. Menurutnya penguasa hakiki adalah Tuhan, dan Kedaulatan hakiki hanya dimiliki oleh Tuhan. Seturut pandangan tersebut manusia tidak memiliki hak legislasi. Umat Islam tidak berhak membuat undang undang dan tidak pula dapat mengubah undang undang Tuhan. Dan undang undang yang datang dari Tuhan harus menjadi dasar negara Islam. Regim pemerintahan yang mengendalikan negara Islam harus diataati rakyat bukan karena ia pemerintahan yang dipilih rakyat, tetapi karena regim tersebut menjalankan pemerintahannya berdasarkan undang undang Tuhan. Dalam pandangan Maudoudi negara Islam adalah negara “teodemokrasi”, yaitu demokrasi yang terikat dengan kedaulatan Tuhan. Dalam hal ini teokrasi Islam berbeda dengan teokrasi Kristen. Teokrasi Kristen memberikan kewenangan pada tokoh tokoh gereja untuk membuat undang undang sesuai selera mereka. Dan penyematan keilahian pada para tokoh gereja telah membuka jalan bagi terjadinya kesewenang wenangan yang berkedok kehendak Tuhan. Sementara dalam teokrasi Islam para pelaksana hukum Tuhan tidak lebih dari wakil Penguasa Hakiki. Karena itu Islam menggunakan istilah Khilafah (perwakilan) dalam pengertian bahwa orang orang yang memerintah di bumi di bawah undang undang Islam adalah khalifah (wakil) dari Penguasa Tertinggi. Maudoudi menjelaskan bahwa demokrasi sekular Barat yang dipretensikan sebagai perwujudan kedaulatan rakyat ternyata tidak melibatkan seluruh rakyat dalam membuat undang undang atau menjalankan pemerintahan. Lebih dari itu demokrasi sekular Barat telah memisahkan agama dengan negara yang berarti negara tidak lagi berbasis moral[7].


Setelah berpisah dari Hasan al-Banna, Sayyid Qutb mengikuti jejak Maudoudi. Sayyid Qutb membagi masyarakat dalam dua kategori: masyarakat jahiliyah dan masyarakat Islam. Masyarakat jahiliyah telah menciptakan penghambaan manusia kepada manusia ketika sebagian rakyat membuat undang undang yang mengikat seluruh rakyat dan tidak sesuai dengan hukum Tuhan. Sedangkan masyarakat Islam mendedikasikan penghambaan manusia hanya kepada Tuhan ketika rakyat menerima konsepsi, akidah dan undang undang Tuhan.


Berdasarkan pengertian di atas Qutb menilai bahwa seluruh masyarakat yang ada di muka bumi saat ini adalah masyarakat jahiliyah; masyarakat paganis di India, Jepang dan Pilipina, masyarakat Yahudi dan Kristen yang menuhankan selain Tuhan, dan masyarakat Islam sekular yang telah membuang agama dari ruang publik. Ringkasnya, Islam telah membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama hamba dan manyatakan hanya ada satu Tuhan bagi semesta alam. Doktrin ini tidak dihayati hanya sebatas retorika, tetapi juga sebagai pernyataan praksis-realistis. Siapapun yang menyadari hakikat ajaran Islam tentu menyadari perlunya kesadaran gerakan Islam dalam bentuk Jihad dengan mengangkat senjata[8].


Pasca Qutb muncul Khomeini yang menerapkan aboslutisme-fundamentalistik beradarah di Iran pada tahun 1979 dengan mendirikan Republik Islam Iran. Ceramah ceramahnya yang disampaikan di Nejf Irak antara 21 Januari hingga 28 Pebruari 1970 dibukukan dalam bahasa Persia dan diberi titel Pemerintahan Islam. Pokok pokok bahasan buku tersebut dapat dipadatkan dalam tiga persoalan. Pertama, perlunya mengkaitkan kekuasaan politik dengan tujuan tujuan agama. Kedua, kewajiban Fuqoha (ulama fiqh) mendirikan negara Islam atau dikenal dengan Wilayat al-Faqih. Ketiga, program aksi untuk mendirikan negara Islam. Dan tiga pokok bahasan tersebut bermuara pada tema yang sama yaitu: bahwa perintah Tuhan adalah kekuasaan absolut yang mengikat semua individu dan pemerintahan Islam; bahwa fuqoha adalah penguasa hakiki; bahwa seorang faqih yang adil harus memanfaatkan institusi pemerintahan untuk menerapkan syariat Tuhan demi tercapainya tatanan Islam yang berkeadilan.


Kemudian Khomeini menjelaskan dua syarat yang harus dipenuhi seorang pemimpin muslim. Pertama, seorang pemimpin muslim haruslah berpegang pada hukum Tuhan dan bukan pada kehendak manusia. Kedua pemimpin muslim haruslah seorang faqih yang adil. Dari kedua syarat di atas dapat disimpulkan bahwa absolutisme-fundamentalistik menurut Khomeini dipersonifikasikan oleh faqih yang adil. Dengan demikian yang absolut besesuaian dengan yang relatif, karena yang realtif menajdi absolut, atau lebih tepatnya karena absoltisme yang relatif. Dan relatifisme lain yang tidak memiliki sifat absolut harus disingkirkan, karena realtifisme-relatifisme itu akan menghambat proses pengabsolutan. Dan untuk menyingkirkannya hanya ada satu jalan, yaitu perang.


Filosof Revolusi Iran, Ali Syariati, menteorikan keharusan perang tersebut dalam bukunya On Sociology of Islam. Ia menjelaskan bahwa kisah Habil-Qabil dalam sejarah manusia adalah kisah pertikaian umat manusia sejak awal kekhalifahannya, dan terus berlangsung hingga kini. Agama menjadi senjata bagi Habil maupun Qabil. Oleh karena itu perang agama melawan agama adalah faktor tetap dalam sejarah manusia. Tepatnya, ia adalah perang antara orang orang menyekutukan Tuhan dengan orang orang yang mengesakan Tuhan. Diantara tiga ajaran pokok Islam, taqiyyah (diam untuk menyelamatkan diri), taat pada pemimpin, dan kesayahidan (mati sebagai martir), maka kesyahidan merupakan ajaran terpenting karena ajaran inilah yang mendorong manusia melakukan perang tanpa keraguan sedikitpun. Dari sudut pandang kesyahidan kematian tidak memilih seorang martir, tapi sang martirlah yang dengan sadar memilih kematian. Ini bukan tragedi, melainkan persoalan paradigma yang harus diikuti, sebab kematian seorang martir dengan darahnya akan mengantarnya menuju derajat keberagamaan paling sempurna. Dengan kata lain muslim yang sejati adalah mereka yang menjadi martir[9].


Fundamentalisme juga menghinggapi keberagamaan umat Yahudi. Fundamentalisme Yahudi diperankan oleh gerakan “George Amonim” yang didirikan pasca perang Arab-Israel 1976 dan semakin kuat setelah perang 1973. Gerakan ini menolak Perjanjian Kamp David. Mereka memandang Israel sebagai negara suci, dan melepaskan sejengkal tanah Israel adalah bid’ah, karena tiap jengkal tanah Israel adalah pemberian Tuhan. Kesucian negara Israel tidak hanya didasarkan pada dalih keilahian, tetapi juga dikaitkan dengan darah bangsa Yahudi yang mengalir dalam berbagai perang demi mempertahankan tanah Israel. Tersebab itulah gerakan “George Amonim” menyerukan pembangunan pemukiman di Tepi Barat untuk mengembalikan semangat Zionisme. Mereka mengangkat slogan “Keutuhan dan kesatuan Yahudi bagian dari keutuhan tanah Israel” dalam pengertian “Tanah Israel adalah satu satunya jaminan atas eksistensi bangsa Yahudi dan eksistensi bangsa Yahudi adalah satu satunya jaminan atas keutuhan tanah Israel”.


Pengaruh fundamentalisme Yahudi terlihat jelas dalam sikap politik mereka yang tidak menghormati hukum dan undang undang, menolak tunduk pada kekuasaan apapun ketika mereka kuat. Gerakan ini menganggap dunia sebagai sampah, dan karenanya kebudayaan zaman harus dijauhi. Tetapi mereka meninggalkan kebudayaan zamannya dengan menggunakan pendekatan kekerasan, sebab prinsip kekerasan inilah yang menjadi basis utama gerakan “George Amonim” dalam mencapai kekuasaan[10].


Di luar tiga agama samawi di atas fundamentalisme juga dapat ditemukan dalam agama lain. Sebuah Akademi Sastra dan Sain di Amerika melakukan kajian tentang fundamentalisme.  Selama lima tahun  terhitung sejak 1988 Akademi dimaksud dengan bantuan dana dari Lembaga John & Catherine Mc Carthy menggeluti isu isu fundamentalisme. Hasil kajian tersebut disusun dan dibukukan dalam tiga jilid.




  1. Jilid I yang bertitel ”Fundamentalisme di Pengasingan” mengupas kelompok fundamentalis Islam di Timur Tengah,  Afrika Utara, dan Asia Selatan; kelompok fundamentalis Kristen di Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Latin; Kelompok fundamentalis Yahudi di Timur Tengah; kelompok fundamentalis Budha di Sri Lanka, Birma, dan Thailand; kelompok fundamentalis Hindu dan Sikh di India. Kajian tentang kelompok kelompok tersebut dalam buku ini ditekankan pada tiga aspek intelektual mereka, yaitu  pandangan-dunia, apresiasi terhadap ilmu pengetahuan,  dan penilaian atas penerapan teknologi.

  2. Jilid II yang berjudul “Fundamentalisme dan Masyarakat” mencoba menyelami pandangan kaum fundamentalis tentang keluarga, hubungan antar individu, hukum dan undang undang. Kesimpulan yang diperoleh dari kajian ini adalah bahwa kaum fundamentalis memandang perlunya cara cara kekerasan, teror dan revolusi dalam membangun tatanan baru. Jilid II juga membahas pandangan ekonomi dan propaganda doktrin fundamentalisme. Propaganda fundamentalisme dilakukan melalui jalur pendidikan, media informasi dan pusat pusat kegiatan keagamaan.

  3. Jilid III yang berjudul “Fundamentalisme dan Negara” menjelaskan penolakan kaum fundamentalis terhadap dualisme domain publik dan privat. Menurut kaum fundamentalis ruang publik dan privat sama sama tunduk pada pengendalian penguasa. Di samping itu kaum fundamentalis menyerukan penerapan hukum Tuhan.


Ringkasnya, ketiga jilid di atas menjelaskan bahwa kemunculan fundamentalisme hanyalah reaksi atas pandangan-dunia baru yang mengancam tradisi “sakral”mereka.©2001










* Diterjemahkan dari Dr. Murad Wahbah, “Uṣūliyyāt Hadha al-Zaman”, Qaḍāyā Fikriyah, XIII – XIV, (Oktober 1993), Cairo, Qaḍāyā Fikriyah li Al-Nshr wa al-Tawzī’.










[1]New York Watchman-Examiner




[2] Herbert, Gabriel, Fundamentalism and the Church of God, SCM Press, London, 1957, pp.14-17




[3] Burke, Edmund, Reflection on the Revolution in France, Penguin Books, 1985




[4] Kirk, Russel, The Concervative Mind, Henry Regney Comp. 3ed ed.,1968




[5] Viguerie, Richard, The New Right, The Vigurie Company, 1981




[6] Cox, Harvey, The Secular City, Macmillan Company, 2nd ed., 1965, pp. 60-62




[7] Maudoudi, Abou El Aala, Islamic Government, pp.139-141




[8] Qutb, Sayyid, Ma’âlim fi ath-Tharîq, Cairo.. 1964, pp.59-64




[9] Shari’ati, Ali, On Sociology of Islam, tran, Hamid Algar, Mizan Berkeley, 1979




[10] Richard Antoun & Mary Hegland, ed. Religious Resurgence, Syracuse Unit Press, 1987, pp.169-185


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Terkini

PERKEMBANGAN LEMBAGA PERADILAN DARI MASA KENABIAN HINGGA DINASTI ABBASIYAH

Download versi pdf A. Pendahuluan Agama apapun tentu berisikan ajaran-ajaran tentang kebenaran dan petunjuk bagi penganutnya agar mendapatka...

Paling Sering Dibaca