I. Pendahuluan
Salah satu aspek kajian al-Qur’an yang paling mendapat perhatian dan menimbulkan banyak kontroversi adalah sejarah kodifikasi al-Qur’an dan pembakuan Mushaf Uthmānī. Sudah sejak abad 2 H. kajian sejarah al-Qur’an menjadi perhatian ulama Islam. Mereka melakukan kajian tentang perbedaan Mushaf yang beredar di beberrapa wilayah Islam. Ibnu Amir dengan Ikhtilāf Maṣāḥif al-Shām whn a al-Hijāz wa al-‘Irāq, al-Kisā`iy dengan Ikhtilāf Maṣāḥif Ahlu al-Madīnah wa Ahlu al-Kūfah wa Ahlu al-Baṣrah, Khalaf bin Hisyam dengan Ikhtilāf al Maṣāḥif dan Ibnu Abi Dawud al-Sijistāny dengan al- Maṣāḥif adalah beberapa contoh kajian sejarah al-Qur’an yang dilakukan ulama Islam. Karya Ibnu Abi Dawud inilah yang kemudian menjadi rujukan utama dalam kajian-kajian sejarah al-Qur’an termasuk oleh kalangan orientalis.
Dari kalangan orientalis Barat terdapat nama Theodore Noldeke yang menulis The History of the Qur’an. Kerja intelektual Noldeke dilanjutkan penerusnya: Friedrich Schwally, Gotthelf Bergsträsser dan Otto Pretzl, yang menyempurnakan buku tersebut menjadi 3 Jilid. Richard Bell, orientalis Inggris, dan Regis Blochere, orientalis Perancis, mengikuti jejak metodologis Noldeke dalam mengkaji al-Qur’an. Bell menulis The Qur’an dan Blochere menghasilkan karya Le Coran. Dari Australia muncul nama Arthur Jeffery yang memberikan pengantar pada kitab al- Maṣāḥif karya Ibnu Abi Dawud al-Sijistany.
Sejarah Quran tetap menjadi salah satu kajian terpenting di kalangan sarjana muslim kontemporer. Tiga karya terdahulu yang menjadi rujukan utama dalam kajian ini adalah al-Maṣāḥif Ibnu Abi Daud, The History of the Qur’an Theodore Noldeke dan pengantar Arthur Jeffery pada al-Maṣāḥif. Ada dua kecenderungan dalam kajian sejarah al-Qur’an di kalangan sarjana muslim kontemporer. Pertama, kajian yang cenderung mempertahankan teori dogmatis tentang sejarah al-Qur’an. Kedua, kajian yang cenderung membongkar kemapanan sejarah al-Qur’an. Kecenderungan pertama direpresentasikan beberapa nama seperti Abd al-Ṣobūr Shāhīn, Ibrahim al-Abyāry dan Muhibbuddin Abd al-Sajjān. Sedangkan kecenderungan kedua diwakili nama-nama seperti Arkoun, Abid al-Jabiry, Sahrur, Asymawy dan Nasr Hamid Abu Zaid.
Sejatinya kajian tentang sejarah al-Qur’an sangat sensitif, karena berkaitan dengan keyakinan umat Islam paling fundamental. Setidaknya terdapat dua titik sensitif dalam kajian sejarah al-Qur’an, yaitu proses kodifikasi dan adanya perbedaan mushaf yang digunakan para Sahabat. Kedua titik sensitif ini bermuara kepada sebuah pertanyaan, otentikkah mushaf yang berada di tangan umat Islam saat ini?
II. Pengertian al-Qur’an dan Perbedaannya dengan Hadis
A. Pengertian al-Qur’an
Ulama berbeda pendapat tentang pengertian etimologis al-Qur’an. Pendapat pertama mengatakan bahwa kata al-Qur’an merupakan nama yang tidak diturunkan dari kata lain, atau disebut ‘alam murtajal. Menurut pendapat ini tidak terdapat huruf hamzah dalam al-Qur’an sehingga dibaca قُرَان. Ini adalah pendapat Syafi`i sebagaimana dituturkan Abu Bakar al-Khotīb al-Baghdādy dalam Tarīkh Baghdād yang dikutip Zarkasy dalam al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur`ān[1].
Pendapat kedua mengatakan, al-Qur’an berasal dari قَرَنَ yang berarti “memadukan”. Dengan demikian al-Qur’an berasal dari entri قاف, راء dan نون, dan karenanya dibaca قُرَان, tanpa hamzah, bukan قُرْآن. Relevansi penamaan al-Qur’an dari kata قَرَنَ adalah bahwa al-Qur’an merupakan perpaduan antara surat, ayat dan huruf. Diantara yang berpendapat demikian adalah al-Ash’ary[2].
Pendapat ketiga mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan maṣdar dari قَرَأَ yang bermakna “membaca” dan berpola فُعْلَان. Dalam hal ini maṣdar, yaitu قُرْآن, yang berarti “membaca” dikehendaki sebagai maf’ūl, yaitu مَقْرُوْء, yang bermakna “yang dibaca. Dengan kata lain قُرْآن di sini adalah maṣdar yang bermakna maf’ūl. Kemudian kata ini dijadikan nama untuk kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam. Menurut Subhy pendapat ketiga adalah yang terkuat. Sebab قُرْآن merupakan maṣdar yang sinonim dengan قِرَاءَة [3] sebagaimana firman Allah:
إنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وقَرُآنَهُ, فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ [4]
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
Lebih jauh Subhy mengatakan bahwa awalnya قَرَأَ tidak pernah digunakan untuk arti “membaca”. Penggunaan قَرَأَ dalam arti “membaca” merupakan pengaruh dari bahasa Aramaik. Menurut Bregstrasser bahasa Aramaik, Habasyah dan Persia memang memiliki pengaruh terhadap bahasa Arab. Hal yang sama juga diungkapkan Blachere. Diantara kata yang mendaptkan pengaruh dari bahasa asing adalah, قرأ، كتب، كتاب، تفسير, تلميذ، فرقان، قيوم، زنديق[5].
Dengan demikian secara etimologis al-Qur’an adalah maṣdar yang artinya membaca dan kemudian menjadi nama bagi suatu kitab suci. Jika al-Qur’an adalah nama, maka ia tidak bisa didefinisikan. Sebab definisi hanya diperuntukkan bagi substansi universal, bukan partikular seperti nama[6]. Kalaupun dideifinisikan, maka definisi yang dimaksudkan adalah batasan-batasan yang membedakannya dari entitas lain. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai definisi al-Qur’an sejatinya adalah ciri khas yang melekat pada al-Qur’an dan membedakannya dari entitas lain[7].
Akrom Abd al-Daylamy menuturkan bahwa mendefiniskan al-Qur’an sesuai dengan kaidah mantiq adalah hal yang sulit. Oleh karenanya ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-Qur’an. Definisi-definisi tersebut berkisar di seputar ciri khas al-Qur’an yang membedakannya dari entitas lain. Sebagian definisi menyebut seluruh ciri khas al-Qur’an sehingga menjadi definisi yang panjang. Sebagian yang lain hanya menyebut beberapa ciri khas saja, sehingga menjadi definisi yang lebih pendek[8].
Al-Zurqāny menyebutkan definisi panjang al-Qur’an dengan mengatakan, “… Kalam Ilahi yang menjadi mukjizat, diturunkan kepadan Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam dan tertulis di dalam mushaf-mushaf, dinukil secara mutawatir serta pembacaannya dijadikan ibadah”. Definisi ini menyebutkan enam ciri khas al-Qur’an, yaitu: Kalam Ilahi, kemukjizatan, penurunan, penulisan di dalam mushaf, kemutawātiran dan keibadahan[9]. Akrom menambahkan satu ciri, yaitu kandungan, dengan mengatakan, “ … yang diawalai dengan surat al-Fātihah dan diakhiri dengan surah al-Nās”[10].
Subhy mendefinisikannya sebagai, “… Kalam Ilahi yang menjadi mukjizat, diturunkan Kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam dan dinukil secara mutawātir, tertulis di dalam mushaf serta pembacaannya dijadikan ibadah. Subhy mengklaim bahwa definisi inilah yang disepakati ulama’ ushul fiqh dan fiqh[11]. Definisi Subhy sama persis dengan yang disebutkan al-Zurqāny.
Sedangkan al-Qaṭṭan mendefinisikan al-Qur’an sebagai, “Kalam Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam yang pembacaannya dijadikan ibadah”[12]. Dengan demikian al-Qaṭṭān hanya menyebutkan tiga ciri al-Qur’an, yaitu Kalam Ilahi, penurunan, dan keibadahan.
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan tujuh ciri khas al-Qur’an. Dari tujuh ciri khas ini hanya satu yang merupakan ciri pembeda spesifik, yaitu kemukjizatan. Al-Zurqāny menyebutkan bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan al-Qur’an hanya dengan menyebut ciri kemukjizatan dan penurunan[13]. Sebab ciri itulah yang menjadi pembeda spesifik, atau dalam bahasa Arab disebut faṣl. Dan definisi inilah yang disebut dengan Definisi Hakiki dimana didalamnya hanya disebutkan genus dan pembeda spesifik[14]. Genus dalam hal ini adalah Kalam dan pembeda spesifik adalah kemukjizatan dan penurunan. Sedangkan definisi yang menyebutkan sebagian atau seluruh ciri khas al-Qur’an disebut Definisi Gambaran, atau al-Rasm[15].
Definisi deskriptif yang diterapkan pada al-Qur’an memiliki kelemahan, yaitu bahwa definisi tersebut tidak mencakup al-Qur’an pada masa Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam. Sebab ciri “penukilan secara mutawatir”, “tertulis di dalam mushaf” serta “berawal dengan al-Fātihah dan berakhir dengan al-Nās”, belum dimiliki al-Qur’an pada masa Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam.
Namun demikian Definisi Gambaran lebih populer di dalam Studi al-Qur’an dibanding Definisi Hakiki. Sebab, tujuan pendefinisian tersebut adalah untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya tentang al-Qur’an. Dan Definisi Hakiki kurang memberikan gambaran yang jelas.
B. Perbedaan Al-Qur’an dengan Hadis
Baik al-Qur’an, hadis Qudsy maupun hadis Nabawy diterima umat Islam dari Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam. Menurut al-Zarqāny, kandungan ketiga kitab tersebut semuanya bersumber dari Allah. Perbedaannya adalah, al-Qur’an dan hadis Qudsy diterima dari Allah berupa kalimat dan disampaikan Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam kepada umat persis dengan kalimat yang diterimanya. Al-Zurqāny mengklaim bahwa ini adalah pendapat yang populer. Sedangkan hadis Nabawy diterima dari Allah berupa makna dan disampaikan Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam dengan kalimatnya sendiri. Dan perbedaan al-Qur’an dengan hadis Qudsy, yang sama-sama merupakan Kalam Ilahi, adalah bahwa al-Qur’an memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki hadis Qudsy, seperti kemukjizatan dan keibadahan bagi pembacanya[16].
Pendapat yang berbeda diungkapkan al-Qaṭṭān. Ia mengatakan bahwa hadis Qudsy diterima dari Allah hanya berupa makna saja dan kalimat yang disampaikan kepada umat dirumuskan oleh Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam[17]. Al-Qaṭṭān mengklaim bahwa inilah pendapat yang sahih. Pendapat ini senada dengan apa yang disampaikan al-Nawawy. Seperti dikutip al-Qāsimy, Ibnu Hajar al-Haytamy dalam Sharh al-‘Arb’aīn al-Nawawiyah mengatakan bahwa hadis Qudsi adalah Kalam Ilahi dari sudut sumber maknanya. Dan dikatakan hadis karena Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam yang menyampaikan dengan kalimatnya. Karena itu hadis Qudsy bisa diriwayatkan dengan, “Allah berfirman” atau, “Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkannya dari Allah”. Sependapat dengan al-Haytamy, Abu al-Baqā` al-Hanafy berkata bahwa makna dan kalimat al-Qur’an bersumber dari Allah sedangkan hadis Qudsy maknanya dari Allah dan kalimatnya dari Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam[18].
Jadi, ulama berbeda pendapat tentang apakah kalimat hadis Qudsy berasal dari Allah atau dari Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam. Al-Zurqāny berpendapat bahwa kalimat hadis Qudsy bersumber dari Allah. Al-Qaṭṭān, al-Haytamy dan Abu al-Baqā` berpendapat bahwa kalimat hadis bersumber dari Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam.
Terlepas dari perbedaan dan klaim kedua kelompok, ada satu argumentasi yang bisa dijadikan dasar untuk berpihak kepada kelompok kedua. Jika kalimat dan makna hadis Qudsy berasal dari Allah, lalu mengapa ia tidak dihukumi sama dengan al-Qur’an? Dua hal yang sama tentu memiliki hukum yang sama. Jika al-Qur’an sebagai Kalam Ilahi menjadi mukjizat dan keindahannya tidak mungkin ditandingi oleh makhluk, maka seharusnya hadis Qudsy juga memiliki hukum kemukjizatan yang sama. Sebab, hadis Qudsy pun Kalam Ilahi. Tetapi faktanya ulama sepakat bahwa hadis Qudsy bukanlah mukjizat dan tidak dipretensikan sebagai keindahan absolut yang tidak mungkin ditandingi kehebatan sastra manusia. Dengan alasan ini tepatlah jika hadis Qudsy tidak diletakkan sebagai Kalam Ilahi dalam pengertian makna dan kalimatnya bersumber dari Allah. Hadis Qudsy disebut sebagai Kalam Allah dengan memandang bahwa sumber gagasannya adalah Allah, dan disandarkan pada Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam dalam kapasitas beliau sebagai penyampai dan penyusun redaksi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan al-Qur’an dengan hadis Qudsy adalah: al-Qur’an diterima dari Allah kalimat dan maknanya sekaligus sedangkan hadis Qudsy hanya diterima maknanya dan kalimatnya disusun oleh Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam. Inilah perbedaan pokok al-Qur’an dengan hadis Qudsy. Dari perbedaan ini lahir perbedaan-perbedaan yang terkait dengan hukum al-Qur’an sebagai berikut:
- al-Qur’an hanya boleh dinisbahkan kepada Allah
- al-Qur’an adalah mukjizat
- al-Qur’an harus diriwayatkan secara letter lux
- al-Qur’an tidak boleh disentuh orang yang hadath
- al-Qur’an tidak boleh dibaca orang yang junub
- Pembacaan al-Qur’an adalah ibadah
Semua hukum tersebut tidak berlaku pada hadis Qudsy.
III. Sejarah Al-Qur’an
إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ[19]
Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsīr menjelaskan bahwa Ibnu Abbas dan lainya mengatakan, “al-Qur’an diturunkan sekaligus dari al-Lawh al-Mahfuẓ ke Bait al-‘Izzah kemudian diturunkan secara bertahap sesuai kejadian selama 23 tahun”. Dengan kata lain, penurunan al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar adalah penurunan sekaligus dari al-Lawh al-Mahfuẓ ke Bait al-‘Izzah, bukan penurunan bertahap kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam[20]. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadan sebagaimana dijelaskan ayat:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ[21]
(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)...
Kemudian al-Qur’an diturunkan bertahap kepada Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam dimulai pada bulan Ramadan tahun ke-41[22] dari kelahiran Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam hingga wafatnya di usia 63 tahun. Selama 23 tahun masa penurunan wahyu, Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam mentransmisikan ayat yang diterima kepada para Sahabat. Bukhori meriwayatkan:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأُبَيٍّ: " إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ: {لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا} [البينة: 1] " قَالَ: وَسَمَّانِي؟ قَالَ: «نَعَمْ» فَبَكَى[23]
Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam berkata kepada Ubay, “Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membacakan kepadamu ‘لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا’”. Ubay bertanya, “dan Allah menyebutku?”. Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam menjawab, “iya”. Lalu Ubay menangis.
Hadis ini menceritakan bahwa Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam membacakan ayat al-Qur’an kepada Ubay. Pembacaan Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam kepada Sahabat juga dibuktikan dengan kisah Umar[24] dan Ibnu Mas’ud[25]. Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam juga membaca al-Qur’an pada saat Shalat yang didengar para Sahabat.
Ayat-ayat yang telah dibacakan Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam dihafal para Sahabat dan sebagian ada yang menulisnya. Bukhori menceritakan dari al-Barrā’ bin ‘Āzib bahwa Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam bersabada:
ادْعُ لِي زَيْدًا وَلْيَجِئْ بِاللَّوْحِ وَالدَّوَاةِ وَالكَتِفِ - أَوِ الكَتِفِ وَالدَّوَاةِ -» ثُمَّ قَالَ: " اكْتُبْ {لاَ يَسْتَوِي القَاعِدُونَ}[26]
Panggilah Zaid dan suruhlah ia membawa papan, tinta dan tulang – atau tulang dan tinta – kemudian Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam bersabda, “ tulislah [لاَ يَسْتَوِي القَاعِدُونَ]”.
Zaid bin Thābit menceritakan bahwa ia menghimpun catatan-catatan al-Qur’an dari pelepah kurma, batu, tulang dan dari hafalan orang-orang[27]. Kegiatan pencatatan al-Qur’an didukung larangan Rasullulah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam atas penulisan selain al-Qur’an[28].
Penuturan di atas menjelaskan bahwa semasa Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam Sahabat telah menyimpan al-Qur’an dalam berbagai media, termasuk simpanan dalam bentuk hafalan. Namun simpanan-simpanan ini masih tercerai berai dan belum dihimpun dalam satu mushaf.
Pasca perang Yamamah pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar mengusulkan agar dilakukan penghimpunan al-Qur’an. Usulan Umar didasari kekhawatiran akan menyusutnya jumlah penghafal al-Qur’an setelah banyak penghafal al-Qur’an terbunuh pada perang Yamamah. Semula Abu Bakar keberatan menerima usulan Umar. Ia berdalih bahwa menghimpun al-Qur’an tidak pernah dilakukan ataupun diperintahkan Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam. Tetapi setelah Umar terus membujuk, akhirnya Abu Bakar setuju melakukan penghimpunan al-Qur’an. Ia pun memerintahkan Zaid Bin Thābit untuk menjalankan program ini[29].
Dalam program penghimpunan al-Qur’an diterapkan standar bahwa pengakuan tentang ayat al-Qur’an hanya bisa diterima jika dikuatkan dengan dua saksi. Ibnu Abi Daud menceritakan:
أَرَادَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنْ يَجْمَعَ الْقُرْآنَ، فَقَامَ فِي النَّاسِ فَقَالَ: " مَنْ كَانَ تَلَقَّى مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ فَلْيَأْتِنَا بِهِ، وَكَانُوا كَتَبُوا ذَلِكَ فِي الصُّحُفِ وَالْأَلْوَاحِ وَالْعُسُبِ، وَكَانَ لَا يَقْبَلُ مِنْ أَحَدٍ شَيْئًا حَتَّى يَشْهَدَ شَهِيدَانِ[30]
Umar bermaksud menghimpun al-Qur’an. Ia berdiri di antara orang-orang dan berkata, “Siapa yang menerima dari Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam sesuatu dari al-Qur’an, maka bawalah kemari”. Orang-orang mencatat al-Qur’an di lembaran, papan, dan pelepah kurma. Umar tidak bersedia menerima dari siapapun pengakuan tentang Quran, hingga didukung dua saksi.
Kehati-hatian yang diterapkan Umar juga dijalankan Zaid bin Thābit. Ia tidak menerima pengakuan tentang al-Qur’an kecuali dikuatkan oleh dua saksi.
Program ini menghasilkan satu mushaf al-Qur’an. Awalnya mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar. Setelah ia meninggal, mushaf berpindah ke tangan Umar bin Khattab. Sepeninggal Umar, mushaf disimpan oleh Hafṣah binti Umar.
Pada masa kekhalifahan Uthman, Hudzaifah bin al-Yamān dikagetkan oleh fakta bahwa Umat Islam berbeda pendapat tentang cara baca al-Qur’an. Hudzaifah mengusulkan kepada Utsman agar segera mengatasi persoalan ini untuk menghindari terjadinya perbedaan kitab suci yang menimpa Yahudi dan Nashrani. Utsman menindak-lanjutinya dengan meminjam Mushaf Abu Bakar dari Hafshah. Kemudian Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa’ad bin al-‘Āṣ dan Abdurrahman bin al-Hārith untuk menyalin Mushaf Abu Bakar ke dalam beberapa mushaf. Setelah penyalinan selesai, Utsman mengirimkan mushaf-mushaf tersebut ke daerah-daerah kekuasaan Islam. Utsman memerintahkan supaya al-Qur’an selain versi penyalinan terakhir dibakar[31].
Perintah Utsman untuk membakar mushaf lain ternyata tidak benar-benar melenyapkan mushaf non Utsmani. Tercatat terdapat beberapa musha non Utsmani yang masih digunakan dan dipedomani di beberapa daerah. Ibnu Abi Daud menceritakan bahwa Abān bin Imron bertanya kepada Abdurrahman bin al-Aswad, “Kamu membaca صِرَاطَ مَنْ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرَ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَغَيْرَ الضَّالِّينَ ?” Abdurrahman menjawab, “Ayahku menceritakan kepadaku bahwa ia shalat di belakang Umar dan mendengarnya membaca ayat itu”[32]. Di samping mushaf Umar ada pula mushaf non Uthmānī lain yang masih dipakai di antaranya adalah, mushaf Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’b, Ibnu Abbas, Abdullah Ibnu Zubair.
Tetapi mushaf-mushaf non Uthmānī kemudian tidak ditemukan lagi. Tinggal mushaf Uthmānī yang masih ada dan menjadi rujukan umat Islam.
IV. Kesimpulan
Ulama berbeda pendapat tentang pengertian etimologis al-Qur’an. Pendapat yang paling tepat dan populer adalah bahwa al-Qur’an merupakan maṣdar dari قرأ yang kemudian dijadikan nama untuk kitab suci al-Qur’an. Sebagai nama ia tidak dapat didefinisikan. Definisi-definisi yang ada sejatinya dimaksudkan sebagai batasan-batasan yang membedakannya dari entitas lain. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai definisi al-Qur’an sejatinya adalah ciri khas yang melekat pada al-Qur’an dan membedakannya dari entitas lain[33].
Ada tujuh ciri khas yang sering disebut dalam pendefinisian al-Qur’an, yaitu: Kalam Ilahi, kemukjizatan, penurunan, penulisan di dalam mushaf, kemutawātiran, keibadahan dan urutan surat. Namun, menurut al-Zurqānī hanya satu yang menjadi ciri pembeda spesifik, yaitu kemukjizatan.
Al-qur’an, hadis Qudsy dan hadis nabawy sama-sama diterima umat Islam dari Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam. Perbedaan ketiganya terletak pada sumber. Menurut pendapat yang kuat, al-Qur’an bersumber dari Allah, gagasan dan redaksinya; hadis qudsy gagasannya bersumber dari Allah dan redaksinya dari Nabi; Hadis Nabawy bersumber dari nabi, gagasan dan redaksinya. Dan ijtihad Nabi dijaga Allah dari kesalahan.
Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke lawh al-Mahfūẓ pada malam lailatul qadar untuk kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam secara bertahap selama 23 tahun dimulai dari tahun 41 dari kelahiran Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam hingga wafat.
Penghimpunan al-Qur’an dalam satu mushaf dilakukan pertama kali oleh dan pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Hasil penghimpunan ini disempurnakan oleh Uthman bin Affan. Hasil penghimpunan Uthman dikenal dengan nama Mushaf Uthmani. Seusai penghimpunan al-Qur’an, uthman mengeluarkan kebijakan untuk berpegang kepada satu mushaf, yaitu mushaf Mushaf Uthmani, dan membakar mushaf non Uthmani. Namun kebijakan ini tidak berjalan mulus. Sebab, hingga abad 2 H, masih beredar mushaf non Uthmani dan dijadikan sebagai pedoman oleh sebagian Umat Islam. Kini mushaf non Uthmany tidak ditemukan lagi. Hanya melalui kitab-kitab tafsir atau kitab yang khusus membahas perbedaan mushaf, perbedaan mushaf para sahabat dapat ditemukan.©2013
Lihat makalah terkait: Pembakuan Mushaf Uthmani
Daftar Pustaka
Al-Qur’ān al-Karīm
al-Bukhāry, Muhammad bin Ismā’il, Ṣahīh al- Bukhāry, Beirut, Dār Tawq al-Najāt, 1422 H
al-Daylamy, Akrom Abd, Jam’u al-Qur’ān, Beirut, dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006
Ibnu ‘Āshur, Muhammad al-Ṭāhir, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, Tunis, al-Dār al-Tunisiyah, 1984
Ibnu Katsīr, Abu al-Fidā` Ismā’īl, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Riyadl, dār Ṭayyibah, 1999
al-Malawy, Ahmad, Shrh al-Sulam al-Munawraq, Jeddah, al-Haramain, tt al-Suyūṭy, Jalāl al-Dīn, al-Itqān fi ulūm al-Qur`ān, Cairo: al-hay`ah al-Maṣriyyah al- ‘Āmmah, 1974
al-Nawawy, Muhyiddin, Sharh Ṣahīh Muslim, Beirut, Dār Ihyā` al-Turāth al-Araby, 1392 H
al-Qāsimy, Muhammad Jamal al-Dīn, Qawā’id al-Tahdīth fi Funūn Musṭalah al-Hadīth, Beirut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001
al-Qaṭṭan, Mannā’ bin Kholīl Mabāhith fi ulūm al-Qur`ān, Riyadh, Maktabah al-Ma’ārif, 2000
al-Sijistāny, Ibnu Abi Daud, , al-Maṣāhif, Cairo, al-Fārūq al-Ḥadīthah, 2002
Subhy al-Ṣālih, Mabāhith fi ulūm al-Qur`ān, Beirut, dār al-‘Ilmi li al-Malāyīn, 2000
Al-Zarkasy, Abu Abdillah Badruddin, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur`ān, Cairo, dār `ihya` al-Kutub al-al-‘arabiyyah, 1957
al-Zurqāny, Muhammad Abd al-‘Aẓim, Manāhil al-‘Irfān, Cairo, ‘Isa al-Bāby al-Ḥalaby,1372 H.
[1] Abu Abdillah Badruddin al-Zarkasy, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur`ān, (Cairo: dār `ihya` al-Kutub al-al-‘arabiyyah, 1957), 1:278.
[2] Jalāl al-Dīn al-Suyūṭy, al-Itqān fi ulūm al-Qur`ān, (Cairo: al-hay`ah al-Maṣriyyah al- ‘Āmmah, 1974) 1:182.
[3] Subhy al-Ṣālih, Mabāhith fi ulūm al-Qur`ān, (Beirut: dār al-‘Ilmi li al-Malāyīn, 2000), 19. Lihat pula Muhammad Abd al-‘Aẓīm al-Zurqāny, Manāhil al-‘Irfān, (Cairo: ‘Isa al-Bāby al-Halaby, 1372 H), 1:14
[12] Mannā’ bin Kholīl al-Qaṭṭan, Mabāhith fi ulūm al-Qur`ān, (Riyadh: Maktabah al-Ma’ārif, 2000), 17.
[18] Muhammad Jamal al-Dīn al-Qāsimy, Qawā’id al-Tahdīth fi Funūn Musṭalah al-Hadīth, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 65.
[20] Abu al-Fidā` Ismā’īl Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, (Riyadl: dār Ṭayyibah, 1999), 8:441.
[22] Muhammad al-Ṭāhir Ibnu ‘Āshur, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunis: al-Dār al-Tunisiyah, 1984), 2:172.
[23] Muhammad bin Ismā’il al-Bukhāry, Ṣahīh al- Bukhāry, (Beirut: Dār Tawq al-Najāt, 1422 H.), 6:175
[28] Muhyiddin al-Nawawy, Sharh Ṣahīh Muslim, (Beirut: Dār Ihyā` al-Turāth al-Araby, 1392 H), 18:129.
[…] Makalah ini dikembangkan dari Sejarah Pembukuan al-Qur`an […]
BalasHapus