Kamis, 28 Maret 2013

Metode Tafsir Ibnu Ashur

I. Pendahuluan


Salah satu kerja keras yang paling patut dihargai adalah kerja keras seseorang dalam memahami makna al-Qur’an. Sejak masa sahabat hingga era kontemporer, sudah banyak upaya dilakukan dan bayak karya tafsir dibukukan untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan menyeluruh terhadap ayat-ayat al-Qur’an.


Di antara kitab-kitab tersebut ada yang mendapatkan popularitas dan memang layak mendapatkannya. Ada pula yang layak mendapatkan perhatian besar, karena kualitas, kedalaman pembahasan, dan kemudahan bahasanya, namum tidak beruntung mendapatkan popularitas yang seharusnya. Di antaranya adalah al-Tahrīr wa al-Tanwīr karya Ibnu Āshūr.


Ada yang berpendapat bahwa ketidak-populeran Ibnu Āshūr dan karyanya lebih disebabkan faktor geografi intelektual. Ibnu Āshūr berasal dari Tunis dan umumnya intelektual yang terkenal berasal dari Syam dan Mesir. Jadi, ketidak-populeran Ibnu Āshūr lebih merupakan ketidak-beruntungan, karena ia tidak berasal dari Syam atau Mesir.


Makalah ini mencoba memberikan gambaran singkat tentang al-Tahrīr wa al-Tanwīr, dengan maksud agar kebesaran Ibnu Āshūr dan al-Tahrīr wa al-Tanwīr mendapatkan perhatian dan apresiasi yang selayaknya. Tentu dengan kesadaran penuh bahwa makalah singkat ini tidak mungkin memberikan gambaran yang utuh tentang suatu kitab yang sangat tebal dan terdiri dari 11.198 halaman.


II. Ibnu Āshūr dan Al-Tahrīr wa al-Tanwīr


A. Biografi Ibnu Āshūr [1]


Muhammad al-Ṭāhir bin Muhammad bin Muhammad al-Ṭāhir bin Āshūr  dikenal dengan nama Ibnu Āshūr. Ia dilahirkan di al-Mursī, suatu kawasan pantai Laut Tengah yang terletak di sebelah selatan, 20 km dari kota Tunis, pada bulan Jumadal Ula Tahun 1296 H bertepatan dengan tahun 1879 M.


Sebelum menginjak 14 tahun Ibnu Āshūr sudah mulai menghafal al-Qur’an dan mmenghafal kitab-kitab lain, seperti al-Jurūmiyyah, sebagai persiapan masuk ke universitas Zaitunah, seperti yang lazim dilakukan anak-anak seusianya.


Di usia 14 tahun Ibnu Āshūr masuk ke Universitas Zaitunah. Beberapa pelajaran yang diterimanya di Universitas tersebut antara lain adalah:




  1. Di bidang Nahwu: al-Makūdī, Lāmiyat al-Af’āl, al-Āshmūnī al-Mughni

  2. Di bidang Balaghah: al-Damanhūrī ‘Ala al-Smarqandiyah, al-Talkhīs, al-Miftāh

  3. Di bidang Bahasa: al-Muzhir, al-Hamāsah, al-Mathal al-Sāir

  4. Di bidang Fikih: al-Dardīr, Miyārah, al-Kifāyah, al-Tāwudī ‘ala al-Tuhfah

  5. Di bidang Ushul Fikih: al-Ḥaṭṭab ‘ala al-Waraqāt, al-Tanqīh, al-Mahallī

  6. Di bidang Hadis: Sahīh al-Bukhārī, Sahīh Muslim, kitab-kitab Sunan

  7. Di bidang Sīrah: al-Shifā`,

  8. Di bidang sejarah: al-Muqaddimah


Dilihat dari pelajaran-pelajaran yang ada, tampak bahwa metode pendidikan di masa Ibnu Āshūr tidak jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya, yaitu menghafal kitab-kitab klasik.


Karakter intelektual Ibnu Āshūr tidak hanya terbentuk oleh pendidikan Zaitunah, tetapi juga oleh persinggungan intelektualnya dengan gerakan reformasi agama yang sedang gencar-gencarnya dikampanyekan saat itu. Ibnu Āshūr, demikian intelektual Tunisia, mengenal pemikiran-pemikiran reformis Muhammad Abduh dan Jalaluddin Afghani melalui bulletin al-‘Urwah al-Wuthqa. Ibnu Āshūr banyak mengikuti ceramah-ceramah Abduh ketika  berkunjung ke Tunisia pada tahun 1391 H/1903 M. Kontak Ibnu Āshūr dengan Abduh semakin intens, bahkan Abduh kemudian menjulukinya sebagai Duta Dakwah (reformasi) di universitas Zaitunah. Julukan tersebut tidak lepas dari penilaian bahwa Ibnu Āshūr merupakan representasi, bahkan kepanjangan tangan dari,  pemikiran reformis Abduh dan Afghani. Pemikiran-pemikiran reformis Ibnu Āshūr tercermin dari karya-karyanya seperti a laisa al-Subhu Qarīban di bidang pendidikan dan ushūl al-Nidhām al-ijtimā’ī fi al-Islām di bidang sosial.


Dengan demikian Ibnu Āshūr dapat dikategorikan sebagai ulama yang memiliki kedalaman pemahaman terhadap materi kitab-kitab klasik dan memiliki pola pikir kritis dan reformis. Kedua kecenderungan itu tercermin dalam Al-Tahrīr wa al-Tanwīr. Bahkan nama kitab ini yang berarti “Pembebasan dan Pencerahan”, mengindikasikan obsesi Ibnu Āshūr terhadap reformasi agama.


Ibnu Āshūr meninggal pada tahun 1394 H/1973 M dalam usia 98 tahun. Dan selama hidupnya ia telah banyak menghasilkan karya, diantaranya adalah: Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, Uṣūl al-Niẓām al-Islāmī, A Laysa al-Ṣubhu Qarīban, al-Waqfu wa Atharuhu fi al-Islām, Kashfu al-Mughaṭṭa min al-Ma’ānī wa al-Alfāẓ al-Wāqi’ah fi al-Muwaṭṭa, Qiṣṣat al-Mawlid, al-Raddu ‘ala Kitāb al-Islām wa Uṣūl al-Hukmi, Fatāwa wa Rasā`il Fiqhiyyah, al-Tahrīr wa al-Tanwīr yang akan dibahas dalam makalah ini.


B. Pengenalan Singkat Tafsir al-Tahrīr wa al-Tanwīr dan Sistematika Pembahasannya


Sebagaimana dituturkan penulisnya, kitab ini bernama panjang Tahrīr al-Ma’na al-Sadīd wa Tanwīr al-Aqll al-Jadīd min Tafsīr al-Kitāb al-Majīd dan disingkat al-Tahrīr wa al-Tanwīr[2]. Ibnu Āshūr menyebut al-Tahrīr wa al-Tanwīr  sebagai obsesi terbesarnya. Awalnya ia ragu untuk mewujudkan obsesinya. Tetapi setelah melakukan istikharah dan memohon pertolongan kepada Allah, ia menjadi mantap. Penulisan Al-Tahrīr wa al-Tanwīr mulai dikerjakan pada tahun 1341 H. dan selesai di waktu Ashar hari Jum’at, bulan Rajab 1380[3]. Dengan demikian penulisan al-Tahrīr wa al-Tanwīr memakan waktu 39 tahun. Al-Tahrīr wa al-Tanwīr  terdiri dari 30 juz dengan jumlah halaman 11.198 (sebelas ribu seratus sembilan puluh delapan), tidak termasuk halaman daftar isi yang terdapat dalam setiap juz.


Ibnu Āshūr mengawali kitabnya dengan membahas 10 hal yang menjadi pendahuluan dan landasan bagi al-Tahrīr wa al-Tanwīr. Sepuluh hal tersebut adalah:




  1. Pengertian tafsir dan ta`wil

  2. Sumber-sumber tafsir

  3. Legalitas dan pengertian tafsir rasional (bi al-ra`yi)

  4. Tujuan penafsir

  5. Konteks historis turunnya ayat (asbāb al-nuzūl)

  6. Macam-macam bacaan (al-qirā`at)

  7. Kisah-kisah dalam al-Qur’an

  8. Nama dan ayat al-Qur’an

  9. Makna yang tercakup dalam kata atau kalimat al-Qur’an

  10. Kemukjizatan al-Qur’an


Setelah purna penjelasan tentang sepuluh pendahuluan di atas, Ibnu Āshūr masuk dalam kajian tafsir dimulai dari surat al-Fātihah hingga al-Nās sesuai urutan surat dalam al-Qur’an. Setiap memulai surat baru Ibnu Āshūr menjelaskan perbedaan atau keragaman nama surat, alasan penamaan surat, identifikasi makki dan madani, jumlah ayat dan nomor urut surat. Dan penjelasan tersebut dikuatkan dengan argumentasi tekstual, seperti hadis, atsar atau pendapat ulama. Kemudian Ibnu Āshūr menjelaskan tema dan kandungan surat tersebut.


Contoh: dalam penafsiran surat al-Ma’ārij Ibnu Āshūr membahas nama surat dengan mengatakan: “surat ini disebut di dalam kitab-kitab sunan, Ṣahīh Bukhārī, Jāmi’ al-Tirmidhi, Tafsīr al-Ṭabarī, Tafsīr Ibnu ‘Aṭiyyah, Tafsīr Ibnu Katsir dengan nama surat سأل سائل. Dan di dalam al-Itqān disebut dengan surat  الواقع ” . Kemudian Ibnu Āshūr menjelaskan, “surat ini adalah makkiyyah dengan kesepakatan ulama”.  Terkait urutan surat dan jumlah ayat Ibnu Āshūr mengatakan, “ ia surat yang ke-78 … dan turun setelah al-Hāqqah sebelum al-Naba`. Hitungan ayatnya menurut mayoritas ulama adalah 44 ayat, dan menurut ulama Sham berjumlah 43 ayat”. Kemudian Ibnu Āshūr menjelaskan kandungan tema yang terdapat dalam surat tersebut[4].


Dalam mengupas suatu ayat, pertama-tama Ibnu Āshūr membahas hal-hal berikut. Pertama, analisa koherensi (munāsabāt). Dengan kejeliannya Ibnu Āshūr mencoba mengidentifikasi hubungan antar ayat dan merajutnya dalam sebuah gagasan pokok  yang koheren. Jika ayat tersebut merupakan awal dari sebuah gagasan pokok atau tema, maka Ibnu Āshūr cukup menjelaskan bahwa ayat ini adalah awal tema yang tidak terkait dengan ayat sebelumnya. Jika ayat tersebut berada di tengah surat dan seolah-olah terlepas sama sekali dari ayat sebelumnya, maka Ibnu Āshūr menjelaskan keterkaitan itu dan merajutnya dalam satu gagasan yang koheren. Dan inilah salah satu kelebihan al-Tahrīr wa al-Tanwīr .


Contoh: ketika menafsirkan ayat:


وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئاً وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ[5]


Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.


pertama-tama Ibnu Āshūr mengkaitkan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Ibnu Āshūr menjelaskan bahwa ayat ini merupakan kelanjutan dari al-nahl:72 yang membicarakan bukti keesaan Allah dalam mengatur alam semesta dan tema tentang nikmat-nikmat Allah. Karena akhir ayat 72 berbicara tentang penegasan untuk tidak mengimani hal yang batil dan tidak mengkufuri nikmat Allah, maka ayat selanjutnya, yaitu ayat 73 sampai dengan 77, berbicara tentang tadzkīr dan indhār agar manusia tidak terjatuh ke dalam keimanan kepada hal yang batil dan pengkufuran kepada nikmat Allah. Dan ayat 78 kembali kepada gagasan utama ayat 72.


Kedua, jika dalam suatu ayat ditemukan konteks historisnya (sabab al-nuzūl), Ibnu Āshūr menyebutkan dan menjadikannya sebagai dasar dalam memahami ayat tersebut.


Contoh: dalam ayat:


وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ[6]


Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.


Ibnu Āshūr menjelaskan bahwa sasaran ayat ini adalah kaum muslimin, bukan Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam. Sebab, Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam seorang yang berakhlak mulia dan bukan pemaki atau orang suka berkata keji. Karena itu, tidak mungkin Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi Wa Sallam memaki sembahan orang lain yang kemudian memicu turunnya ayat ini. Kemudian Ibnu Āshūr mengutip sabab al-Nuzūl riwayat al-Ṭabarī dari Qatādah, “kaum muslimin memaki berhala-berhala orang kafir yang dibalas oleh mereka dengan makian serupa. Kemudian Allah melarang mereka mendatangkan makian kepada Allah”. Kemudian Ibnu Āshūr berkomentar bahwa ini adalah sabab al-Nuzūl tervalid dari sudut pandang sanad dan paling sesuai dengan konteks pemahaman ayat.


Ketiga, analisa bahasa yang terdiri dari tiga aspek yaitu, gramatika (al-tarkīb al-nahwiyah), bentuk kata (al-binyah al-Sharfiyah), arti leksikal (ma’āni al-mufradāt) dan sisi kesusasteraan (al-wujūh al-balāghiyah). Analisa bahasa tidak dilakukan terhadap semua kata yang ada pada suatu ayat, melainkan hanya terhadap kata-kata yang dianggap perlu dan dapat memudahkan pemahaman atau memberikan kedalaman pemahaman suatu ayat. Dalam melakukan analisa bahasa Ibnu Āshūr kerap menggunakan ayat lain, hadis atau sair Arab sebagai contoh yang menguatkan analisanya.


Dalam analisa bahasa Ibnu Āshūr menuturkan berbagai kemungkinan kedudukan (tarkīb nahwī) pada satu kata. Misalnya, suatu kata bisa berkedudukan sebagai khabar bisa pula sebagai hāl berikut implikasinya terhadap perbedaan makna. Jika ditemukan, Ibnu Āshūr juga menyebutkan adanya perbedaan pendapat ulama tentang tarkīb nahwī, binyah ṣarfiyah atau ma’ānī al-mufradāt pada suatu ayat.


Selain pembahasan tarkīb nahwī, binyah ṣarfiyah dan ma’ānī al-mufradāt, Ibnu Āshūr Ibnu Āshūr juga membahas nilai keindahan (al-wujūh al-balāghiyah) ayat yang meliputi tiga aspek yaitu, kemukjizatan al-Qur’an, keindahan sastra dan style bahasa. Bahkan seperti dituturkannya sendiri, pembahasan tentang nilai keindahan merupakan salah satu perhatian utama al-Tahrīr wa al-Tanwīr[7].


Keempat, penjelasan tentang versi bacaan (al-qirā`at). Jika terdapat perbedaan bacaan antar qirā’ah mutawātirah, Ibnu Āshūr menjelaskan perbedaan tersebut. Terkadang Ibnu Āshūr menyinggung versi bacaan meskipun tidak ada perbedaan antar qirā’ah mutawātirah. Hal itu dilakukan salah satunya untuk menunjukkan bahwa perbedaan tarkīb nahwī tidak serta merta menimbulkan perbedaan bacaan.


Empat pembahasan tersebut di atas bersifat instrumental untuk mendapatkan pemahaman yang utuh, terpadu dan mendalam tentang suatu ayat. Pemahaman inilah yang menjadi titik masuk Ibnu Āshūr untuk mengkaitkan suatu ayat dengan persoalan lain di luar tafsir. Beberapa persoalan non tafsir yang disinggung Ibnu Āshūr diantaranya adalah: akidah, fikih, pendidikan, sain dan kehidupan sosial. Namun demikian Ibnu Āshūr membatasi diri dalam membahas persoalan di luar tafsir. Kerapkali Ibnu Āshūr menghentikan pembahasan ketika tidak lagi terkait dengan upaya untuk memahami suatu ayat. Misalnya, ketika mengupas makna hidayah Ibnu Āshūr mengatakan bahwa ulama Ilmu Kalam sepakat tentang makna hidayah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang sumber hidayah. “… Perbedaan ini adalah persoalan yang tidak diperlukan dalam memahami ayat”[8].


Ibnu Āshūr juga menghindari pengulang-ulangan suatu pembahasan. Jika suatu kata sudah pernah dikupas sebelumya, maka Ibnu Āshūr cukup mengatakan bahwa masalah dimaksud telah dibahas sebelumnya. Penjelasan tersebut kadang disertai dengan keterangan, dalam surat dan ayat apa pembahasan dimaksud dilakukan, dan kadang cukup dikatakan bahwa pembahasan dimaksud sudah dibahas dalam ayat yang sama sebelumnya.


C. Rujukan al-Tahrīr wa al-Tanwīr


Dalam pendahuluannya Ibnu Āshūr mengakui bahwa ia juga merujuk kepada kitab-kitab tafsir sebelumnya, meskipun kutipan itu tidak disebut secara eksplisit. Tetapi, al-Tahrīr wa al-Tanwīr  bukanlah kitab ensiklopedi tafsir, seperti umumnya tafsir yang ditulis di abad pertengahan, yang hanya memuat penafsiran-penasiran yang sudah ada sebelumnya. Al-Tahrīr wa al-Tanwīr menambahkan hal-hal baru yang tidak pernah disebutkan kitab-kitab tafsir sebelumnya. Setidaknya hal-hal baru tersebut tidak pernah ditemukan Ibnu Āshūr dalam kitab-kitab tafsir, meskipun bisa jadi sudah pernah dibicarakan sebelumnya[9].


Kitab-kitab tafsir yang menjadi rujukan al-Tahrīr wa al-Tanwīr  sebagaimana disebutkan Ibnu Āshūr adalah:




  1. Al-Kashshāf ‘an Haqā`iq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fi Wujūh al-Ta`wīl  karya Zamakhshari

  2. Al-Muharrar al-wajīz fi Tafsīr al-Kitāb al-‘Azīz karya Ibnu ‘Atiyyah

  3. Mafātīh al-Ghayb karya al-Rāzī

  4. Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-ta`wīl karya al- Bayḍāwī

  5. Rawh al-Ma’ānī karya al-Alawsī

  6. Tulisan al-Ṭībī, al-Qazwaynī dan al-Taftāzānī yang mengomentari al- Kashshāf

  7. Tulisan al-Khafājī yang mengomentari tafsir al-Bayḍāwī

  8. Irshād al-‘Aql al-Salīm ila mazāyā al-Kitāb al-Karīm karya Abu al-Su’ūd

  9. Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur`ān karya al-Qurtubī

  10. Tafsīr Ibnu ‘Arafah

  11. Tafsīr Ibnu ‘Atiyyah

  12. Jāmi’ al-Bayān fi Tafsīr al-Qur`ān karya Ibnu Jarīr

  13. Durrat al-Tanzīl, ada yang menyebut sebagai karya al-Rāzī dan ada pula yang menyebutnya sebagai karya Rāghib al-Aṣfihānī


Rujukan lain yang tidak disebut Ibnu Āshūr tetapi terdapat dalam al-Tahrīr wa al-Tanwīr  diantaranya adalah tafsīr Ibnu Kathīr, Tafsīr al-Baghawī, Tafsīr Abi al-Qāsim, Tafsīr al-Asfihānī, Tafsīr al-Manār dan Tafsīr Muhammadd Abduh.


Di samping merujuk pada kitab tafsir, Ibnu Āshūr juga merujuk kepada kitab non tafsir. Terlalu panjang untuk menyebut satu per satu daftar rujukan al-Tahrīr wa al-Tanwīr. Di sini cukup disebutkan disiplin ilmu dan perkiraan jumlah kitab yang menjadi rujukan al-Tahrīr wa al-Tanwīr. Berikut daftar rujukan berdasarkan disiplin ilmu dan jumlah kitab:




  1. Hadis, lebih dari 15 kitab

  2. Fikih, 13 kitab

  3. Nahwu dan Ṣharaf, 18 kitab

  4. Dīwān al-Shi’ri, lebih dari 10 kitab

  5. Bahasa, 13 kitab

  6. Balaghah, 10 kitab

  7. Filsafat, 4 kitab

  8. Ensiklopedi Tokoh, 6 kitab

  9. Kitab dari agama lain, 2 kitab yaitu Taurat dan Injil


Rujukan di atas belum mencakup seluruh kitab yang menjadi rujukan al-Tahrīr wa al-Tanwīr yang jumlah keseluruhannya mencapai lebih dari 100 kitab[10].


Dari keragaman dan jumlah rujukan dapat dibayangkan, betapa mendalam dan komprehensipnya pembahasan yang dilakukan Ibnu Āshūr dalam membedah suatu ayat. Hal itulah yang menjelaskan mengapa al-Tahrīr wa al-Tanwīr terdiri dari 30 juz dengan jumlah halaman 11.198. Ketebalan al-Tahrīr wa al-Tanwīr tidak bersifat ensiklopedis yang memuat daftar pendapat ulama tentang tafsir suatu ayat, baik bi al-ma`thūr maupun bi al-ra`yi, melainkan analisa yang mendalam dan komprehensif terhadap suatu ayat. Pengutipan yang dilakukan Ibnu Āshūr bersifat instrumental untuk mendapatkan pemahaman yang paling valid.


III. Kesimpulan


Seperti umumnya ulama reformis di abad 19, Ibnu Āshūr adalah tokoh intelektual Islam yang mengusai litertur klasik dan berpola pikir reformis. Kedalam penguasaan kitab klasik dan pemikiran reformis itu tercermin dalam karya-karyanya, termasuk dalam al-Tahrīr wa al-Tanwīr.


Al-Tahrīr wa al-Tanwīr termasuk kitab muṭawwalāt yang terdiri dari 30 juz dengan jumlah halaman 11.198. Tetapi tidak seperti kebanyakan kitab-kitab tafsir yang ditulis di abad pertengahan yang hanya menampilkan ulang pendapat ulama-ulama sebelumnya, ketebalan al-Tahrīr wa al-Tanwīr lebih disebabkan upayanya yang komprehensif dalam menemukan kedalaman dan kesahihan penafsiran. Penafsiran al-Tahrīr wa al-Tanwīr bersifat kata per kata dan dilakukan dengan analisa multi disiplin.


Meskipun merujuk pada lebih dari 100 kitab dari berbagai disiplin ilmu, namun al-Tahrīr wa al-Tanwīr tetaplah kitab tafsir yang fokus pada pemahaman terhadap ayat secara mendetail. Kalaupun terdapat pembahasan di luar tafsir, maka pebahasannya hanya bersifat instrumental. Pembahasan di luar tafsir bisa juga merupakan hasil pemahaman atas suatu ayat yang kebetulan terkait dengan disiplin ilmu dimaksud. Ibnu Āshūr membatasi diri untuk tidak membicarakan topik non tafsir secara panjang lebar©2013


Daftar Pustaka


Al-Qur’an al-Karim


Ibnu Āshūr, Muhammad al-Ṭāhir, Al-Tahrīr wa al-Tanwīr, Tunisia,  al-Dār al-Tunisiyah, 1939


Al-Ghālī, Balqasim, Dr, Muhammad al-Ṭāhir Ibnu Āshūr Hayātuhu wa `āthāruhu, Beirut, Dār Ibnu Hazm,  1996


Ṣaqr, Nabīl Ahmad, Manhaj al-Imām al-Ṭāhir Ibnu Āshūr fi al-Tafsīr, Cairo, al-Dār al-Maṣriyah, 2001









[1] Biografi Ibnu Āshūr dirangkum dari Dr. Balqasim al-Ghālī, Muhammad al-Ṭāhir Ibnu Āshūr Hayātuhu wa `āthāruhu, (Beirut: Dār Ibnu Hazm,  1996).




[2] Muhammad al-Ṭāhir Ibnu Āshūr, Al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunisia:al-Dār al-Tunisiyah, 1939), 1:9




[3] Ibid, 30:636




[4]Ibid, 29:53




[5] Al-Qur’an, al-Nahl:78




[6] Ibid, al-An’ām:108




[7] Al-Tahrīr wa al-Tanwīr, 1:8




[8] Al-Tahrīr wa al-Tanwīr , 1:225




[9] Ibid, 1:7




[10] Nabīl Ahmad Ṣaqr, Manhaj al-Imām al-Ṭāhir Ibnu Āshūr fi al-Tafsīr, (Cairo: al-Dār al-Maṣriyah, 2001), 16-35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Terkini

PERKEMBANGAN LEMBAGA PERADILAN DARI MASA KENABIAN HINGGA DINASTI ABBASIYAH

Download versi pdf A. Pendahuluan Agama apapun tentu berisikan ajaran-ajaran tentang kebenaran dan petunjuk bagi penganutnya agar mendapatka...

Paling Sering Dibaca