Jumat, 02 November 2012

Problem Ijtihad Di Ruang Sempit

Salah satu keunggulan ijtihad ulama terdahulu adalah konsistensi mereka dalam memegang teguh informasi, prinsip dan metode ijtihad yang diyakininya. Prinsip dan metode ijtihad dimaksud berkaitan dengan pola pikir dan cara pandang mereka dalam memposisikan dan memaknai teks teks Quran maupun hadis serta bagaimana mensikapi ijtihad pendahulunya. Ijtihad mereka punya landasan yang jelas dan terukur dan pemaknaan mereka terhadap teks teks quran maupun hadis tidak keluar dari kaidah dan penggunaan bahasa arab yang benar.


Hasil ijtihad mereka memang tidak selalu diteima secara luas. Ibnu Abbas menghalalkan nikah mut’ah, meskipun ditentang banyak Sahabat. Ibnu Juraij, tokoh mujtahid Makkah dari kalangan tabi’in, menghalakan dan melakukan mut’ah, meskipun ditentang ulama lain. Mereka berdua bergeming bahwa mut’ah halal, bukan karena kesimpulan sudah ada terlebih dahulu baru kemudian dicarikan dasarnya, melainkan karena informasi dan metode yang diyakininya menyimpulkan demikian.


Abu Hanifah, salah satu dari empat imam mazhab, berpendapat bahwa minuman keras selain khomr, yaitu yang terbuat dari anggur, tidak haram sepanjang tidak sampai mabuk. Ini salah satu pendapat yang tidak populer. Tetapi Abu Hanifah bergeming dengan pendapatnya, karena menurutnya  khomr seperti dipahami orang arab adalah minuman yang diperas dari anggur.


Masih banyak contoh lain dari ijtihad ijtihad ulama yang bertentangan dengan arus utama. Namun demikian saya melihat mereka adalah tokoh tokoh mujtahid yang bertangungg jawab dan ijtihadnya dapat dipertangunggjawabkan.


Jadi, pada dasarnya ijithad yang kontroversial dan bertentangan dengan arus bukanlah hal baru dan aneh. Yang perlu dilihat secara lebih cermat adalah, apakah seorang mujtahid konsisten dengan informasi, metode dan prinsip dasar yang diyakininya atau sebaliknya tunduk pada kesimpulan yang mendahului proses ijtihadnya.


***


Para terpidana bom bali meminta agar eksekusi mati dilakukan dengan cara dipancung, agar sesuai dengan syariat Islam. Semua orang yang pernah belajar syariat Islam paham bahwa pendapat semacam ini punya rujukan tekstual dari literatur Islam. Bukan hanya pancung, hukuman hukuman yang lebih berat dari itu juga ditemukan dalam sumber sumber hukum Islam. Hukuman mati dengan cara dibakar pernah dilakukan Ali bin Abi Thalib dalam kasus Riddah (Buchori:6411). Rajam diperintahkan sekaligus diimplementasikan oleh Rasulullah dalam kasus zina. Hukuman mati dengan dilempar batu yang hampir mirip dengan rajam penah dilakukan Rasulullah dalam kasus qishas (Muslim:3165). Eksekusi di tiang salib dalam kasus hirabah (terorisme, premanisma dan perampokan bisa masuk dalam kategori kejahatan ini) bisa dirujuk pada al-Maaidah:33.


Dan pancung adalah hukuman mati paling populer saat itu. Rasulullah pernah memerintahkan hukuman pancung bagi orang yang murtad (Mu’jam Kabir, Thabrany: 16517). Ali bin Abi Thalib pernah diperintahkan Rasulullah untuk memacung seseorang yang dicurigai berzina (Muslim:4975). Umar bin Khattab pernah meminta ijin untuk memancung seorang muslim yang dianggap menjadi intel bagi kafir Makkah (Buchori:6426). Ibnu Mas’ud pernah melaksanakan hukuman pancung dalam kasus riddah (Abu Daud:2381). Muadz bin Jabal juga pernah melaksanakan hukuman pancung dalam kasus riddah (Ibnu Hibban:5467).


Ada dua hal yang bisa disimpulkan dari informasi di atas. Pertama, hukuman mati termasuk dengan cara pancung memiliki rujukan yang jelas dari sumber sumber hukum Islam. Kedua, hukuman pancung pernah dilaksanakan oleh Sahabat. Jadi untuk memastikan bahwa hukum pancung pernah dilaksanakan dalam Islam tidak perlu merujuk terlalu jauh kepada kasus Alhhalaj, apalagi kepada kasus Ali Abdur Raziq di Mesir yang setahu saya memang tidak pernah dihukum pancung.


 Saya tidak sedang dalam posisi mendukung atau menolak hukum pancung. Perhatian saya lebih tertuju kepada argumentasi yang disampaikan berkenaan dengan hukuman itu.  Jika seseorang berpendapat bahwa hukum pancung disyariatkan, maka rujukannya mudah ditemukan dalam sumber hukum Islam. Sebab secara tekstual informasi di atas memang menunjuk keberadaan hukum pancung dalam Islam. Sebaliknya, jika seseorang berpendapat hukum pancung tidak disyariatkan, maka ada tiga pertanyaan yang patut diajukan dan tersusun secara berurutan. Pertama, apakah informasi Quran dan Hadis yang saya sebutkan di atas tidak sampai kepada orang tersebut. Kedua, atau informasi tersebut sampai kepadanya tetapi tidak dianggap valid. Ketiga, atau informasi tersebut memang valid tetapi pemaknaannya tidak seperti yang tersurat.


Kemugkinan terlewatnya informasi dari seorang mujtahid adalah hal yang sangat mungkin terjadi. Dalam kasus fatwa Ibnu Abbas yang menghalalkan mut’ah, Ibnu Hajar menduga bahwa informasi tentang Rasulullah mengharamkan mut’ah mungkin tidak sampai kepada beliau. Sehingga ketika seseorang bertanya tentang hukum nikah mut’ah Ibnu Abbas memperbolehkannya. Tetapi ketika informasi yang terlewatkan kemudian sampai  kepada mujtahid dan diyakini validitasnya, maka fatwa tersebut harus berubah sesuai informasi baru yang diperolehnya.


Dalam ijtihad yang disampaikan Ismatillah seperti dimuat Jawa Pos 12 November 2007, saya melihat ada kemungkinan terlewatnya informasi mengenai hukum pancung seperti saya sebutkan di atas. Sebab, kalau memang informasi itu sampai di tangannya, tentu ia tidak akan merujuk pada peristiwa Alhallaj untuk membuktikan keberadaan hukum pancung dalam peradaban Islam. Jika dugaan saya benar, maka tulisan ini diharapkan bisa menjadi landasan bagi Ismatillah untuk mengkaji ulang ijtihadnya.


Adakalanya sebuah informasi sampai ke tangan seorang mujtahid. Tetapi karena informasi tersebut dianggap tidak valid, maka ditolak. Ibnu Abbas pernah menyampaikan kepada Aisyah bahwa menurut Ibnu Umar Rasulullah pernah bersabda, “Orang yang mati akan disiksa karena tangis keluarganya”. Aisyah berkata, “Demi Allah Nabi tidak mengatakan demikian”. Kemudian Aisyah mengutip al-An’aam:164, “dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain" (Buchori:1206). Dengan dasar ini tentu bisa diterima jika kemudian Aisyah berfatwa bahwa menangisi mayyit tidak akan menambah siksa bagi mayyit tersebut, meskipun di sisi lain Ibnu Umar tetap meyakini, apa yang diceritakannya dari Rasulullah adalah benar.


Dengan asumsi bahwa Ismatillah tidak mendapatkan informasi yang akurat tentang hukum pancung dalam Islam, tentu tidak relevan menduga Ismatillah telah melakukan validasi terhadap informasi tersebut. Tetapi seandainya informasi itu didapatkan dan validasi telah dilakukan, maka sebagai pertangunggjawaban ilmiah seharusnya ia menjelaskan hasil validasi tersebut dengan disertai argumentasi yang dapat diterima.


Kemungkinan lain tidak menggunakan suatu informasi yang valid adalah persepsi yang berbeda terhadap informasi teresebut. Malik, salah satu dari empat imam Mazhab, meriwayatkan hadis yang menetapkan khiyar Majlis, yaitu hak untuk membatalkan transaksi sepanjang penjual dan pembeli belum berpisah dari tempat terjadinya transaksi. Namun demikian beliau berpendapat bahwa khiyar majlis tidak mungkin diterapkan. Sebab apa yang disebut “berpisah” tidak  memiliki batasan yang pasti. (Muwattha’, Malik:1177).


Melihat apa yang disampaikan Ismatillah, ada dua kemungkinan berkaitan dengan pensikapan beliau terhadap informasi hadis dan Quran yang secara eksplisit menyebutkan adanya hukuman mati. Pertama, Ismatillah mengabaikan kemungkinan adanya informasi tersebut dan karenanya tidak tahu. Kedua, Ismatillah tahu tetapi mengabaikannya karena ada persepsi pemaknaan yang berbeda. Apapun kemungkinannya, hal yang pasti adalah bahwa Ismatillah menyebutkan setidaknya dua kata kunci yang menjadi dasar argumentasinya. Dan mungkin argumentasi argumentasi inilah yang dijadikan dasar untuk mementahkan arti tekstual Quran dan hadis di atas. Dua kata kunci tersebut adalah “Tradisi Arab” dan “Nilai Univerasal”.


***


Ismatillah mengatakan bahwa pancung adalah tradisi Arab dan ujung ujungnya Ismatillah menolak hukum pancung sebagai bagian dari Syariat Islam.


Andai saja argumentasi yang disampaikan cukup meyakinkan, bisa jadi saya menerima pendapat beliau. Atau bisa jadi sebenarnya argumen beliau cukup meyakinkan, tetapi karena ruang yang digunakan untuk menjelaskan hasil ijtihad terlalu sempit sehingga argumentasi yang disampaikan tampak sangat lemah.


Tidak dipungkiri bahwa dalam syariat Islam banyak hukum yang sebelumnya sudah dikenal dan diimplementasikan oleh masyarakat Arab pra Islam. Sebab, meskipun Syariat Islam bersifat universal dan berlaku sepanjang masa, ia tetaplah syariat yang tidak terlepas dari interaksi dengan masyarakat dimana ia diturunkan. Oleh karena itu, disamping mengajarkan nilai yang bersifat univarsal dan sepanjang masa, Islam juga memberikan petunjuk tentang mana tradisi Arab yang perlu ditetapkan dan mana yang perlu diubah. Hukuman potong tangan, larangan mencuri, menikah, rajam, qishas adalah sebagian dari hukum hukum yang ditetapkan Islam dan sebelumnya sudah dikenal dalam tradisi Arab. Sementara paganisme, zina, riba, minum arak, judi adalah sebagaian dari tradisi Arab yang tidak ditabukan dan kemudian dilarang oleh Islam.


Pertanyaannya adalah, apakah setiap hukum Islam yang diberlakukan sebagai respons, positif maupun negatif, terhadap tradisi arab pra Islam tidak dianggap sebagai syariat Islam yang berlaku sepanjang masa atau bahkan sama sekali tidak dikategorikan sebagai Syariat Islam? Kalau jawabannya “ya”, maka seharusnya larangan mencuri dan menikah juga bukan syariat Islam karena hal itu sudah ada dalam tradisi Arab. Bahkan kalau diperluas, larangan larangan yang diberlakukan Islam dan merupakan respon atas tindakan tindakan buruk dalam tradisi arab pra Islam juga tidak termasuk syariat Islam. Dan jika jawabanya “tidak”, maka seharusnya ada kalsifikasi yang jelas dan argumentatif tentang mana tradisi Arab yang bisa dikategorikan dalam Syariat Islam dan mana yang tidak.


Kalau klasifikasi “tradisi Arab” dikaitkan dengan “nilai nilai universal”, maka argumentasi yang dibangun akan seperti ini: jika hukum Islam yang merupakan respon terhadap tradisi Arab tidak sesuai dengan nilai nilai universal maka hukum tersebut tidak termasuk syariat Islam. Dan karenanya seluruh teks Hadis dan Quran yang secara eksplisit menunjuk makna yang tidak sesuai dengan nilai nilai universal harus dita’wil (diartikan makna lain yang lebih jauh).


Untuk mempertajam argumentasi “nilai nilai universal” ada satu pertanyaan yang patut dipertimbangkan, yaitu apa ukuran suatu nilai disebut nilai universal. Apakah larangan zina, riba, judi, arak yang diberlakukan Islam adalah nilai yang universal. Ataukah larangan hukum pancung, rajam dan potong tangan, seperti disugestikan Barat, itulah yang disebut nilai universal. Tanpa ada paramater yang jelas dan teruji, argumentasi “nilai nilai universal” hanya akan menjadi alat pembenaran terhadap kesimpulan kesimpulan final yang mendahului ijtihad.


Pada dasarnya saya menyukai ijtihad ijtihad yang inovatif. Dan saya termasuk orang yang meyakini bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Sebab bagi saya, tidak pernah salah karena tidak pernah berijtihad bukanlah suatu kehebatan. Hebat adalah sesekali melakukan kesalahan tapi tidak pernah berhenti berijtihad. Dan yang paling buruk adalah tidak pernah benar tetapi masih saja sok berijtihad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Terkini

PERKEMBANGAN LEMBAGA PERADILAN DARI MASA KENABIAN HINGGA DINASTI ABBASIYAH

Download versi pdf A. Pendahuluan Agama apapun tentu berisikan ajaran-ajaran tentang kebenaran dan petunjuk bagi penganutnya agar mendapatka...

Paling Sering Dibaca