Jumat, 02 November 2012

Menakar Reliabilitas Qiyas Dalam Menjawab Waqi'iyah

Umat Islam sepakat bahwa agama Islam bersifat universal. Syariat Islam berlaku lintas generasi dan lintas ruang. Dan sumber primer Syariat Islam adalah Quran dan Hadis. Jika dihitung berdasarkan satuan ayat, jumlah teks Quran berjumlah kurang lebih 6600 (enam ribu enam ratus). Dan seluruh jumlah hadis yang beredar, tanpa mempertimbangkan perbedaan sanad, berada pada kisaran 26000 (dua puluh enam ribu). Yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimana teks Quran dan Hadis yang sangat terbatas itu bisa menjawab seluruh persoalan hukum yang dihadapi seluruh umat dari generasi Sahabat hingga generasi kiamat di seluruh belahan bumi?


Sejak generasi pertama Islam, yaitu generasi sahabat, sudah terjadi persoalan baru yang tidak pernah ada presedennya semasa Nabi masih hidup. Contoh yang paling gamblang adalah persoalan jam’ul Qur’an. Zaid bin Tsabit mengisahkan bahwa setelah peristiwa gugurnya ahlul Yamamah, yaitu pasukan Islam yang disiapkan untuk menumpas kesesatan Musailamah si pendusta, Abu Bakar memanggilnya dan di sana sudah ada Umar. Abu Bakar berkata kepada Zaid bahwa Umar datang kepadanya dan mengatakan, “kematian telah banyak merenggut para qurraa’ (pencatat Quran baik dengan hafalan maupun tulisan) di hari yamamah. Dan saya khawatir kematian juga akan merenggut para qurraa’ di medan (perang) lain dan mengakibatkan hilangnya banyak qurraa’. Saya berpendapat, sebaiknya engkau (Abu Bakar) memerintahkan pengumpulan Quran”. Abu Bakar menjawab, “Bagaimana engkau melakukan sesuatu yang Rasulullah tidak pernah melakukannya”. Umar berkata, “Demi Allah ini adalah hal baik”. Abu Bakar melanjutkan, “Umar terus membujukku sampai akhirnya Allah melapangkan dadaku dan (akhirnya) aku juga berpendapat sama dengan pendapat Umar”. Selanjutnya Abu Bakar menugaskan Zaid bin Tsabit, dengan melihat kapasaitasnya sebagai sekertaris Rasulullah dalam mencatat wahyu, untuk mengumpulkan catatan cataran Quran dari para qurraa’ (Buchori:4603).


Kisah di atas mengindikasikan dua hal. Pertama, generasi Sahabat menyadari bahwa tidak seluruh persoalan baru yang dihadapi umat memiliki rujukan tekstual yang instan dalam Quran ataupun Hadis. Kedua, oleh karena itu campur tangan ra’yu atau akal adalah hal niscaya dalam menerjemahkan makna universalitas syariat Islam.


Bahwa Islam tidak menyediakan jawaban instan atas seluruh pesoalan yang berkembang dari masa ke masa adalah hal yang tidak dapat dipungkiri. Tetapi tentang metode apa yang harus digunakan untuk mengatasi persoalan tersebut, inilah yang menjadi salah satu pangkal perbedaan ulama. Dalam konteks inilah qiyas muncul sebagai salah satu metode ijtihad yang lebih dekat ke pendulum ra’yu. Dan di tangan Syafi’iy qiyas mendapatkan teorisasinya.


Kontroversi Qiyas


Secara etimologis qiyas berarti mengukur. Dan secara terminologis qiyas adalah menganalogikan hukum suatu perkara dengan hukum perkara lain karena ada kesamaan diantara kedua perkara tersebut dalam sifat yang menjadi sebab hukum. Tentang pengertian terminologis ini sebenarnya ulama memiliki berbagai definisi. Tetapi semua sepakat bahwa qiyas mensyaratkan adanya al-asl yang memiliki illat yang terukur. Dan yang menjadi al-asl dalam qiyas adalah teks teks Quran dan hadis. Jika suatu perkara tidak memiliki landasan hukum tekstual maka ia akan diukur dengan menggunakan parameter al-asl: apakah perkara baru tersebut memiliki kesamaan dengan al-asl dalam sifat yang menyebabkan hukum.


Dengan demikian qiyas tidak termasuk dalil yang bersifat tekstual. Oleh karenanya ulama berbeda pendapat tentang legalitas qiyas sebagai metode istinbath. Khilaf ini tentu tidak terjadi sejak masa awal Islam. Sebab generasi sahabat tidak pernah secara ekplisit membicarakan qiyas sebagai sebuah metode ilmiah dalam menetapkan hukum. Polemik tentang qiyas baru terjadi setelah Syafi’iy mengusung qiyas, bahkan menteorisasikannya, sebagai solusi atas kekosongan dalil tekstual.


Para penolak qiyas keberatan jika hukum ditetapkan hanya berdasarkan adanya kesamaan sifat tanpa ada landasan tekstual. Sebab syariat hanya bisa ditetapkan oleh Musyarri’nya, yaitu Allah dan RasulNya. Dan jika seseorang menetapkan hukum berdasarkan adanya kesamaan, maka sebenarnya ia telah membiarkan ra’yu mengambil alih kewenangan Allah dalam mentasyri’. Sebab klaim adanya kesamaan dan bahwa suatu sifat mengakibatkan hukum adalah hasil penalaran akal atau ra’yu.


Di samping itu jika memang qiyas adalah dalil yang dibenarkan Islam, tentu Allah dan Rasulnya akan menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan qiyas. Tetapi kenyataanya tidak ada satupun Ayat atau Hadis yang menjelaskan masalah qiyas. Demikianlah penolak qiyas berargumentasi.


Sebenarnya penolakan terhadap qiyas lebih merupakan penolakan terhadap keterlibatan ra’yu dalam menetapkan hukum. Sebab dalam qiyas terdapat proses penetapan illat yang karenanya akan terjadi pengembangan cakupan suatu teks di luar makna tersurat berdasarkan ra’yu. Misalnya, Quran menyebutkan hukum cambuk bagi pezina dan tidak menentukan hukum apapun bagi pelaku sodomi. Tetapi karena pelanggaran seksual sodomi setara dengan, bahkan lebih berat dari, pelanggaran zina, maka sodomi mendapatkan hukuman yang sama dengan hukuman zina. Dengan demikian qiyas telah menetapkan hukum sodomi berdasarkan asumsi rasional bahwa jika zina mendapatkan hukum cambuk, maka sudah sepatutnya sodomi juga mendapatkan hukuman yang sama.


Perbedaan pendapat antara kaum tekstualis dengan rasionalis adalah hal alami dan sudah terjadi semasa Nabi masih hidup. Dalam kisah perang bani Quraidlah Bukhori menceritakan bahwa Nabi memerintahkan agar para Sahabat tidak melaksanakan sholat Ashar, dalam riwayat Muslim disebutkan sholat Dhuhur, sebelum sampai Bani Quraidlah. Dalam perjalanannya ternyata mereka belum sampai tujuan ketika waktu sholat hampir habis. Dalam kondisi seperti itu Sahabat terpolar dalam dua pendapat. Kelompok pertama melaksanakan sholat sebelum sampai tujuan dan memahami perintah Nabi tidak secara tekstual. Kelompok kedua tetap ngugemi makna tekstual perintah dan hanya akan melaksanakan sholat setelah sampai tujuan. Ketika mendapatkan laporan tentang polarisasi Sahabat, Nabi tidak menyalahkan kedua kelompok. (lihat Bukhori:894, Muslim:3317).


Jelaslah dari penuturan Bukhori di atas bahwa ra’yu atau akal adalah instrumen ijtihad yang dilegalkan dalam syariat Islam. Dan agar akal tidak bersikap arbriter maka diperlukan seperangkat aturan yang bisa membatasi ruang lingkup akal. Hal inilah yang melatar-belakangi gagasan Syafi’iy tentang qiyas. Syafi’iy mengakui perlunya penggunaan akal dalam menetapkan hukum. Tetapi penetapan hukum yang didasarkan pada akal harus memiliki aturan yang jelas, tidak seperti istihsan yang cenderung arbriter. Oleh karenanya Syafi’iy menganggap bahwa siapa berihtihsan, maka ia telah mengambil alih kewenangan syara’.


Syafi’iy berpendapat bahwa seandainya qiyas dinafikan, maka kaum rasionalis akan menetapkan hukum pada perkara yang tidak memiliki rujukan tekstual berdasarkan istihsan.[1] Dengan demikian Syafi’iy mempersonifikasikas aturan akal dalam metode qiyas. Dengan qiyas problem kefakuman teks akan teratasi. Dan pada saat yang sama qiyas dapat mencegah penggunaan akal secara arbriter dan keluar dari teks. Sebab qiyas mensyaratkan adanya al-asl yang bersumber dari teks Quran dan Hadis. Inilah jalan tengah yang diambil Syafi’iy diantara ekstrem tekstualis dan ekstrem rasionalis.


Kekuarangan Qiyas


Seperti disebutkan di atas qiyas mensyaratkan adanya al-asl. Dan al-asl adalah ketetapan hukum tekstual yang bersifat partikular. Oleh karena itu penyelesaian hukum dalam metode qiyas tidak didasarkan pada keberadaan kaidah universal yang mencakup seluruh bagian bagiannya, melainkan analogi hukum parikular dengan hukum partikular lain. Cara penetapan hukum seperti ini mengandung setidaknya tiga kekurangan.


Pertama, jika qiyas bersifat partikular, maka sebagai solusi atas keterbasan teks qiyas mengandaikan adanya “model acuan” yang lengkap, sehingga persoalan baru yang muncul selalu dapat diukur dengan menggunakan “model acuan” dari Quran maupun Hadis. Pertanyaannya, benarkah teks Quran dan Hadis menyediakan seluruh “model acuan” untuk semua persoalan yang dihadapi umat dari generasi Sahabat hingga generasi kiamat? Dengan kata lain, apakah seluruh persoalan baru yang terjadi selalu memiliki padanan partikular dalam Quran ataupun Hadis?


Terlalu gegabah untuk mengatakan tidak, sama gegabahnya mengatakan iya. Tetapi jika mengingat bahwa jumlah teks Quran dan Hadis sangat terbatas, maka dengan sendirinya jumlah model acuan yang ada juga terbatas. Transplantasi, bom bunuh diri, arisan bahkan juga jamul quran adalah sebagian sangat kecil dari persoalan persoalan baru yang tidak memiliki padanan tekstual.


Dengan demikian nyatalah bahwa qiyas sebagai metode istinbath tidak mungkin menjadi satu satunya solusi atas keterbatasan teks.


Kedua, dalam keadaan suatu persoalan baru tidak memiliki padanan tekstual dan qiyas dipaksakan sebagai satu satunya metode rasional, maka sangat mungkin terjadi kesamaan yang dipaksakan dengan mengabaikan faktor lain.


Seperti diketahui praktek muamalah moderen memiliki bentuk yang jauh lebih beragam dibanding muamalah pada masa Nabi. Ketika seorang penganut qiyas harus menetapkan hukum muamalah moderen, maka ia akan mencocokkannya dengan praktek muamalah pada masa Nabi. Jika tidak ditemukan kecocokan, maka praktek muamalah moderen dipaksakan masuk dalam salah satu kategori praktek muamalah pada masa Nabi dengan catatan di belakangnya: bai’ yang fasid, ijaroh fasidah dll.


Hal ini berbeda dengan peristiwa jam’ul Quran dimana Abu bakar, Zaid bin Tsabit dan Umar pada akhirnya tidak mempersoalkan padanan tekstual yang spesifik. Satu satunya alasan yang bisa diterima saat itu adalah bahwa jam’ul Quran adalah hal baik meskipun tidak ada ta’bir shorih.


Ketiga, karena qiyas berupaya mencari kesamaan atau perbedaan, maka seorang muqayis akan memfokuskan perhatiannya pada sifat sifat yang melekat pada suatu praktik hukum. Dalam kasus istinja’, misalnya, seorang muqayis akan memperhatikan sifat batu yang memungkinkan benda lain disamakan dengannya. Hal ini mengakibatkan seoarang mujtahid atau faqih yang qiyas mided lebih memperhatikan bentuk formal suatu hukum ketimbang substansi atau tujuan hukum itu sendiri.


Jika qiyas diterapkan seperti ini, maka ia tidak lagi menjadi solusi atas keterbatasan teks. Justru sebaliknya, qiyas membatasi hukum hanya pada persoalan yang telah ada sebelumnya.


Hal ini berbeda dengan cara pandang Umar bin al-Khattab dalam mengatasi suatu persoalan. Anas bin Malik menceritakan Rasulullah memukul (bukan mencambuk) orang yang minum arak dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali. Pada masa kepemimpinannya, Abu bakar juga memukul peminum sebanyak empat puluh kali. Ketika Umar menjabat sebagai Khalifah, ia meminta pendapat kepada Sahabat lain tentang hukuman bagi peminum. Abdurrahman bin ‘Auf mengusulkan agar peminum dipukul delapan puluh kali. Lalu Umar pun memerintahkan agar peminum dihukum dengan delapan puluh kali pukulan (Muslim:3218).


Versi penuturan Anas bin Malik yang lain menyebutkan bahwa Alasan Umar ingin memperberat hukuman bagi peminum adalah karenan umat Islam waktu itu “hidup dekat dengan daerah subur”(Muslim 3219). Dalam Syarah-nya Nawawi menjelaskan bahwa pada masa kepemimpinan Umar, dimana wilayah Islam semakin meluas dan kesejahteraan umat Islam meningkat, banyak orang yang melanggar larangan minum arak. Dan Buchori menuturkan bahwa Umar menerapkan hukuman yang lebih berat dari yang pernah dilakukan Rasulullah dan Abu Bakar, ketika angka pelanggaran minum arak meningkat (Buchori:6281).


Dari penuturan di atas dapat dilihat bahwa Umar tidak melihat persoalan sanksi dari sudut bentuk formal: apa yang digunakan untuk memukul dan berapa jumlah pukulan. Tetapi Umar lebih menekankan pada fungsi sanksi itu sendiri, yaitu membuat jera pelaku dan memberikan tekanan kepada orang lain agar tidak melakukan pelanggaran. Jika pukulan empat puluh kali tidak cukup menjerakan, maka sanksi harus diperberat. Dan keputusan Umar ini mendapat pengakuan dari Ali bin abi Thalib dengan mengatakan, “Rasulullah mencambuk (peminum arak) empat puluh kali, Abu bakar juga empat puluh kali dan Umar delapan puluh kali. Semuanya adalah sunnah (tradisi). Dan ini (empat puluh) lebih saya sukai.” (Muslim 3220).


Untuk mengatasi kekuarangan dan kekakuan qiyas, ulama kemudian melengkapinya dengan sejumlah kaidah umum yang bersifat universal, atau yang disebut dengan qawaidul fiqh. Qawaidul fiqh sendiri bukanlah sesuatu yang arbriter dan tidak tunduk pada ketentuan teks Quran atau Hadis. Justru sebaliknya instrumen in merupakan hasil penelitian yang mendalam terhadap ketentuan ketentuan teks, baik secara ekplisit maupun implisit.


Qawaidul fiqh mengacu pada teks yang bersifat general. Di dalam Quran dan Hadis terdapat banyak teks yang secara ekplisit memang berbicara tentang prinsip umum dan kaidah universal. “dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (al-hajj:78, lihat pula al-Ma’idah:6, al-Ahzab:33); “tidak ada bahaya dan membahayakan” (Muwattha’:1234); “Setiap syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah adalah batil”(Nasa`iy:3997, Tirmidzi:2050) untuk menyebut sebagian teks Quran dan Hadis yang bersifat general.


Disamping pada teks general, qawaid juga mengacu pada teks yang bersifat spesifik yang kemudian di generalkan. Muslim menceritakan bahwa nabi mendapat laporan tentang seseorang yang berhalusinasi seolah olah mendapati sesuatu dalam solatnya (buang angin). Nabi bersabda : “tidak membatalkan (sholatnya) sampai ia mendengar suara atau mendapati bau”(Muslim:540, Bukhori:134). Hadis ini bercerita tentang hal yang spesifik, yaitu dugaan hadas dalam solat. Tetapi dari sudut pandang qawaid, hadis di atas tidak hanya mencakup persoalan solat dan hadas tapi di generalisasi sebagai sebuah kaidah universal yaitu: keyakinan tidak bisa digugurkan oleh keraguan. Nawawi dalam sarahnya berkata: “hadis ini merupakan salah satu pokok ajaran Islam dan kaidah fiqih yang penting yaitu bahwa segala sesuatu dihukumi dengan kondisi semula hingga diyakini kondisi baru yang bertentangan”.


Dengan mempertimbangkan qawaid sebagai salah satu instrumen ijtihad, maka celah yang ditinggalkan oleh kekurangan qiyas akan diatasi dengan mengacu kepada kaidah hukum Islam yang bersifat universal.


Penerapan Qiyas Dalam Fiqh Ashabul mazhab


Sejak masa kekuasaan Turki Utsmani hingga awal abad 20 berkembang pandangan umum yang meyakini bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Keyakinan ini membawa implikasi yang sangat luas bagi perkembangan fiqh. Seperti diketahui bersama sumber primer hukum Islam adalah Quran dan Hadis. Oleh karenanya Ijtihad berarti menggali hukum dari teks Quran dan Hadis. Tetapi karena masa ijtihad telah purna, maka penggalian hukum langsung dari Quran dan Hadis menjadi sesuatu yang terlarang.


Setelah Quran dan Hadis tidak “terjangkau”, ulama mengalihkan bidang kajiannya pada teks imam mazhab. Dan sudah pasti teks imam mazhab tidak menyediakan jawaban instan bagi seluruh persoalan yang dihadapi ashabnya di kemudian hari. Di sinilah qiyas mendapatkan peranan pentingnya. Untuk menyelesaikan persoalan baru yang dihadapi, para Ashab tidak mungkin menjangkau langsung dari Quran dan Hadis. Oleh karenanya, instrumen istinbath yang mungkin digunakan adalah qawaid dan qiyas. Dalam prakteknya ashab lebih banyak menggunakan qiyas ketimbang qawaid. Sebab, qiyas yang dilakukan ashab tidak berhubungan langsung dengan Quran dan Hadis, melainkan mengacu kepada pendapat imam mazhab. Sedangkan qawaid, karena landasanya mengacu langsung kepada Quran dan Hadis, maka ia tetap menimbulkan kegamangan psikologis. Di samping itu qawaid juga tidak membicarakan peristiwa spesifik yang bisa menjadi ta’bir instan.


Dengan demikian di tangan ashab qiyas bergeser dari sumber primer, yaitu Quran dan Hadis, menuju sumber sekunder, yaitu pendapat imam mazhab. Ironisnya, hirarki sumber hukum tidak hanya terjadi dalam satu tingkatan saja. Dalam mazhab Syafi’iy, misalnya, pendapat imam mazhab disitematisir oleh dua pengikutnya, yaitu Nawawi dan Rafi’i. Kemudian generasi setelah Nawawi dan Rafi’i memposisikan keduanya sebagai representasi imam mazhab. Sistematisasi pada jenjang berikutnya dilakukan oleh Ibnu Hajar al-Haytami dan Ramly.


Syafi’iy memilih atau mengkompromikan dua dalil Quran atau sunnah yang tampak bertentangan; Nawawi dan Rafi’i mentarjih qaul qadim dan qaul jadid-nya Syafi’iy; generasi setelahnya mentarjih pendapat Nawawi dan Rafi’i; dan terakhir generasi pasca Ibnu Hajar dan Ramli mentarjih qaul kedua ulama ini. Dan dalam semua tingkatan ashab qiyas menjadi instrumen ijtihad paling dominan. Pengertian qiyas di sini tidak berarti ashab telah “menjangkau” Quran dan Hadis sebagai al-asl. Sebab, yang menjadi al-asl dalam qiyas ashab adalah fatwa imam mazhab atau ashab sebelumnya.


Dalam Asnal Mathaalib disebutkan bahwa jika seorang perempuan menggunakan obat yang mengakibatkan menstruasi, maka hal itu bisa menjadikan perempuan tersebut berstatus baligh. Dasar hukumya adalah pengkiasan dengan pendapat Nawawi dan Rafi’iy yang mengatakan bahwa jika seorang perempuan mengkonsumsi obat yang mengakibatkan menstruasi, maka.ia tidak wajib mengqodlo sholat.[2] Dan pengkiasan seperti ini banyak dijumpai dalam literatur fiqh ashab Syafi’iy.


Ada dua hal menarik dari kutipan di atas berkaitan dengan qiyas. Pertama, seperti telah saya singgung sebelumnya, Zakaria al-Anshary menjadikan fatwa ulama sebelumnya sebagai al-maqis alaih. Jika kemudian ulama lain menjadikan fatwa Zakaria al-Anshary sebagai rujukan, maka posisi fatwa tersebut berubah dari al-maqis menjadi al-Maqis alaih. Bukan tidak mungkin dalam tradisi fiqih yang sangat mengandalkan qiyas al-maqis terkahir akan beranak-pinak hingga menghasilkan banyak al-Maqis alaih secara berjenjang.


Kedua, dalam qiyas tersebut tidak disebutkan apa dasar atau illat maqis alaih dari fatwa ashab sebelumnya. Dalam kondisi maqis alaih yang telah beranak-pinak, tidak disebutkannya illat yang bisa menjadi parameter fatwa sesudahnya akan menciptakan peluang terjadinya distorsi subtansi dan maksud fatwa paling awal, yaitu fatwa Nawawi dan Rafi’iy.


Kesimpulan


Universalitas syariat Islam menuntut adanya suatu metode yang menjamin keberlangsungan hukum Islam ketika teks Quran dan Hadis tidak menyediakan jawaban instan atas persoalan baru yang terjadi. Qiyas sebagaimana diteorisasikan Syafi’iy meruapakan salah satu metode legal yang bisa mengatasi keterbatasan teks Quran dan Hadis.


Namun demikian qiyas bukanlah satu satunya metode. Jika qiyas dipaksakan sebagai satu satunya alternatif akan menghasilkan produk hukum yang kaku dan dipaksakan. Oleh karenanya diperlukan instrumen lain yang lebih mengedepankan prinsip umum dan kaidah universal untuk menutup celah qiyas yang bersifat spesifik dan partikular. Dan Qawaidul Fiqh sebagai salah satu instrumen ijtihad dapat mengambil peran ini.


Dalam fiqh ashabul mazhab, qiyas tampak dipaksakan sebagai satu satunya metode istinbath. Bahkan dalam perkembangannya, qiyas yang semula mengacu kepada Quran dan Hadis sebagai al-asl kini bergeser ke fatwa imam mazhab atau ashabnya.


Untuk itu ada baiknya jika fiqh ashab didorong untuk memberikan peranan yang lebih besar kepada qawaid fiqh dalam proses istinbath. Hal ini hanya bisa terjadi jika beban psikologis istinbath, yang timbul karena keyakinan pintu ijtihad telah tertutup, dihilangkan.©


Tambakboyo, 23 Januari 2008










[1] Syafi’iy, Muhammad bin Idris, ar-Risaalah, vol 1: hal, 505, maktabah Syamilah , mauqi’ ya’sub.




[2] Al-Anshary, Zakaria, asnal Mathalib, vol 9, hal. 459, maktabah Syamilah , mauqi’ al-Islam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Terkini

PERKEMBANGAN LEMBAGA PERADILAN DARI MASA KENABIAN HINGGA DINASTI ABBASIYAH

Download versi pdf A. Pendahuluan Agama apapun tentu berisikan ajaran-ajaran tentang kebenaran dan petunjuk bagi penganutnya agar mendapatka...

Paling Sering Dibaca