Berita yang berkembang di luar arena Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) NU di Cirebon, 14-17 September 2012, adalah bahwa NU akan mengeluarkan fatwa pemboikotan pajak. Jawa Pos edisi 17 September juga mencantumkan pemboikotan pajak sebagai salah satu isu strategis yang akan dibicarakan dalam Munas Alim Ulama NU di Cirebon. Isu ini menjadi menarik, salah satunya karena yang membicarakan hal tersebut adalah Ulama NU. Seperti diketahui, NU selama ini dikenal sebagai ormas Islam yang anti pembangkangan terhadap pemerintah yang sah. NU juga dikenal lebih mementingkan harmoni dalam kehidupan bernegara ketimbang amar makruf yang dapat menimbulkan konflik horizontal. Karena itu, dapat dimaklumi jika sebagian orang merasa janggal ketika NU diberitakan akan mengeluarkan fatwa pemboikotan pajak. Sebab fatwa pemboikotan tidak selaras dengan karakter keberagamaan NU yang anti pembangkangan.
Pemberitaan media tidak sepenuhnya salah. Sebab, memang ada petinggi NU yang mengeluarkan statement bahwa Munas akan mengeluarkan fatwa pemboikotan pajak. Statement itupun dikeluarkan sebelum keputusan itu sendiri diambil, bahkan sebelum sidang-sidang komisi dimulai. Sehingga ada kesan bahwa NU telah memutuskan pemboikotan pajak. Parahnya statement yang sebenarnya baru wacana, ditanggapi heboh oleh pihak lain sebagai keputusan Munas. Jadi, ketika di luar heboh membicarakan fatwa Munas NU tentang pemboikotan pajak, peserta Munas sendiri tidak banyak yang tahu, bahkan belum tahu kalau materi itu akan dibahas.
Tetapi bukan NU namanya, kalau tidak sigap merespon perkembangan. Komisi Masail Diniyah Waqi’yah (masalah keagamaan aktual) akhirnya memutuskan untuk membahas persoalan pajak. Ada dua pertanyaan terkait pajak. Pertama,bagaimana hukum penerapan pajak di Indonesia. Kedua, Jika ternyata terjadi banyak penyelewengan atau penyalahgunaan pajak seperti dikorupsi dan lain-lainnya, apakah rakyat yang terbebani pajak tetap wajib membayar pajak?
Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang melatarbelakangi mengemukanya dua pertanyaan di atas. Pertama, pajak merupakan sektor pendapatan terbesar. Saat menutup acara Munas, presiden menyebutkan bahwa pajak merupakan pendapatan negara terbesar, yaitu 70 persen. Itu artinya, 70 persen pemabangunan negara dibiayai oleh uang pajak.
Kedua, ternyata pajak juga dibebankan kepada rakyat miskin. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dikenakan atas tanah dan bangunan tanpa memandang luas tanah. Sehingga rakyat kecil yang hanya memiliki tanah seluas bangunan rumah sangat sederhana dan dengan bangunan yang justru mengindikasikan kemiskinan, juga dibebani pajak. Dalam praktik, Pajak Penghasilan pun dikenakan kepada rakyat kecil. Ini terjadi ketika seseorang yang penghasilannya tidak lebih dari 1 juta per bulan, bahkan jauh di bawah angka itu, mendapat honor insidentil atau sumbangan dari instansi pemerintah. Dalam kwitansi penerimaan biasanya tertulis bahwa sejumlah uang yang diterima telah dipotong pajak penghasilan. Dengan demikian penerapan pajak di Indonesia masih melibatkan rakyat miskin sebagai penanggung pajak.
Ketiga, kasus Gayus dan korupsi lain di instansi pajak membukakan fakta bahwa ternyata pajak juga menjadi obyek kongkalikong antara pengusaha kaya dengan pegawai pajak. Setelah terhimpun di tangan pemerintah, uang pajak masih menghadapi ancaman korupsi dari orang-orang tak bermoral. Jadi, pajak sudah berpotensi bermasalah sejak proses penerimaan dan terus berlanjut hingga proses pengeluaran.
Alasan pertama seolah memberi justifikasi pemungutan pajak. Sebab, untuk merealisasikan program yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat, pemerintah memerlukan dana. Dan faktanya pendapatan pemerintah dari sektor non pajak hanya mampu menutup 30 persen dari total anggaran yang dibutuhkan. Karena itu pemungutan pajak tidak terhindarkan.
Tetapi alasan kedua dan ketiga menggambarkan sebuah paradoks. Di satu sisi, rakyat kecil yang seharusnya menjadi prioritas program pembangunan, justru masih terbebani pajak. Dan di sisi lain sebagian orang-orang kaya yang seharusnya menanggung beban pajak lebih besar, karena mereka mendapatkan akses lebih besar terhadap hasil pembangunan, malah berkongkalikong menggelapkan dan mengkorupsi uang pajak. Sehingga terbangun persepsi bahwa pajak bukan untuk mensejahterakan rakyat, tetapi justru sebaliknya semakin memiskinkan rakyat miskin. Dan alasan inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan, masihkah rakyat berkewajiban membayar pajak, jika ternyata banyak terjadi penyalahgunaan uang pajak?
Pertama-tama yang berkembang di komisi waqi’iyah Munas adalah bahwa memungut pajak hukumnya haram. Dalam Bughyatul Musytarsyidin, misalnya, disebutkan bahwa ketika pemerintah mewajibkan sejumlah uang tertentu kepada rakyat yang dipungut setiap tahun, maka jika rakyat membayarkannya dengan sukarela, pemerintah boleh mengambilnya. Tetapi jika rakyat membayarkannya karena takut atau malu, maka haram hukumnya bagi pemerintah mengambil uang tersebut, sekalipun digunakan untuk kepentingan umum. Karena hal tersebut termasuk mengambil harta orang lain secara ilegal. Dan menggunakannya untuk kepentingan umum tidak dapat mengubah yang haram menjadi halal.
Namun demikian, memandang bahwa pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai hal-hal yang bermanfaat secara luas, maka sidang komisi mempertimbangkan diperbolehkannya pemungutan pajak dengan syarat-syarat sebagai berikut. Pertama, uang pajak harus digunakan untuk kepentingan umum. Kedua, sumber pendapatan non pajak telah dikelola secara maksimal, namum tetap tidak mencukupi kebutuhan negara. Ketiga, pajak tidak dikenakan pada fakir miskin. Kesepakatan ini mengacu kepada referensi kitab-kitab klasik yang menyebutkan bahwa dalam keadaan baitul mal (kas negara) tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai pertahanan negara dan pembangunan fasilitas umum, maka pemerintah diperbolehkan membebankan biaya tersebut kepada orang-orang yang mampu. (al-Mustashfa, 1:303; Asna al-Mathalib, 20:295; asy-Syarwany, 9:218)
Dari kesepakatan sidang komisi kemudian dirumuskan jawaban terkait pajak sebagai berikut. “Pada dasarnya pajak bukanlah kewajiban agama yang harus dibayar oleh semua orang Islam.Namun memandang hasil pajak adalah untuk kepentingan yang bersifat umum (bermanfaat secara luas), maka jika negara mampu menanggung tanpa harus memungut pajak dari rakyatnya, pemerintah tidak diperkenankan memungut pajak dari rakyatnya. Namun jika pemerintah sudah mengelola kekayaan alam dengan benar dan maksimal sementara kondisi keuangan negara tetap tidak mampu membiayainya, maka pemerintah boleh mewajibkan pajak kepada semua rakyatnya yang mampu. Sedangkan membebankan pajak kepada rakyat miskin hukumnya haram.”
Dengan kata lain, kewajiban membayar pajak bukan sebagai kewajiban agama, seperti kewajiban membayar zakat, melainkan sebagai kewajiban mematuhi pemimpin negara yang telah memerintahkan pemungutan pajak untuk kepentingan umum. Dalam Hasyiyah Al-Jamal disebutkan bahwa jika pemimpin negara mewajibkan rakyatnya bersedekah, maka sedekah menjadi wajib dalam konteks mematuhi perintah peminpin negara. (Hasyiyah al-Jamal, 6:313). Kewajiban ini tidak berhubungan sebab-akibat dengan penyelewengan yang dilakukan pemimpin ataupun aparatnya. Sehingga, jika terjadi penyelewengan terhadap uang negara, maka kewajiban membayar pajak tetap harus ditunaikan, dan penyelewengan adalah hal lain yang harus diberantas.
Atas dasar prinsip tersebut sidang komisi waqi’iyah merumuskan jawaban terkait penyelewengan uang pajak sebagai berikut. Penyelewengan atau penyalahgunaan uang pajak tidak menggugurkan kewajiban membayar pajak yang bertujuan untuk kepentingan umum. Dan tindakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang pajak harus diberantas.
Menurut hemat saya, ada dua pertimbangan yang membenarkan keputusan tersebut. Pertama, jika semua orang tidak membayar pajak dengan alasan bahwa pajak tidak dikelola dengan benar, maka negara dapat mengalami kebangkrutan. Dan kebangkrutan negara merupakan mudarat yang jauh lebih berbahaya ketimbang penyelewengan. Kedua, ada pertimbangan fundamental, yaitu sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud ra: “kalian akan menemui ketidakadalian (dalam penggunaan kas negara) dan kemunkaran”. Para Sahabat bertanya, “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami, ya Rasulullah”. Nabi menjawab, “Tunaikan kewajibanmu kepada mereka (para pemimpin) dan mintalah hakmu kepada Allah”. (Bukhori:3335,6529; Muslim:3430)
Jadi, jelaslah bahwa pemboikotan pajak bukanlah isu utama yang dibicarakan dalam sidang komisi waqi’iyyah Munas NU. Justru sebaliknya, keputusan Munas NU terkait dengan pajak dapat ditangkap sebagai aspirasi warga Nahdliyin dalam mendorong pemerintah untuk melakukan perbaikan-perbaikan di bidang pengelolaan keuangan negara. Dan aspirasi yang bisa saya tangkap dari keputusan itu adalah sebagai berikut.
Pertama, perlu ditinjau kembali ketentuan-ketentuan pajak yang berimplikasi membebani orang-orang tidak mampu. Kedua, pemerintah harus bekerja sekreatif dan seoptimal mungkin untuk memperbesar pendapatan negara dari sektor non pajak, dan bukan dengan menaikkan tarif atau memperluas jangkauan obyek pajak yang memberatkan. Ketiga, pemerintah harus bersungguh-sungguh mencegah terjadinya kebocoran keuangan negara, baik di sektor penerimaan maupun pengeluaran. Keempat, pengeluaran yang terkait dengan belanja pegawai, seperti fasilitas rumah, mobil dan perjalanan dinas harus dibatasi seminimal mungkin dan sesuai dengan kebutuhan, bukan sesuai keinginan. Sebab uang pajak tidak dimaksudkan untuk membiayai kemewahan pejabat, tetapi untuk membiayai kepentingan rakyat.
Demikianlah cara warga Nahdliyin menyampaikan aspirsinya: dingin, ilmiah, santun dan tegas sesuai dengan sabda Rasulullah saw, “ seutam-utama jihad adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang lalim”.(Nasa’iy:4138)@2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar