Senin, 05 November 2012

Perekonomian Hijaz dan Najd Pra Islam

Sebagian sangat besar suku suku Arab di Najd memiliki pola kehidupan nomaden. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain secara berkelompok. Sedangkan di Hijaz ada beberapa suku yang sudah mengikuti pola kehidupan menetap, seperti Quraisy di Makkah; Aus dan Khazraj di Madinah dan Tsaqif di Thaif. Baik yang menetap ataupun nomaden, suku-suku Arab Hijaz dan Najd memiliki kehidupan yang masih sanggat sederhana. Tidak ada kemewahan bangunan yang melebihi fungsi sekedar untuk berteduh; tidak banyak pakaian yang melebihi fungsi menutup aurat; tidak banyak pengolahan hasil alam yang melebihi tuntutan hidup ala kadarnya. Hampir seluruh sisi kehidupan suku-suku arab Hiaz dan Najd bermuara pada pemenuhan kebutuhan primer.


Kehidupan sosial mereka bersifat tribalistik. Setiap individu hanya tunduk pada kekuasaan absolut masing masing pemimpin suku. Biasanya kepemimpinan suku diraih karena garis keturunan, kekayaan atau keberanian. Setiap pemimpin suku berkewajiban melindungi kehormatan, darah dan harta anggotanya dari serangan suku lain. Orang orang yang tidak memiliki garis keturunan dari suku suku yang ada memiliki dua pilihan: hidup bebas tanpa perlindungan suku atau berafiliasi dengan suku suku yang ada dengan status sebagai mawali. Sedangkan para budak, dalam sistem sosial tribalistik mereka secara otomatis mengikuti suku tuannya.


Kehidupan yang keras karena lingkungan alam dan ancaman perang antar suku membentuk watak pemberani, ksatria serta menjunjung tinggi kehormatan dan harga diri. Perekat sosial dalam sistem tribalistik menumbuhkan rasa fanatisme dan solidaritas yang tinggi antar sesama anggota suku.


Seperti telah saya sebutkan di atas, secara politik Hijaz dan Najd tidak berada di bawah koloni dua negara adidaya, Romawi dan Persia. Namun bukan berarti kawasan ini terisolir dari dunia di sekitarnya. Setidaknya setiap tahun ada kafilah dagang yang berinteraksi dengan Syam di utara dan Yaman di selatan. Di samping itu ada ada pula para pemilik kedai arak yang mengambil arak kelas wahid dari al-Hira Iraq yang berada di bawah koloni Persia.


Oleh karena itu, sejatinya kehidupan sosial dan pemikiran bangsa non Arab sudah dikenal di Hijaz dan Najd sebelum Islam datang. Tetapi, proses imitasi berskil adalah suatu tindakan yang menuntut syarat kesamaan derajat nalar kebudayaan antara yang ditiru dengan yang meniru. Seorang anak kecil betapapun lekatnya dengan orang dewasa tidak mungkin memahami apalagi menirukan pola pikir orang dewasa. Inilah sebabnya Arab Hijaz dan Najd jauh lebih terbelakang dibanding suku-bangsa lain.


Hijaz dan Najd adalah bangsa ummy, tidak mengenal baca-tulis-hitung. Pengetahuan bangsa Hijaz dan Najd adalah warisan nenek moyang yang ditransfer dari generasi ke generasi secara getok-tular. Sangat sedikit pengetahuan asing yang masuk dalam tradisi pengetahuan bangsa Arab Hijaz dan Najd. Dan pengetahuan pengetahuan yang mereka miliki jauh dari memadai untuk bisa disebut ilmu.


Tidak seperti Yaman yang telah menggunakan uang logam lokal sebagai alat tukar, perdagangan lokal Hijaz dan Najd masih menggunakan sistem barter.  Komoditas utama perdagangan mereka terdiri dari hasil peternakan yang dikuasai suku-suku nomaden serta hasil bumi tanpa olahan yang dikuasai suku Madinah dan Thaif. Pemain utama sektor perdagangan dikuasai suku Makkah.


Dalam kebudayaan yang masih sangat sederhana, perdagangan jasa tidak banyak dibutuhkan. Dan karenanya perdagangan jasa di Hijaz dan najd masih sangat terbatas dan umumnya tidak memberikan penghasilan yang besar. Satu satunya jasa yang dapat menghasilkan keuntungan besar adalah prostitusi.


Di samping peternakan, pertanian dan perdagangan, sumber penghasilan Arab Hijaz dan Najd juga didapat dari perang. Perang bisa terjadi karena persoalan harga diri, tetapi juga dilakukan karena motif motif ekonomi, seperti memperebutkan lahan subur atau menjarah kafilah dagang.


Diantara suku-suku Arab Hijaz dan Najd, Thaif memiliki sumber daya alam dan tingkat kesejahteraan serta pengetahuan yang relatif lebih baik. Wilayah Thaif dikelilingi pagar, hal yang tidak ditemukan di Makkah ataupun Madinah. Penduduk Thaif memiliki keahlian menyamak yang tidak banyak dikuasai suku lain. Angka ke-ummy-an di Thaif relatif lebih kecil. Dan di bidang persenjataan Thaif telah mengenal dabbabah dan manjaniq yang terbilang canggih saat itu.


Makkah Dan Suku Quraiys menjadi dua nama yang menguasai perdagangan di semenanjung Arab


Makkah tidak seberuntung Madinah dan Thaif yang memiliki kekayaan sumber daya alam berupa kesuburan tanah. Tetapi di sisi lain Makkah diuntungkan letak geografisnya yang berada di jalur perdagangan Yaman dan Syam. Dan keuntungan ini dimanfaatkan dengan baik terutama oleh suku Quraisy yang dikenal sebagai pedagang handal, sehingga makkah menjadi pusat perdagangan Hijaz dan suku Quraisy menguasai perdagangan antar wilayah.


Pada Abad ke 6 para pedagang quraisy telah membangun hubungan dagang dengan wilayah-wialayah yang terletak di sekitar Hijaz. Hasyim bin Manaf mengikat perjanjian dengan penguasa Ghassanid dan Romawi, sehingga ia dan kaumnya dapat berdagang dengan aman di Bashra dan Gazza; Abdu Syams bin Manaf mengikat perjanjian dengan penguasa Habasayah untuk berdagang di Aksum; Naufal dan Muthollib, kedua-duanya juga putera Manaf, mendapatan ijin dagang dari penguasa Himyarite di Yaman, Persia dan Manadzira di Irak. Sebaliknya di Makkah juga dibangun rumah-rumah dagang Habasyah dan Romawi, yang bisa jadi bagian dari perjanjian yang disepakati para pedagang Quraisy dengan penguasa-penguasa asing tersebut. Quran menyinggung fenomena ini dalam surat al-fiil.


Darah pedagang yang mengalir di kalangan suku-suku Arab di Makkah, terutama suku Quraisy, telah membentuk nalar dagang yang tercermin dari pola pikir, bahasa dan perilaku mereka. Hal ini dapat dirasakan dengan jelas dalam Quran dan Hadis yang di berbagai tempat menggunakan bahasa dagang, seperti: beli, jual, hutang, dagang, untung, rugi, bangkrut dan lain sebagainya. Hal ini juga tergambar dalam status prestisius yang disematkan kepada pedagang di kalangan Quraisy. Sebuah ungkapan Arab menyatakan, “Siapapun orang Quraisy yang bukan pedagang, bukanlah siapa-siapa”.


Disamping menggunakan cara-cara konvensional, dalam mencari keuntungan para pedagang Makkah juga melakukan cara-cara jual-beli yang bersifat untung-untungan, seperti baiul hasoh, mulamasah, munabadzah, muzabanah, bai’ habalil hablah.  Dalam hal hutang-piutang, riba menjadi suatu cara yang umum dilakukan. Nilai Riba di kalangan Arab Makkah  mencapai 40 hingga 100 % dari pinjaman pokok. Dan riba menjadi salah satu sumber penghasilan yang diperoleh para pedagang Makkah. Untuk meningkatkan keuntungan, para pedagang Makkah memanfaatkan budak, baik budak laki-laki maupun perempuan. Budak laki-laki diperbantukan pada sektor perdagangan, termasuk mengawal kemanan kafilah dagang, dan budak perempuan dipekerjakan di dunia prostitusi.


Perdagangan suku Quraisy didukung modal yang besar. Dalam salah satu muhibah dagang yang dipimpin Abu Sufyan, salah satu pemodal besar, yaitu Abu Uhaihah, menyertakan modalnya sebesar 30.000 dinar( 1 dinar = 4,25 gram emas). Abu sufyan juga pernah membawa kafilah yang terdiri dari 1000 unta dan barang dagangan yang bernilai 50.000 dinar.


Kemajuan perdagangan Makkah memunculkan beberapa gelintir orang kaya, seperti keluarga Umayyah, keluarga Mahzumi, Abbas bin Abdul Muthollib, Abu Lahab dan Abdullah bin Jad’an. Orang-orang kaya ini hidup glamour dan bergelimang kemewahan. Mereka menggunakan perkakas yang terbuat dari emas, memakai perhiasan emas, memakai pakaian dari sutera. Bahkan Ya’quby dalam Tarikh-nya menyebutkan bahwa untuk menghormati meninggalnya Abdul Muthollib, kakek Rasulullah, ia dikebumikan dalam balutan pakaian Yaman yang nilainya mencapai 1000 mitsqal (1 mitsqal = 4,24 gram) emas. Sementara di kutub yang berseberangan, terdapat lapis masyarakat terendah dan mayoritas yang hidup serba kekurangan. Bahkan sebagian diantara mereka terlilit hutang riba yang berujung pada pembudakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Terkini

PERKEMBANGAN LEMBAGA PERADILAN DARI MASA KENABIAN HINGGA DINASTI ABBASIYAH

Download versi pdf A. Pendahuluan Agama apapun tentu berisikan ajaran-ajaran tentang kebenaran dan petunjuk bagi penganutnya agar mendapatka...

Paling Sering Dibaca