“Alhamdulillah hanya padi saya yang dimakan hama, bukan iman saya”. Demikian yang selalu diucapkan Kang Sarmin setiap kali musibah gagal panen menimpanya. Seolah ia sedang menghibur diri dengan mencari pembanding yang menurutnya jauh lebih buruk. Kang Sarmin sendiri sebenarnya selalu sedih setiap kali gagal panen menimpanya. Dan kesedihan itulah yang tidak ingin Kang Sarmin ratapi. Sebab, menurut Kang Sarmin yang hidup di lingkungan masyarakat religius, meratap dapat berujung pada “kufur kecil”, yaitu tidak mensyukuri ni’mat Tuhan.
Atau barangkali Kang Sarmin sedang mengucapkan lafal yang sudah menjadi tradisi dan ia kenali secara turun temurun. Sementara di benaknya sarat pertanyaan yang mungkin ia sendiri tak mampu menjawabnya. Mengapa orang orang di sekeliling saya selalu mengucapkan kalimat itu setiap kali secuil harapan yang dimilikinya dimangsa hama. Apakah mereka sedang menghiba. Bukankah hama hama itu tidak pernah mendengarnya, lalu menaruh iba dan membiarkan padi padi itu dinikamati para penggarapnya. Ah, tidak. Mereka tidak sedang menghiba pada hama. Mereka tahu, hama mahluk bebal yang mati rasa.
Tetapi jika tidak, mengapa dari tahun ke tahun mereka melakukan hal yang sama. Saat menjelang musim tanam beramai ramai mereka merelakan diri menjadi korban para tengkulak yang meminjamkan kebutuhan usaha tani dengan perikatan yang tidak menguntungkan mereka. Lalu pada saatnya, mereka akan menebar benih, menanam, memupuk dan menyemprot hama dengan cara dan pola yang sama. Bukankah pengalaman mereka menunjukkan bahwa apa yang mereka lakukan tidak menguntungkan. Bukankah Agama mereka memgajarkan bahwa tidak selayaknya seorang muslim tersengat dua kali dalam lubang yang sama. Mengapa mereka tetap melakukannya. Dan ketika kembali terjerembab mereka kembali mensyukuri ni’mat iman yang tak pernah luntur.
Ni’mat iman memang sangat agung. Bahkan berkali kali mereka pohonkan kepada Allah dalam setiap doa. Mereka juga aktif berikhtiyar untuk memelihara keimanannya. Ceramah ceramah agama mereka kunjungi untuk mempertebal keimanannya. Ibadah ritual mereka lakukan agar senatiasa mendapat perlindungan Allah dari bujukan setan. Tetapi bukankah mereka juga berdoa agar diberikan ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat bagi pekerjaan mereka. Ilmu yang dapat memperbaiki pola usaha tani mereka. Agar dengan demikian Allah memberikan rizqi yang halal dan kesejahteraan bagi kehidupan mereka. Apakah mereka juga aktif berikhtiyar untuk mendapatkannya. Wallahua’lam.
Jika aktif berikhtiyar tentunya mereka tidak membiarkan dirinya mengulangi kesalahan berkali kali. Tentunya mereka akan melakukan cara yang lain jika satu cara terbukti gagal. Atau mungkin kesalahan kesalahan itulah pilihan terbaik bagi mereka.
“Biarlah hama hama itu mencari makan dari hasil keringatku. Dengan begitu aku menjadi penderma yang mengutamkan mahluk yang lebih lemah daripadaku. Toh, seandainya mahluk mahluk itu tidak memangsanya, ‘hama hama’ atau lebih tepatnya monster lain siap memeras bukan hanya keringatku, tapi juga darah dan air mataku”. Begitulah kira kira mereka berpikir.
Tampaknya masuk akal. Taruhlah panen mereka berhasil, apakah dengan serta merta kesejahteraan mereka akan meningkat. Kebijakan pemerintah yang jarang berpihak kepada kepentingan petani telah berkali kali memupus harapan mereka. Keberhasilan panen yang semestinya menjadi titik kebahagiaan di sela sela deretan panjang kesulitan yang terbiasa menderanya, berbalik menjadi kesedihan saat harga jatuh.
Kalau begitu mengapa mereka tidak membakar sebagian besar padi itu agar harga membaik. Bukankah ilmu ekonomi mengajarkan semakin langka suatu komoditas akan semakin tinggi pula harganya. Ah, itu tidak mungkin. Mana mungkin orang orang agamis seperti mereka memubazirkan sesuatu yang itu dilarang agama. Dan lagi pemerintah pasti mati matian mencegahnya. Sebab peningkatan produksi pangan memang menjadi keinginan pemerintah, baik berdampak bagi peningkatan kesejahteraan petani atau justru memberikan keuntungan para pemodal besar yang mampu mempermainkan harga. Dan lagi lagi petani membayar biaya untuk keuntungan pihak lain; keuntungan hama pada kasus pertama dan keuntugan pemodal pada kasus kedua.
Sekali lagi Kang Sarmin hanya bias berucap “Wallahua’lam”.
Mungkinkah Tuhan yang Maha Agung dan Pengasih kepada umatnya, menyodorkan kesengsaraan sebagai pilihan terbaik. Tidak, tidak mungkin. Tuhan selalu menawarkan pilihan baik dan buruk serta membekali manusia dengan kemampuan kemapuan untuk meraih keduanya. Jika aktif berikhtiyar seharusnya mereka melakukan inovasi inovasi untuk menemukan pola baru demi meningkatkan produktivitas pertanian mereka. Dalam inovasi itulah mereka dapat menemukan takdir Tuhan. Bukankah takdir adalah titah. Dan Tuhan telah menitahkan keteraturan alam agar manusia dapat mengambil manfaat darinya.
Jika aktif berikhtiyar pastilah mereka tidak membiarkan keberhasilan usahanya menjadi milik orang lain. Mereka akan bersuara lantang menentang setiap kebijakan yang merugikan kaum petani. Mereka akan menggugat wakil rakyat yang tidak meyuarakan aspirasin petani.
Tetapi bagaimana mereka bisa berpikir tentang inovasi kalau sebagian besar mereka berpendidikan rendah. Apa yang akan disuara-lantangkan jika mereka sendiri tidak mengerti hak haknya sebagai warga negara. Bagaimana mereka mampu menggugat para wakilnya, jika yang mereka gugat lebih pandai.
Kang Sarmin kembali berguman “Wallahua’lam”.
Lalu, haruskah mereka menunggu uluran tangan pihak lain. Bukankah Tuhan tidak akan mengubah Nasib kaum kecuali kaum itu sendiri mengubahnya. Jika demikian sipakah selain Tuhan yang akan mengubah nasib petani jika petani itu sendiri tidak berinisiatif bangkit dari keterpurukannya. Apakah itu merupakan pesan yang jelas bahwa kebangkitan petani tidak ditakdirkan menunggu belas kasih pihak lain, dan hanya kemauan dan keinginan petani yang dapat mengentaskan mereka dari keterpurukannya.
Benar, bukan pemerintah, LSM, para dermawan, atau pihak lain manapun yang akan mengubah nasib kaum petani. Di tangan petani-lah nasib kaum petani dititipkan. Sesulit apapun jalan yang akan dilalaui pastilah ada jalan bila ada kemauan. Saat itulah mereka tak lagi berlindung dibalik ucap syukur semu yang mencoba menghibur diri. Mereka akan menemukan ucap syukur sejati karena keberhasilan kebrhasilan yang diberikan Tuhan. Mereka akan berkata, “Alhamdulillah iman saya tetap utuh dalam suka dan duka. Alhamdulillah panen padi saya tak dimangsa hama. Alhamdulillah saya tidak lagi menjadi korban keserakahan manusia. Alhamdulillah……. Alhamdulillah………@2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar