Bagi yang pernah melewatkan masa kanak kanaknya di Semarang tentu masih ingat dengan permainan kelereng yang disebut Pot. Pot dimainkan oleh 2 orang atau lebih. Tiap pemain menyetorkan sejumlah kelereng sebagai modal bersama dan diletakkan dalam sebuah garis segitiga. Tujuan permainan ini adalah mengeluarkan kelereng dalam garis segitiga atau disebut juga kelereng Pot sebanyak sebanyaknya dengan kelereng gacuk sesuai peraturan yang telah diketahui bersama. Kelereng yang telah keluar dari garis segitiga menjadi milik pemain yang mengeluarkannya. Pemenang dalam permainan Pot adalah mereka yang berhasil memperoleh kelereng Pot lebih banyak dari kelereng modal yang disetor.
Dalam keadaan normal, dimana peraturan permainan Pot dijalankan, pemain hanya berhak atas kelereng Pot jika bidikan kelereng gacuk berhasil mengeluarkan kelereng Pot dari garis segitiga dan kelereng gacuk tidak tertinggal dalam garis segitiga. Dan tiap pemain memiliki kesempatan serta hak yang sama untuk mendapatkan kelereng Pot melalui ketangkasannya membidikkan kelereng gacuk ke kelereng Pot.
Tetapi pada saat saat tertentu permainan Pot bisa menjadi chaos. Situasi chaos bisa dipicu berbagai sebab. Tetapi umumnya chaos terjadi karena perselisihan pendapat antar pemain. Dalam keadaan perselisihan tidak dapat diselesaikan, biasanya pemain lain merasa was was kelereng Pot akan dijarah oleh siapa saja yang dekat dengan garis segitiga. Karenanya para pemain buru buru mendekati garis segitiga. Dan ketika banyak pemain mendekati garis segitiga, maka penjarahan tinggal menunggu satu kata, “huur”. Begitu salah seorang pemain atau bisa juga penonton meneriakkan “huur”, kelereng Pot yang menjadi modal bersama akan dijarah secara anarkhis oleh siapa saja yang punya kesempatan untuk menjarahnya. Dalam keadaan “huur” kelereng Pot tidak lagi diperoleh dengan jalan membidikkan kelereng gacuk, melainkan dengan kekuatan, kelicikan dan kesempatan.@2002
Situasi chaos memunculkan kondisi psikologis saling mencurigai. Setiap pemain mencurigai pemain lain sebagai calon penjarah potensial. Karena semua pemain dianggap calon penjarah potensial, maka mendahului menjarah lebih baik ketimbang menunggu orang lain menjarah terlebih dahulu. Sebab dalam situasi chaos penjarahan hampir pasti terjadi. Kalaupun salah satu pemain tidak menjarah, pasti pemain lain akan menjarah, dan pasti pula kelereng Pot akan habis dijarah. Dalam situasi chaos kejujuran menjadi barang langka. Sebab hampir semua pemain meyakini bahwa kejujuran hanya mendatangkan kerugian. Pemain yang jujur hanya menyetorkan modal tanpa pernah mendapatkan kesempatan untuk mengembalikan modal, apalagi mendapatkan keuntungan. Jadi dalam keadaan chaos permainan Pot menganut hukum ramalan Jayabaya, “Sing ngedan keduman. Sing waras nggagas. Wong dora ura-ura”. (Yang gila dapat bagian. Yang waras berpikir bijak. Yang korup bergelimang kemewahan).
* * *
Bagi yang suka mengamati pernik pernik kehidupan di negeri ini tentu pernah, sekali atau berkali kali, menyentuh, merasakan, dan sesekali turut menikmati situasi huur dalam proses pembuatan dan pembagian tumpeng negara. Kalaupun “mengamati” terlalu elitis, mengalami kehidupan sehari hari secara apa adanya pun dapat menyaksikan dan merasakan situasi huur. Tukang becak pernah berurusan dengan kamtib dan tahu bagaimana harus “bekerja sama” dengan petugas untuk menghindari “garukan”. Calon TKW pernah berurusan dengan imigrasi dan tahu bagaimana harus mengakselerasi proses pembuatan paspor. Sopir sering berhadapan dengan polisi dan tahu bagaimana “menyiasati” jeratan undang undang lalu lintas. Pengguna jasa kereta api hafal betul prosedur pemeriksaan tiket dan tahu bagaimana harus mendapatkan “pengganti tiket” dengan harga yang jauh lebih murah. Dan siapapun yang mengalami kejadian itu dapat menilai bahwa proses pembuatan dan pembagian tumpeng negara tengah mengalami penjarahan.
Tetapi dalam psikologi huur penyimpangan oknum akan dinikmati sebagai “fasilitas pelayanan”. Bukankah kerja sama dengan sedikit biaya masih lebih baik dari pada memandulkan produktivitas becak. Bukankah akselerasi dengan extra biaya masih lebih baik ketimbang membuang banyak energi untuk membunuh waktu. Bukankah menyiasati undang undang lalu lintas masih lebih murah dibanding biaya sanksi legal. Bukankah pengganti tiket merupakan alternatif yang ringan di kantong ketimbang mengiktui prosedur pemeriksaan tiket. Dan bukankah semua itu “fasilitas pelayanan” yang disediakan secara tidak sengaja oleh penyimpangan oknum.
Mungkin nurani dan akal jernih memberontak dan menentang penjarahan. Dengan dalih dan dalam kondisi apapun menikmati “fasilitas penyimpangan” adalah bagian dari penajarahan. Para ustad juga bilang, “penyuap dan tersuap sama sama masuk neraka”. Menurut nurani dan akal jernih kondisi yang ideal adalah, masyarakat tidak menggoda “iman” petugas dan petugas bisa mengendalikan “iman”-nya. Tetapi dalam psikologi huur tiap orang terlanjur mencurigai orang lain sebagai penjarah potensial. Tidak ada jaminan bahwa jika petugas A bisa mengendalikan imannya, maka penjarahan tidak terjadi. Pun tidak ada jaminan bahwa jika individu Alif tidak menikmati “fasilitas penyimpangan”, maka penyimpangan tidak terjadi. Masih ada petugas B hingga Z dan individu Ba’ hingga Ya’ yang sama sama terperangkap dalam psikologi huur, dan karenanya secara bersama sama atau sendiri sendiri siap menjarah tumpeng negara. Bukankah cukup logis dan tidak terlalu salah jika dalam situasi demikian petugas A dan individu Alif memilih untuk turut menikmati penjarahan yang pasti terjadi. Toh mereka berdua sebagai rakyat negeri ini juga merasa menjadi penyokong modal pembuatan tumpeng negara.
Jadi, alasan apa yang mengharuskan seseorang menjauhi tumpeng negara sementara orang lain tetap mengerumuni dan siap menjarahnya. Nurani dan akal jernih? Sehebat apakah nurani dan akal jernih mampu mengalahkan kalkulasi logis. Seberapa kuat nurani dan akal jernih membungkam tuntutan konkret; sekedar tuntutan hidup normal ataupun tuntutan sekunder kemewahan. Dalam kondisi seperti ini tampaknya akan banyak orang yang lebih memilih melukai nurani dan akal jernih demi memanjakan kepuasan fisik-material yang menjadi tuntutan situasi konkret. Toh, beban moralnya tidak terlalu berat. Sebab penyimpangan yang dilakukan secara berjamaah dapat mengurangi beban moral.
* * *
Bagi yang peduli dan prihatin dengan kondisi penjarahan berjamaah, tentu akan mengusulkan pendekatan hukum setelah pendekatan moral dianggap gagal. Dalam permainan Pot harus ada undang undang yang mengikat semua pemain, bukan sekedar konvensi yang disadari bersama sebagai peraturan yang mengikat. Perselisihan antar pemain diselesaikan oleh wasit berdasarkan undang undang. Untuk memastikan undang undang dapat berjalan tegak harus ada bagian keamanan yang menindak tegas segala bentuk kecurangan. Penonton dapat difungsikan sebagai media massa yang mengontrol dan mengawasi pelaksanaan undang undang oleh para petugas.
Jika ada yang berteriak “huur”, atau turut menjarah kelereng Pot, ia akan diamankan dan berdasarkan undang undang Pot didepak keluar dan didenda membayar sejumlah kelereng. Kemudian penonton akan memberitakan tindak kecurangan kepada masyarakat luas agar masyarakat juga turut memberikan sanksi sosial disamping sanksi yuridis formal. Dengan demikian kalaupun nurani dan akal jernih tak mampu mengekang kecurangan, maka ancaman konkret yuridis formal akan dapat mengehentikannya.
Sudah amankah permainan Pot dari ancaman penjarahan? Secara normatif jawabannya, “iya”. Sebab jawaban normatif mengasumsikan bahwa seluruh perangkat hukum berfungsi normal. Tentu ini bukan jawaban satu satunya. Kemungkinan sebaliknya bisa saja terjadi. Bahkan dalam kondisi perangkat hukum mengalami disfungsi, wilayah penjarahan akan semakin melebar, sebab akan melibatkan banyak penjarah.
Logikanya sederhana saja. Pemain yang curang tentu tidak ingin kecurangannya diketahui orang lain. Sebab kecurangan yang tersimpan rapi dapat menghindarkan pelaku dari sanksi formal maupun sanksi sosial. Jika ada pihak lain yang mencium dan ingin melaporkan kecurangannya, tentu pencurang akan berusaha semaksimal mungkin menerapkan “matematika pembagi” untuk memastikan bahwa kecurangan tetap tersimpan rapi. Dalam perangkap psikologi huur siapa yang bisa menjamin pelapor kecurangan tidak akan menerima prinsip “matematika pembagi”. Bukankah menerima prinsip tersebut lebih baik ketimbang menolaknya dan membiarkan orang lain mengambilnya.
Di sisi lain secara tidak sengaja kecurangan dapat menyediakan lahan “eksploitasi” bagi pihak lain. Pihak lain tidak harus menunggu pasif tawaran “matematika pembagi”, tetapi bisa proaktif menawarkan jasa “penyimpanan”, baik dengan atau tanpa disertai intimidasi psikologis. Di bawah tekanan rasa takut akan ancaman sanksi formal dan sanksi sosial, pencurang akan mudah masuk perangkap “eksploitasi” pihak lain. Dalam hal ini siapapun dengan profesi dan kedudukan apapun dapat menjadi pengguna lahan “eksploitasi”, sepanjang mereka cakap mengolah informasi kecurangan dalam format pelanggaran hukum atau berita sensasional yang dapat mencoreng muka pencurang.
Jadi perangkat hukum dan kontrol penonton dapat menjamin tegaknya peraturan. Tetapi dalam perangkap psikologi huur dimana tiap orang mencurigai orang lain sebagai penjarah potensial, perangkat hukum dan kontrol penonton justru potensial memperparah terjadinya penjarahan. Sekali ada yang berteriak, huur!!, kelerengpun dijarah ramai ramai. Dan sekali lagi, Huur!!, tumpeng negarapun dikorupsi ramai ramai.
* * *
Bagi yang masih berharap akan ada perbaikan hanya ada dua jalan: tidak terlalu berharap atau berharap saja pada hal lain. Sebab ini jaman edan. “Sing ngedan keduman. Sing waras nggagas. Wong dora ura-ura”. (Yang gila dapat bagian. Yang waras berpikir bijak. Yang korup bergelimang kemewahan).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Artikel Terkini
PERKEMBANGAN LEMBAGA PERADILAN DARI MASA KENABIAN HINGGA DINASTI ABBASIYAH
Download versi pdf A. Pendahuluan Agama apapun tentu berisikan ajaran-ajaran tentang kebenaran dan petunjuk bagi penganutnya agar mendapatka...
Paling Sering Dibaca
-
A. Pendahuluan Sebelum datangnya Islam, Iran, Iraq, Transoxania [1] , Sijistan (sekarang disebut Afganistan) dan Khurasan menjadi wilayah ke...
-
Makalah ini dikembangkan dari Sejarah Pembukuan al-Qur`an A. Pendahuluan Salah satu aspek kajian al-Qur’an yang paling mendapat perhatian da...
-
I. Pendahuluan Suatu ayat dapat memperjelas maksud ayat lain dalam surat yang sama atau surat yang lain. Bahkan satu kalimat dapat memperjel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar