Sejak bergulirnya reformasi di negeri ini, berita politik bukan lagi menjadi konsumsi elit. Buruh pabrik, kuli bangunan, pedagang asongan, abang becak, bahkan petani dan buruh tani di pedesaan cukup antusias mengikuti perkembagan politik. Meskipun untuk kalangan kelas menengah kebawah di pedesaan peminatnya tidak sebesar kalangan kelas menengah ke bawah di perkotaan. Karenanya tidak mengherankan tayangan langsung Interpelasi DPR di televisi menyita perhatian Kang Sarmin, salah satu dari sedikit orang di desa yang meminati inforamsi politik.
Istilah Interpelasi memang tidak dipahami Kang Sarmin dalam bahasa paling sederhana sekalipun . Kang Sarmin hanya tahu bahwa DPR sekarang lebih berani di banding DPR sebelum masa reformasi. Buktinya, untuk hal paling kecilpun DPR berani menanyakan atau mempertanyakan pada Presiden. Kalau dulu, jangankan persolan kecil, borok besar pun DPR tidak punya nyali untuk mempertanyakan bahkan sekedar bermimpi mempertanyakan sekalipun. “Wah, tidak rugi aku memilih wakilku”, ucap Kang Sarmin dengan bangga.
Lebih hebat lagi, DPR mampu menyuarakan aspirasi rakyat bahkan yang tidak pernah terlintas di benak rakyat sekalipun. Bagaimana tidak. Alasan pemecatan dua menteri yang jauh dari pemikiran rakyat banyak telah dengan serius diusung ke gedung DPR. “Wah, hebat betul DPR-ku. Mereka bisa ngerti sakdurunge winarah”. puji Kang Sarmin sambil manggut manggut.
Atau barangkali ada banyak, bahkan tidak mustahil mayoritas, rakyat kita yang memiliki aspirasi seperti itu, sehingga DPR benar benar mewakili suara rakyat. Soalnya rakyat Indonesia kan bukan hanya masyarakat desa Kang Sarmin. Dan Kang Sarmin juga tidak pernah melakukan jajak pendapat. “Iya ya, benar juga. Rakyat Indonesia kan bukan hanya masyarakat desa sini”, sanggah Kang Sarmin terhadap pikiran liarnya.
Tapi, apakah sebaliknya, DPR telah melakukan jajak pendapat untuk mengetahui aspirasi rakyat banyak, sehingga yang dipertanyakan kepada Presiden adalah keinginan rakyat. “Ah, bodoh benar aku. Tentu mereka tidak mungkin melakukan jajak pendapat setiap kali hendak rapat. Tentu waktu mereka akan habis untuk melakukan jajak pendapat dan tidak sempat menyuarakan hasil jajak pendapat itu sendiri. Wakil Rakyat kan, orang orang pintar yang dianggap mampu memahami sekaligus memperjuangkan kepentingan rakyat. Jadi dengan kemampuan itulah Wakil Rakyat membaca kemauan masyarakat dan memeperjuangkannya. Berarti DPR-ku memang orang yang ngerti sakdurunge winarah dan hak Interpelasi yang digunakan itu memang demi memperjuangkan kepentingan rakyat”, demikian akhirnya Kang Sarmin menyimpulkan.
Untuk itu sudah sepatutnyalah Kang Sarmin berucap terima kasih. Alam reformasi telah melapangkan jalan bagi pembelaan hak hak rakyat dan mencegah terjadinya pemerintahan yang tiran. Pertanyaan yang kemudian mengusik pikiran Kang Sarmin adalah, sejauh mana Interpelasi Wakil Rakyat menyentuh kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Bukankah Agama mengajarkan bahwa tindakan dan kebijakan pemimpin harus selaras dengan kesejahteraan rakyat. Apakah Interpelasi yang gigih diperjuangkan Wakil Rakyat berbanding sejajar dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Apakah dengan menanyakan alasan pemecatan dua menteri persoalan kemiskinan dan keterbelakangan di pedesaan segera teratasi. “Mengapa nalarku tidak mampu menjangkaunya”, keluh Kang Sarmin sambil mengernyitkan dahinya.
Disekeliling Kang Sarmin bertumpuk problem sosial ekonomi pedesaan yang tak kunjung teratasi. Ketimpangan ekonomi desa-kota; rendahnya tingkat pendidikan; sulitnya akses modal dan informasi; minimnya teknologi dan seabrek kesulitan lain menurut Kang Sarmin jauh lebih penting ketimbang sekedar menanyakan alasan pemecatan dua menteri. Tidakkah Wakil Rakyat menyadari, dari waktu ke waktu terjadi pemerataan kemiskinan di pedesaan akibat semakin menyempitnya lahan pertanian dan tidak tumbuhnya sector ekonomi non pertanian. Bukankah persoalan ini jauh lebih penting. Tidakkah Wakil Rakyat merasakan bagaimana sulitnya memperoleh pinjaman untuk sekedar menghidupkan, bukan membesarkan, ekonomi pedesaan. Sementara untuk mengucurkan modal bagi mega proyek yang hanya dinikmati beberapa gelintir orang jauh lebih mudah. Bukankah menggugat ketidakadilan ini jauh lebih mulia. Dimana suara lantang mereka ketika harga gabah jatuh. Dimana keberanian mereka ketika petani tebu menjerit. “Ah, mungkin aku terlalu egois, hanya memikirkan kesejahteraan desaku”, ucap Kang Sarmin mencoba berkhusnudhon.
Tetapi, jika untuk memikirkan kesejahteraan desanya, dan tentu desa desa lain yang bernasib sama, Kang Sarmin merasa egois, apakah Wakil Rakyat tidak lebih egois karena hanya memikirkan nasib dua orang. Atau mereka berpikir bahwa dengan status sosialnya yang tinggi nasib dua orang bernilai sama bahkan melebihi nasib jutaan rakyat lain.”Ah, tidak mungkin Wakil Rakyat yang terhormat berpikir senaif itu. Mungkin secara diam diam mereka telah memperjuangkan nasib jutaan rakyatnya, seperti mereka memperjuangkan nasib dua orang itu”, ucap Kang Sarmin mencoba berapologi.
Untuk hal di atas selayaknyalah Kang Sarmin berterima kasih kepada Wakil Rakyat. Agama mengajarkan, siapa tidak berterima kasih kepada manusia maka ia tidak mensyukuri nikmat Tuhan.”Terima kasih Wakil Rakyatku. Kau telah memperhatikan nasib rakyatmu”, tutur Kang Sarmin agak sedikit lega.
Satu hal yang masih mengganjal di benak Kang Sarmin adalah, Mengapa mereka tampak lebih serius dan gigih ketika memperjuangkan nasib dua orang. Bahkan diantara mereka ada yang terlihat garang, tak ubahnya preman pasar yang sedang berebut daerah kekuasaan. Apa sebenarnya yang membuat mereka lebih antusias. Apa karena persoalan kedua orang itu menyangkut kekuasaan. Atau karena ada wilayah kehormatan yang tersentuh oleh keputusan lembaga lain. Atau memang demikianlah seharusnya Wakil Rakyat yang terhormat bersikap; bahwa kekuasaan, gengsi, kehormatan dan prestis di atas segala segalanya.”Jika demikian, sulit rasanya bagi siapapun untuk tidak berburuk sangka bahwa sebenarnya mereka tidak sedang merepresentasikan kepentingan bangsa ataupun kesejahteraan rakyat. Mereka sebenarnya sedang berbicara tentang harga diri yang tersentuh, eksistensi yang terancam, dan bagian kekuasaan yang terenggut. Mereka sesungguhnya sedang memperebutkan kekuasaan. Kekuasaan untuk kekuasaan, bukan untuk kesejahteraan rakyat banyak. Mereka sedang mewakili diri dan kelompoknya sendiri, bukan mewakili rakyat yang telah mempercayakan nasibnya.”. Demikian akhirnya Kang Sarmin tak mampu menahan diri untuk tidak berburuk sangka.
Mudah mudahan dugaan Kang Sarmin tidak benar meskipun sulit untuk tidak dibenarkan. Sebab, tumbuhnya demokrasi yang ditandai dengan berfungsinya lembaga legislatif sebenarnya diharapkan bermuara pada kehidupan yang sejahtera dan merata bagi seluruh bangsa. Jika tumbuhnya demokrasi justru mengakibatkan terjadinya pemerataan kemiskinan, maka sulit bagi kang sarmin kang sarmin memahami arti demokrasi apalagi mendukungnya. Atau panggung politik yang mengejawantahkan demokrasi memang ditakdirkan untuk menjadi hal lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan kesejahteraan rakyat. Pangung politik hanya panggung hiburan yang nikmat untuk ditonton, bukan tempat untuk menggantungkan harapan.@2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar