Judul : The Ẓāhiris, Their Doctrine and Their History, A Contribution to the History of Islamic Theology
Penulis : Ignaz Glodziher
Penerjemah : Wolfgang Behn
Penerbit : Brill Leiden-Boston
Tahun : 2008
Halaman : xxv + 189
Untuk kesekian kalinya Ignaz Goldziher menyuguhkan analisisnya tentang Islam Klasik. Dalam buku ini ia menyoroti al-Ẓāhiriyyah sebagai mazhab yang pernah ada dan berkembang dalam pemikiran Islam di masa lalu. Buku yang dibagi ke dalam 8 bab dan satu Introduction ini secara umum berbicara tentang kemunculan dan perkembangan mazhab al-Ẓāhiriyyah serta posisi ideologisnya di antara berbagai mazhab yang ada.
Dalam Introduction Ignaz Goldziher memaparkan beberapa penelitian di kalangan orientalis Eropa yang menyinggung al-Ẓāhiriyyah. Menurutnya di awal abad 20 infromasi tentang al-Ẓāhiriyyah di kalangan orientalis Eropa masih sangat minim. Karya Silvester De Sacy yang menyunting biografi al-Maqrizī sedikit menyinggung al-Ẓāhiriyyah. Sacy mendeskripsikan al-Ẓāhiriyyah sebagai antitesis dari mazhab al-Bāṭinī. Penelitian yang lebih serius tentang al-Ẓāhiriyyah dilakukan oleh Reiske yang menerjemahkan karya Abu al-Fidā`. Di samping dua nama tersebut Ignaz Goldziher menyebut Kremer, Houtsma dan Spitta sebagai beberapa sarjana yang sedikit menyinggung mazhab al-Ẓāhiriyyahi. Ignaz Goldziher menyimpulkan bahwa secara umum kajian yang mendalam tentang al-Ẓāhiriyyah belum pernah ada hingga saat buku ini ditulis. Karena itulah buku ini dimaksudkan untuk menutup celah pengetahuan tentang pemikiran Islam.
Pada bab pertama Ignaz Goldziher mengulas polarisasi mazhab fikih ke dalam ahl al-ḥadīth dan ahl al-ra`y. Pertama-tama ia mengutip Abu Bakar bin ‘Ayāsh yang mengatakan bahwa ahl al-ḥadīth sepanjang zaman seperti orang Islam terhadap penganut agama lain. Kutipan ini dimaksudkan untuk menjelaskan sumber-sumber yang diterima sebagai landasan syariah. Ahl al-ra`y mengakui sumber-sumber selain al-Qur`an dan sunnah dan lebih memperhatikan aspek praktis sebuah hukum. Berkebalikan dengan ahl al-ra`y, ahl al-ḥadīth fokus kepada penyelidikan sumber tranmisi sunnah.
Selanjutnya Ignaz Goldziher menganalisis posisi mazhab-mazhab fikih. Menurutnya, Hanafiyah berada di kutub ekstrim ahl al-ra`y, sedangkan al-Ẓāhiriyyah menempati kutub ekstrim ahl al-ḥadīth. Tiga mazhab lain, yakni: Maliki, Shafi’i dan Hanbali berada di antara dua kutub ekstrim. Namun demikian Ignaz Goldziher mengakui bahwa pemetaan ahl al-ḥadīth dan ahl al-ra`y diwarnai perbedaan pendapat. Ia mengutip Ibnu Qutaybah yang mengklasifikasikan Hanbali ke dalam ahl al-ḥadīth, berbeda dengan tiga mazhab lain yang diklasifikasikan ke dalam ahl al-ra`y. Pun demikian al-Maqdisī memposisikan Hanbali dan Ishaq bin Rahawayh ke dalam ahl al-ḥadīth. Penulis lain memasukkan Shafi’iyah ke dalam ahl al-ḥadīth berseberangan dengan Hanafiah yang diposisikan sebagai ahl al-ra`y. Semakin rumit lagi ketika penulis yang lain memasukkan Shafi’iiyah dan Hanafiyah ke dalam ahl al-ra`y berseberangan dengan Hanbali yang diposisikan sebagai ahl al-ḥadīth. Menurut al-Shahrastani hanya Hanafiyah yang masuk dalam kategori ahl al-ra`y , sementara mazhab lain termasuk al-Ẓāhiriyyah dikategorikan sebagai ahl al-ḥadīth. Pemetaan ini disepakati Ibnu Khaldun dengan sedikit perbedaan di mana ia memosisikan al-Ẓāhiriyyah ke dalam kelompok ketiga, yaitu ahl al-ḥadīth ekstrim (4-5).
Ignaz Goldziher melakukan pemetaan tersebut di atas dengan maksud mengukur seberapa jauh ra`y diterima sebagai sumber hukum dalam mazhab-mazhab fikih untuk kemudian melihat posisi Dawud al-Ẓāhirī dan mazhab yang dibangunnya.
Bab kedua masih berbicara tentang ahl al-ra`y dan ahl al-ḥadīth. Kali ini Ignaz Goldziher menjelaskan latar belakang kemunculan ra`y dan perkembangannya hingga menjadi qiyās. Menurutnya kemunculan ra`y dalam fikih adalah hal yang tak terelakkan dalam praktik hukum. Bagi mereka yang fokus pada penyelidikan transmisi hadis dan mengabaikan kompleksitas persoalan keseharian akan dengan mudah menolak lagalitas ra`y sebagai salah satu sumber hukum. Tetapi bagi para praktisi hukum di Iraq dan wilayah lain jawaban teks hadis yang bersumber dari Hijaz tidak memadai untuk menjawab seluruh persoalan hukum yang selalu berkembang. Ignaz Goldziher mengutip Al-Shahrastanī yang mengatakan bahwa teks terbatas, sementara persoalan hukum tidak terbatas, dan hal yang tidak terbatas tidak dapat dibatasi dengan hal yang terbatas (6). Jadi, ketika jawaban dari summber tekstual tidak ditemukan, maka ra`y menjadi hal yang sangat berguna. Ketika menghadapi persoalan praktis, sahabat pun mengambil sikap yang sama.
Ignaz Goldziher kemudian menjelaskan sikap beberapa sahabat dalam menghadapi persoalan praktis. Ada empat nama yang disebut Ignaz Goldziher, yaitu: Abu Bakar, Umar, Ibnu Mas’ud dan Muadz bin Jabal. Di antara keempat sahabat tersebut, kisah Muadz bin Jabal adalah yang paling jelas dalam memberikan peluang bagi keterlibatan ra`y dalam memutuskan hukum. Ketika mengutusnya ke Yaman sebagai hakim, Rasulullah ṣalla alayh wa sallam menanyainya, dengan pertimbangan apakah engkau memutuskan suatu perkara?. Muadz menjawab bahwa dalam keadaan tidak ditemukan dasarnya dalam Qur`an atau sunnah, maka ia akan berpegang pada ra`y. Hal yang sama dilakukan Umar ketika mengutus Shurayḥ sebagai hakim. Yang patut dicatat dari instruksi Umar kepada calon hakim yang akan dikirimnya adalah, instruksi Umar kepada Abu Musa al-Ash’arī. Dalam instruksi itu secara eksplisit Umar menyebtukan praktik Qiyās. Berikut ucapan Umar yang dikutip Ignaz Goldziher dari al-‘Iqd al-Farīd. “Your thoughts, your thoughts (collect them) if you are indecisive in your mind and when you do not find anything about them either in God’s Book or in the traditions of His messenger. Consider the analogies similarities, and compare things in your mind; then follow what seems to be the most probable, and what God and His Prophet like best”.
Ignas mencatat dari ucapan Umar bahwa qiyās sudah dikenal pada masa yang lebih awal. Tetapi ia meragukan validitas laporan tersebut. Seperti dalam Muhammedanische Studien Ignaz Goldziher menilai bahwa laporan tersebut bagian dari pemalsuan hadis untuk mendapatkan legitimasi dalam perseteruan anatara ahl al-ḥadīth dengan ahl al-ra`y. Ia berargumen bahwa qiyās adalah terminologi yang baru muncul belakangan. Ketidakpastian dalil yang memperbolehkan ra`y sebagai dasar pengambilan hukum memungkinkan penentangnya untuk menolak ra`y dari terminologi hukum Islam. Dalam penggunaan sehari-hari ra`y memiliki makna yang positif. Tetapi ketika ia disandingkan dengan sebuah kata sifat, maka bisa berbalik konotasi. Di kalangan ahl al-ḥadīth ra`y memiliki konotasi yang buruk. Terminologi tersebut identik dengan hawa nafsu.
Pengertian ra`y kemudian berkembang menjadi qiyās. Ra`y dipahami sebagai metode analogi. Jika sebelumnya seorang hakim mengambil pendapatnya sendiri ketika tidak menemukan dalil al-Qur`an dan sunnah, kini mereka menggunakan metode qiyās. Menurut Ibnu Ḥazm sebagimana dikutip Ignaz Goldziher, qiyās memiliki dua pengertian. Pertama, mencari hukum tertulis baik dalam al-Qur`an maupun sunnah kemudian mengenakan hukum tersebut pada persoalan baru yang tidak tertulis. Kedua, mencari illat dari sebuh hukum tertulis lalu menjadikan illat tersebut sebagai dasar hukum. Ignaz Goldziher memberikan catatan bahwa dalam fikih kemudian berkembang apa yang disebut dengan tujuan syariah (motives of divine law/ al-ta’līl). Meskipun termiologi ini lahir dan berkembang dari metode qiyās, tetapi tidak semua pendukung qiyās menerimanya.
Selanjutnya Ignaz Goldziher menjelaskan penggunaan ra`y di kalangan mazhab Abu Hanifah. Pada dasarnya qiyās adalah penggunaan akal secara terbatas dan tidak sembarangan. Dalam mazhab Hanafi penggunaan ra`y dikemas dalam konsep istiḥsān yang lebih longgar. al-Sarakhsī sebagaimana dikutip Ignaz Goldziher mendefinisikan istiḥsān sebagai “… abandoning qiyās in consideration of what is easier for man” (12). Namun sulit dipastikan, kapan sumber legal hukum Islam mulai diperkenalkan. Pun sulit dikatakan bahwa istilah tersebut mulai diperkealkan pada masa Abu Hanifah. Bahkan tidak ada kepastian tentang sikap Abu hanifah dalam menggunakan ra`y sebagai sumber hukum. Para penentang mazhab Hanafi menuduh Abu Hanifah lebih mengutamakan ra`y daripada sunnah. Mereka mencatat hanya sangat sedikit sunnah yang digunakan Abu Hanifah untuk menetapkan hukum, padahal pada saat itu masih ada beberapa sahabat yang bisa menjadi rujukan. Pendukung Abu Hanifah membantah tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa ra`y hanya digunakan ketika tidak ditemukan dalil tekstual. Mereka mengutip ucapan Abu Hanifah yang dipretensikan sebagai sikap mazhab, “Urinating in the mosque is less reprehensible than some of their qiyāsāt”. Di sisi lain Abu Hanifah tampak bersemangat menggunakan qiyās sebagaimana tercermin dari ucapannya, “He who does not abstain from applying qiyās in legal proceedings is no legist”.
Namun demikian Ignaz Goldziher memiliki dua fakta yang dapat menjelaskan kemunculan ra`y sebagai sumber hukum. Pertama, fikih ahl al-ra`y (speculative jurisprudence) yang tidak didominasi dalil tekstual mencapai puncaknya sebelum masa Abu Hanifah. Pendahulu Abu Hanifah, Hammād bin Sulaymān, disebut-sebut sebagai ahli fikih yang berpengaruh pada masanya. Abu Hanifah mengomentarinya dengan mengatakan,” Ḥammād’s knowledge of traditions was very weak, but he was said to be afqah”, hal mana mengindikasikan bahwa fikih Ḥammād tidak didominasi oleh dalil tekstual.
Kedua, setelah itu Abu Hanifah melakukan upaya pertamanya mengkodifikasikan hukum fikih berbasis qiyās. Itulah kali pertama fikih sistematik berbasis qiyās lahir, dan sejak itulah penolakan terhadap qiyās muncul. Ignaz Goldziher mencatat setidaknya ada dua komentar negatif terhadap fikih Abu Hanifah. Yang pertama datang dari Ibnu ‘Uyaynah yang mengatakan, “There are two things which I did not expect to spread beyond the bridge in Kufa: Ḥamzah’s way of reciting the Koran, and Abu Hanifah’s jurisprudence; indeed, both spread all over the world”. Kedua datang dari Ja’far bin Muhammad al-Ṣādiq yang mengingatkan Abu Hanifah dalam sebuah percakapan panjang agar menghindari ra`y (15).
Bab ketiga mengupas sosok Dawud al-Ẓahirī dan mazhabnya. Ignaz Goldziher mengawalinya dengan menguraikan mazhab Shafi’i. Menurutnya, posisi Shafi’i berhadap-hadapan dengan Abu Hanifah dalam hal penggunaan ra`y. Ignaz Goldziher cenderung memposisikan Shafi’i sebagai sunnah (20). Ignaz Goldziher merujuk pada ungkapan Shafi’i, “No matter what statement I made, no matter what principle (aṣl) I might have established, if there exists anything transmitted by the Prophet that contradicts this, then whatever the Prophet has said remains the deciding matter. I am of the same opinion”.
Namun demikian Ignaz Goldziher menilai bahwa sikap Shafi’i tidak dimaksudkan sebagai penolakan mutlak terhadap penggunaan ra`y. sikap ini lebih merupakan upaya menolak istiḥsān dan ta’līl (22). Shafi’i berupaya merekonsiliasikan dua kutub yang berseberangan, tetapi lebih dekat dan berbasis sumber tektual. Kecenderungan Shafi’i pada sumber tekstual digambarkan Ignaz Goldziher melalui beberapa komentar para tokoh. Di Iraq ia disebut sebagai pembela hadis; di Khurasan disebut sebagai pengikut hadis. Ketika menceritakan Shafi’i, Hasan al-Za’farānī mengatakan bahwa para pendukung hadis sedang tertidur, dan Shafi’i yang membangunkannya. Demikian pula Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa pengikut hadis bermaksud menumbangkan dominasi ahl al-ra`y, namun gagal. Ketika Shafi’i datang ia mempersembahkan kemenangan bagi para pengikut hadis (23).
Karakteristik mazhab Shafi’i yang lebih menekankan dalil tekstual mencetak banyak murid yang disebut Ignaz Goldziher sebagai reviver of old tradisionalism atau kembali kepada dalil tekstual. Kehadiran Shafi’i di Irak yang menumbangkan dominasi ahl al-ra`y dengan memperkenalkan qiyās sebagai penggunaan ra`y secara terbatas, melahirkan reaksi balik yang menolak penggunaan ra`y secara mutlak, termasuk ra`y dalam metode qiyās. Dia adalah Dawud al-Ẓāhirī.
Pada bab ini Ignaz Goldziher juga menyinggung sekilas biografi Dawud. Ia dilahirkan di Kufah. Tahun kelahirannya berkisar antara 200 atau 202. Ayahnya seorang hakim yang bernama Abdullah bin al-Khālid al-Kūfī. Ia banyak menghabiskan waktu belajarnya di Baghdad. Di antara guru-gurunya adalah Sulaiman bin Ḥarb, Abu Thawr, al-Qa’nabī, Abu Kathīr dan Musaddad bin Musarhad (29).
Mazhab al-Ẓāhirī lahir dari semangat rekonsiliasi antara ahl al-ḥadīth dan ahl al-ra`y. Menurut Ignaz Goldziher, karya Shafi’i yang berjudul al-Ḥukm bi al-Ẓāhir, bisa jadi merupakan titik mula bagi Dawud dalam membangun mazhabnya. Ignaz Goldziher juga mencatat keberadaan terminologi ẓāhir di kalangan mazhab Shafi’i. tetapi pengertiannya berbeda dengan ẓāhir dalam mazhab al-Ẓāhirīyah. Meskipun terinspirasi oleh mazhab Shafi’i, tetapi Mazhab al-Ẓāhirīyah melampaui Shafi’iyah dalam hal menolak qiyās sebagai salah satu sumber legal hukum Islam. Di samping menolak qiyās, ia juga menolak ta’līl dan taqlīd. Terkait dengan iijmā’ Dawud hanya mengakui ijmā’ sahabat yang didasarkan pada teks tertulis.
Meskipun Dawud menolak keras penggunaan ra`y, tetapi suatu saat sebagaimana dikutip Ignaz Goldziher dari Abu al-Fidā`, terpaksa menggunakan qiyās dan menyebutnya sebagai dalil (35). Namun demikian salah satu pengikutnya, Ibnu Hazm menarik kembali pernyataan tersebut dan menolak qiyās sebagai dalil.
Dalam literatur fikih perbandingan, mazhab al-Ẓāhirīyah tidak banyak disinggung. Ignaz Goldziher mencatat hanya ada dua buku yang memasukkan al-Ẓāhirīyah sebagai salah satu mazhab fikih yang diperbandingkan. Kedua buku tersebut adalah ‘Umdat al-Ṭālib fi Ma’rifat al-Madhāhib karya Abdurrahman al-Sinjārī dan Mīzān al-Ḥaqq karya al-Sha’rānī. Pendapat mazhab al-Ẓāhirīyah justru banyak ditemukan di dalam kitab-kitab tafsir dan sharḥ hadis.
Pada bab empat, pertama-tama Ignaz Goldziher mengulas karakteristik penafsiran al-Ẓāhirīyah yang bersifat literal. Ignaz Goldziher mengangkat contoh jenis komoditas Riba. Dalam hadis disebutkan bahwa komoditas riba ada enam. Menurut penafsiran literal al-Ẓāhirīyah, enam komoditas tersebut tidak dapat dikembangkan kepada komoditas lain. Mereka beragumen, jika yang dimaksud Rasulullah Rasulullah ṣalla alayh wa sallam dalam hadis tersebut adalah kelas dari masing-masing komoditas sehingga bisa dikembangkan kepada komoditas lain, tentu Rasulullah Rasulullah ṣalla alayh wa sallam akan menyebut kelas dan tidak komoditas secara khusus. Jika mazhab lain mencoba menelusuri alasan pelarangan riba dalam enam komoditas di atas, al-Ẓāhirīyah menganggap bahwa alasan pelarangan itu adalah karena Allah berkehendak melarangnya.
Ignaz Goldziher juga memberikan contoh perbedaan penafsiran al-Qur`an. Ignas mengulas perbedaan tafsir -Baqarah: 283 tentang jaminan barang dalam hutang. Menurut al-Ẓāhirīyah berdasarkan ayat tersebut, tidak diperkenankan meminta jaminan barang kepada debitor jika transaksi hutang dilakukan di tempat domisili (fi al-ḥaḍar). Dalam ranah tafsir, Qatadah dan al-Ḍaḥḥāk dari generasi tabi’in berpendapat senada. Mazhab lain menolak penafsiran literal ini. Al-Bukhārī membuat bab tentang barang jaminan dalam hutang yang dilakukan di tempat domisili. Ia melaporkan sebuah hadis bahwa Rasulullah Rasulullah ṣalla alayh wa sallam memberikan jaminan barang ketika berhutang.
Ketika membahas penafsiran hadis yang melarang penggunaan bejana milik non muslim, Ignaz Goldziher menyinggung sikap Ibnu Hazm yang dianggapnya intoleran terhadap non muslim. Menurut Ibnu Hazm, larangan penggunaan bejana milik non muslim disebabkan karena mereka najis secara fisik. Ibnu Hazm memperbolehkan hal tersebut hanya dalam kondisi terpaksa dan dengan sarat bejana tersebut harus dicuci sebelum digunakan. Menurut Ignaz Goldziher pendapat Ibnu Hazm tidak sekedar dilandasi penafsiran literal khas al-Ẓāhirīyah, tetapi juga rasa kebenciannya terhadap non mulsim, “I believe that what was responsible for this attitude was not only Ibn Hazm’s method of deduction, but also his personal fanaticism against followers of other religions” (60).
Pada bab kelima Ignaz Goldziher menejlaskan pengaruh literalisme al-Ẓāhirīyah terhadap pembagian hukum. Semua mazhab sepakat tentang pemabagian hukum menjadi lima, yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Bagi al-Ẓāhirīyah perintah adalah kewajiban dan larangan adalah keharaman. Tidak seperti mazhab lain mengklasifikasikan perintah dan larangan sesuai dengan tingkatannya dan karenanya menghasilkan hukum yang berbeda, literalisme al-Ẓāhirīyah hanya mengenal dua jenis hukum.
Ignaz Goldziher mengangkat beberapa contoh penafsiran literalis al-Ẓāhirīyah terhadap kalimat perintah, antara lain perintah menghadirkan saksi dalam jual beli sebagaimana dituturkan al-Baqarah:282. Berdasarkan ayat tersebut al-Ẓāhirīyah berpendapat bahwa saksi dalam jual beli hukumnya wajib. al-Bayḍawī sebagaimana dikutip Ignaz Goldziher menyatakan bahwa mayoritas ulama berpaendapat bahwa perintah tersebut tidak bermakna wajib. Hal itu didasarkan pada beberapa hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah ṣalla alayh wa sallam tidak menggunakan saksi dalam berjual-beli.
Contoh lain adalah larangan puasa ketika seseorang sedang bepergian sebagaimana dituturkan dalam hadis, “laysa min al-birr al-ṣiyām fi al-safar”. Hadis ini juga terkait dengan al-Baqarah: 180. Sekali lagi, dalam pandangan al-Ẓāhirīyah, hadis tersebut merupakan larangan berpuasa bagi orang yang sedang bepergian. Lebih jauh al-Ẓāhirīyah berpendapat bahwa jika seseorang yang sedang bepergian berpuasa, maka puasanya tidak sah dan harus menggantinya di luar bulan puasa (73). Menurut Ignaz Goldziher, pendapat al-Ẓāhirīyah memiliki kesamaan dengan penafsiran Abu Hurairah yang mengatakan bahwa kalimat “bukanlah kesalehan” secara literal artinya adalah bahwa orang yang saleh tidak akan melakukan. Oleh karena itu al-Baqarah: 180 harus dimaknai sebagai perintah yang berarti kewajiban. Ignas melanjutkan analisanya bahwa Abu Hurairah menjadi rujukan otoritatif bagi mazhab al-Ẓāhirīyah. Hadis yang dibawakannya sering berseberangan dengan pendapat ahl al-ra`y. Mungkin karena inilah hadis Abu Hurairah sering ditolak oleh para hakim (74).
Literalisme al-Ẓāhirīyah juga berpengaruh dalam memposisikan sunnah Rasulullah ṣalla alayh wa sallam. Ignaz Goldziher menjelaskan bahwa menurut ulama mazhab tidak semua tindakan Rasulullah ṣalla alayh wa sallam berimplikasi hukum. Hal itu didasarkan pada sebuah hadis, “innama anā bashar mithlukum. Idhā amartukum bi shay` min dīnikum fa khudhū bih. Fa idhā amartukum bi shay` min ra`yī fa anā bashar mithlukum”. Menurut al-Ẓāhirīyah semua tindakan Rasulullah ṣalla alayh wa sallam adalah sunnah. Hal yang terkait hukum disebut ssunnah al-hudā, sedangkan sunnah yang terkait dengan tindakan Rasulullah ṣalla alayh wa sallam sebagai manusia disebut dengan sunnah al-‘ādiyah. sunnah al-‘ādiyah tidak mengakibatkan dosa jika ditinggalkan, tetapi mengurangi tingkat kesalehan seseorang.
Pada bab keenam Ignaz Goldziher mengulas hubungan al-Ẓāhirīyah dengan mazhab Hanbali. Menurutnya, Hanbaliyah memperkenankan pemahaman literalis terhadap teks. Ignaz Goldziher menuturkan sebuah hadis dari Anas bin Malik, “kunnā nubakkir fi al-jum’ah wa nuqīl ba’d al-jum’ah” yang berdasarkan hadis tersebut salat Jumat dapat dilaksanakan pada pagi hari.
Ignaz Goldziher juga mengangkat dua contoh lain, yaitu: hadis tentang larangan bagi seorang hakim mengambil keputusan di saat marah; dan hadis tentang larangan penjualan mudabbar. Pada contoh kedua Ignaz Goldziher menuturkan bahwa menurut Hanbaliyah larangan penjualan mudabbar hanya berlaku bagi budak laki-laki saja, bukan budak perempuan. Sebab dalam hadis tersebut digunakan kata mudabbar, bukan mudabbarah. Oleh karena itu penjulan budak perempuan mudabbarah diperbolehkan. Mengomentari hal tersebut, Ibnu Hazm mengatakan bahwa pembedaan antara mudabbar dengan mudabbarah adalah hal yang tidak berdasar. Dalam kasus ini Ignaz Goldziher menilai bahwa pemikiran Ibnu Hanbal melebihi absurditas pemikiran pengikut al-Ẓāhirī.
Bab ketujuh berisi ulasan tentang pertarungan ahl al-ḥadīth dengan ahl al-ra`y dalam memperoleh legitimasi dari al-Qur`an, sunnah ataupun athar sahabat. Ignaz Goldziher meyakini bahwa penafsiran yang mendukung legalitas sumber hukum selain al-Qur`an dan sunnah baru datang belakangan. Dalam catatan kaki nomer 1 pada bab ketujuh, Ignaz Goldziher mengutip pernyataan Zamakhshari ketika menafsirkan al-Mulk: 10, “…termasuk bid’ah tafsir adalah ‘seandainya kami mengikuti mazhab ahl al-ḥadīth atau ahl al-ra`y ‘ dan seolah-olah ayat ini turun setelah kemunculan dua mazahab tersebut…”. Ignaz Goldziher juga menuturkan argumentasi-argumentasi yang diajukan untuk mendukung legalitas sumber hukum yang dianutnya. Shafi’i mengacu pada al-Nisā`: 115 dalam mendukung legalitas ijmā’. Legalitas qiyas didasarkan pada al-Hashr: 2. Empat dalil:Qur`an, sunnah, ijmā’ dan qiyās didasarkan pada al-Nisā`: 59.
Selanjutnya Ignaz Goldziher menyoroti sikap al-Ẓāhirīyah dalam memandang perbedaan mazhab. Mazhab selain al-Ẓāhirīyah berpandangan bahwa perbedaan adalah rahmat. Ignaz Goldziher memaparkan banyak dalil yang mengindikasikan bahwa perbedaan adalah rahmat. Pandangan ini berlawanan dengan metode literal yang dikembangkan al-Ẓāhirīyah yang lebih mengarah kepada keseragaman. Salah satu pengikut al-Ẓāhirīyah, Ibnu Hazm, menyatakan bahwa perbedaan adalah bencana. Ia berargumen bahwa hukum Allah sudah jelas dan mencakup seluruh persoalan yang dihadapai manusia. Rasulullah ṣalla alayh wa sallam juga sudah menjelaskan hukum dimaksud. Karena itu tidak ada jalan lain bagi seorang muslim selain mengambil hukum tersebut. Dan Allah mengecam orang-orang yang berbeda pendapat setelah penjelasan dariNya datang.
Pada bab kedelapan Ignaz Goldziher membahas keterseberan mazhan dan perkembangannya. Ia menuturkan bahwa tidak banyak Informasi tentang al-Ẓāhirīyah yang dapat ditemukan dalam buku sejarah. Ignaz Goldziher mengidentifikasi bahwa penyebabnya adalah al-Ẓāhirīyah tidak mendapatkan respek dari masyarakat. Tidak ada ṭabaqāt ataupun catatan yang memadai dari para penulis sejarah tentang al-Ẓāhirīyah ataupun Dawud. Perkembangan al-Ẓāhirīyah juga tidak sebaik perkembangan mazhab lain. al-Ẓāhirīyah muncul dari Irak kemudian menyebar ke Iran dan Sind. Awalnya mazhab ini tidak memperoleh pengikut di Maghrib dan Andalusia.
Pada abad keempat H. muncul penganut al-Ẓāhirīyah di Andalusia. Mundhir bin Ziyad al-Ballūṭī adalah salah satu nama yang menganut mazhab al-Ẓāhirīyah. Di Maghrib al-Qurṭubī termasuk orang yang dekat dengan gaya fikih Hanbaliyah, dan karenanya Ibnu Hazm mengapresiasinya.
Ibnu Hazm adalah salah satu penganut al-Ẓāhirīyah yang menonjol. Ia berupaya mengembangkan mazhab al-Ẓāhirīyah dari mazhab fikih menjadi mazhab yang juga mencakup akidah. Namun dalam mengembangkan ajaran akidahnya, Ibnu Hazm sering keluar dari metode literalis al-Ẓāhirīyah. Ibnu Hazm juga kontradiktif dalam memaknai Iman. Di satu sisi ia berpegang teguh pada makna literal bahasa, tetapi di sisi lain menolak makna bahasa ketika mengartikan makna iman. Bahkan bantahan Ibnu Hazm terhadap lawan-lawannya sering lebih tidak literal dari lawannya (118).
Ketika berhadapan dengan ayat tajsīm Ibnu Hazm juga keluar dari metode al-Ẓāhirīyah. Ignaz Goldziher mengatakan, “We have seen that in the explanation of the anthropomorphic passages of the Koran and the traditions, Ibn Ḥazm becomes unfaithful to his own system, and in his interpretation of the scripture he is guilty of the very same arbitrariness of which he ordinarily accuses the Mutazilites with merciless reproaches” (152).
Menurut Ignaz Goldziher, Ibnu Hazm gagal menegembangkan ajaran akidah al-Ẓāhirīyah, juga gagal memperoleh pengikut. Kegagalan al-Ẓāhirīyah dalam menyebarkan ajarannya disebabkan oleh cara ofensif dan radikal serta pengkafiran yang dialamatkan kepada lawan mazhab. Ketajaman lidah Ibu Hazm dalam menyerang lawan mazhab bahkan menjadi peribahasa, “Pedang al-Hajjāj dan lidah Ibnu Hazm”. Beberapa ulama yang sebenarnya lebih dekat dengan literalisme al-Ẓāhirīyah, seperti al-Bājī pun tidak respek dengan Ibnu Hazm .
Pasca Ibnu Hazm, pengikut al-Ẓāhirīyah melebur ke dalam mazhab lain. al-Ẓāhirīyah kembali mendapat pengikut di Andalusia pada abad ketujuh. Seorang raja dari dinasti Almohad di Andalusia, Abu Yusuf bin Ya’qub, menganut mazhab al-Ẓāhirīyah. Hal ini berpengaruh besar bagi perkembangan mazhab al-Ẓāhirīyah. Pengikut al-Ẓāhirīyah yang semula melebur ke dalam mazhab lain, mulai menampakkan diri sebagai mazhab independen. al-Ẓāhirīyah kembali menghilang dari Andalusia bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan dinasti Almohad (171).
***
Seperti karya Ignaz Goldziher yang lain, buku ini sarat informasi dan penuh dengan kutipan dari literatur klasik Islam, hal mana mengindikasikan bahwa Ignaz Goldziher memang menguasai sumber-sumber primer kajian Islam. Namun demikian, Ignaz Goldziher gegabah ketika mennyebutkan karya Shafi’i al-Ḥukm bi al-Ẓāhir sebagai bagian yang mempengaruhi literalisme Dawud. Ignaz Goldziher tidak mengutip satu hurufpun dari buku tersebut selain menyebut judul. Bisa jadi buku tersebut mengulas tentang keputusan hukum berdsarkan apa yang tampak, bukan soal literalisme.
Analisa kritisnya mampu menjelaskan dengan fasih posisi Ibnu Hazm dalam mazhab al-Ẓāhirīyah. Di sisi lain tendensi pluralisme dan toleransi tidak dapat disembunyikan dari buku ini ketika Ignaz Goldziher menilai empat mazhab yang dianggap lebih toleran terhadap agama lain ketimbang al-Ẓāhirīyah yang dinilainya intoleran. Tuduhannya terhadap Ibnu Hazm bahwa penafsirannya tentang larangan menggunakan bejana milik non muslim dilatarbelakangi kebenciannya terhadap non-muslim, tidak disertai argumen yang memadai. Bahkan Snouck Hurgronje, sebagaimana dikatakan Camila dalam pengantar buku ini, sampai harus mengklarifikasi Ignaz Goldziher atas penilain biasnya terhadap Ibnu Hazm.
Dibanding Muhammedanische Studien buku ini lebih ramah ketika berbicara tentang pemalsuan hadis. Setidaknya tuduhan pemalsuan tidak dilakukan secara kasar. Bisa jadi ini merupakan perubahan sikap karena perubahan pengetahuan. Bisa jadi pula karena buku ini memang tidak berbicara langsung tentang perkembangan hadis.
Dari segi bahasa buku ini menggunakan berbagai bahasa. Di samping bahasa Inggris, buku ini juga menggunakan kutipan dalam bahasa Arab, Perancis dan Jerman tanpa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Beberapa istilah dalam bahasa arab dan latin juga seringkali dibiarkan tanpa diterjemahkan. Sebagaimana diakui penerjemahnya, beberapa redaksi memang dibiarkan sesuai dengan aslinya tanpa diterjemahkan. Beberapa istilah yang diterjemahkan dari bahasa Arab kadang membingungkan. Isitlah teologi yang biasa digunakan untuk menerjemahkan akidah dipakai untuk menunjuk pengertian pemikiran Islam. Sementara akidah diterjemhkan dengan dogmatics. ©Tambakboyo,2017.
=========
tentang perseteruan antara ahl al-hadith dan ahl al-ra`y bisa dibaca
الاتجاهات الفقهية عند أصحاب الحديث في القرن الثالث الهجري karya ِAbdul Majid Mahmud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar