Kamis, 23 Oktober 2014

Gagasan Tafsir Progresif Dawam Raharjo

Sejatinya Prof. Dr. M. Dawam Raharjo bukanlah sarjana tafsir. Kuliah formalnya mengambil jurusan ekonomi. Demikian pula karir akademiknya di bidang ekonomi. Bahkan gelar Dr Hc-nya juga diperoleh di bidang ekonomi. Namun, kajian tafsir di abad kontemporer memang memperlihatkan kecenderungan lintas disiplin. Beberapa sarjana non agama turut andil dalam memperkaya kajian tafsir. Sahrur seorang insiyur Syiria yang menulis al-Kitāb wa al-Qur`an; sayyid qutb lulusan sastra dan pendidikan dari Mesir dengan karyanya fi Ẓilāl al-Qur`an dan Mustafa Mahmud seorang dokter Mesir dengan karyanya al-Qur`an, Muḥāwalat li Fahm ‘Aṣrī adalah sebagian pengkaji tafsir yang berlatar belakang non sarjana agama. Dan Dawam adalah salah satu dari sekian sarjana non agama dari Indonesia yang turut mencurahkan perhatiannya untuk mengembangkan kajian tafsir.


Dalam buku setebal 214 (dua ratus empat belas) halaman, dengan judul Paradigma Al-Qur`an, Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial, Dawam mengungkapkan gagasannya tentang tafsir dan ilmu al-Qur`an. Buku yang diterbitkan Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Jakarta tahun 2005 ini dibagi ke dalam 7 (tujuh) bab. Masing-masing bab tampak tidak saling terkait. Hal ini mengindikasikan bahwa buku ini memang bukan karya akademik. Secara samar Dawam dalam pengantarnya mengakui bahwa buku ini hasil kumpulan makalah tentang tafsir yang pernah dibuatnya.


Bahwa buku ini merupakan kumpulan makalah, tampak nyata dalam beberapa tema yang dibahas berulang-ulang dalam bab yang berbeda. Misalnya, tema al-Fātiḥah sebagai al-Qur`an in a nutshell disinggung dalam bab I, bab II, bab IV dan bab VI dengan pembahasan yang tumapng tindih. Buku ini juga sarat kutipan tanpa referensi serta tidak menyebutkan daftar pustaka.


Namun demikian, burukya sistematika buku ini tidak mengurangi kualitas gagasan yang ditawarkan Dawam. Beberapa gagasan Dawam yang patut dipertimbangkan sebagai pengaya kajian tafsir di antaranya adalah sebagai berikut.


Pertama, pendekatan historis dalam memahami al-Qur`an. Menurutnya, al-Qur`an harus dipahami dalam konteks sejarah Arab pada masa itu, bahkan sejarah peradaban dunia, bukan dalam konteks asbāb al-Nuzūl yang sempit. Dengan meletakkan al-Qur`an dalam konteks sejarah peradaban, akan ditemukan pemahaman yang mendalam tentang dasar-dasar kepercayaan Islam yang disampaikan al-Qur`an. Konsekwensinya, al-Qur`an harus dipahami secara kronologis sesuai urutan turunnya ayat.


Kedua, pemahaman istilah-istilah kunci dalam al-Qur`an. Dawam menganjurkan agar dilakukan pemahaman istilah kunci dalam al-Qur`an yang mengandung konsep atau makna mendalam dengan melihat konteksnya dalam suatu ayat atau bagian surat serta disusun secara kronologis untuk melihat kemungkinan terjadinya evolusi makna. Upaya ini dikombinasikan dengan mencari kata turunan dari istilah kunci. Misalnya, kata taqwā dicari kata turunannya, seperti waqā, yaqī, tuqāh, yattaqī, dan dikelompokkan untuk melihat perbedaan arti masing-masing kata turunannya. Dan kedua langkah di atas dilakukan dengan menggunakan metode tafsir al-Qur`an dengan al-Qur`an.


Secara eksplisit Dawam mencontohkan pemahaman isitlah kunci al-insān dan khusr yang terdapat dalam surat al-‘Ashr:2, “sesungguhnya manusia dalam kerugian”. Dawam mengkritik para ahli tafsir yang hanya memahami ayat ini dari tinjauan bahasa saja. Konsep al-insān dan khusr harus dicari maknanya dari dalam al-Qur`an sendiri, baik melalui kata yang sama atau kata turunannya. Kata khusr dengan turunannya disebutkan dalam al-Qur`an sebanyak 65 (enam puluh lima) kali. Dari 65 kata itulah konsep kerugian manusia dalam kehidupan dapat dipahami dengan mendalam.


Ketiga, al-Fātiḥah sebagai al-Qur`an in a nutshell. Inti gagasan ini memposisikan al-Fātiḥah sebagai daftar isi al-Qur`an, sedangkan surat lainnya menjadi batang tubuh. Seperti metode yang ditawarkan sebelumnya dalam menafsirkan surta al-‘Ashr, al-Fātiḥah ditafsirkan dengan ayat-ayat dalam surat lain. Perbedaannya, al-Fātihah diposisikan sebagai ringkasan dari keseluruhan al-Qur`an. Dengan demikian, al-Fātiḥah di tafsirkan dengan sisa bagian al-Qur`an seluruhnya. Hal ini didasarkan pada hipotesis bahwa surat-surat di luar al-Fātiḥah adalah penjelasan dari surat ini. Untuk mencari makna shirāth al-mustaqīm, misalnya, harus dicari dalam batang tubuh al-Qur`an. Dengan demikian ayat-ayat dalam batang tubuh memiliki “induk”-nya dalam al-Fātiḥah.


Dawam mengklaim bahwa yang disampaikannya tentang al-Fātiḥah adalah gagasan baru. Ia telah meneliti tafsir-tafsir al-Fātiḥah dari tokoh-tokoh terkemuka, seperti Muhammad Ali, Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, al-Thabathaba`i, al-Mawdudi, Bey Arifin, Bahrun Rangkuti, Maulana Abdul Kalam Azad dan Zaharullah Khan. Menurut pengakuanya, dari sekian tafsir al-Fātiḥah yang ia amati, tak satupun yang sesuai dengan yang ia gagas.


Keempat, metode tafsir mawdlūī dengan menggunakan tiga titik tolak. Menurutnya, metode tafsir mawdlū’ī dipengaruhi oleh perkembangan konsep ilmu-ilmu sosial dan perkembangan teori modernisasi. Perbedaannya adalah jika dalam ilmu-ilmu sosial persoalan yang muncul diselesaikan dengan mencari keterangan-keterangan empiris, maka dalam tafsir mawdlū’ī jawabannya diperoleh dari konsep-konsep al-Qur`an. Ia mencontohkan, pertanyaan tentang hakikat manusia dalam tafsir mawdlū’ī dicarikan jawabannya melalui ayat-ayat yang menerangkan tentang manusia, seperti dilakukan Abbas al-‘Aqqad dalam karyanya, al-Insān fi al-Qur`an. Atas dasar itu Dawam menawarkan tiga macam titik tolak untuk melakukan kajian tafsir mawdlū’ī.


a. bertolak dari konsep ilmu-lmu sosial, seperti demokrasi. Ia mencontohkan kajian Fazlur Rahman tentang Syūrā dalam al-Qur`an. “Dalam pemikiran Rahman gagasan demokrasi terdapat dalam al-Qur`an”. Namun demikian, sebagaimana diutarakan Rahman, konsep demokrasi tidak sama persis dengan Syūrā dalam al-Qur`an. “penafsiran Syūrā itu dimaksudkan untuk menjelaskan pengertian demokrasi menurut Islam yang didasarkan pada al-Qur`an.


b. bertolak dari istilah-istilah dari al-Qur`an sendiri, seperti Taqwā. Dawam mengasumsikan bahwa istilah al-Qur`an bersifat padat makna. Ia juga menyimpulkan bahwa istilah-istilah yang menjadi tema dalam al-Qur`an bersifat multidimensional. Dengan kata lain, satu istilah bisa masuk dalam berbagai ranah ilmu pengetahuan. “Istilah amānah, umpamanya, bisa mengandung makna mental spiritual, psikologis, politis, sosial dan ekonomi. Dengan alasan itulah, Dawam tampaknya tidak merekomendasikan pendekatan yang kedua ini.


c. bertolak dari istilah-istilah dan pengertian yang timbul dari ilmu-ilmu keislaman tradisional, seperti istilah tawḥīd. Istilah ini sudah menjadi baku, meskipun tidak ditemukan secara eksplisit dalam al-Qur`an. Namun demikian pengertian “pengesaan Tuhan banyak dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur`an.


Kelima, al-Qur`an bersifat antroposentris. Mengutip al-Mawdudi dalam The Meaning of The Qur`an, Dawam menandaskan bahwa pokok pembicaraan al-Qur`an adalah manusia. Lima ayat yang pertama kali turun dua kali menyebut kata al-insān. Di dalam al-Qur`an juga terdapat satu surat yang diberi nama al-Insān. Dan kajian-kajian tentang manusia dengan berbagai aspeknya banyak dijumpai dalam al-Qur`an. Bahkan ayat-ayat yang sepintas berbicara tentang Tuhan, sejatinya juga bermuara pada pembahasan tentang manusia. Keesaan Tuhan, misalnya, bermuara kepada kesatuan umat manusia.


Di samping memunculkan gagasan yang cenderung mendobrak kemapanan tafsir, Dawam juga menggunakan istilah baru dalam kajiannya. Pertama, istilah al-Qur`an in a nutshell dalam pengertian bahwa al-Fātiḥah merupakan ikhtisar dari keseluruhan al-Qur`an. Kedua, penggunaan isitlah muḥkamāt dan mutasyābihāt tetapi dengan pengertian yang tidak lazim. Dawam menggunakan kedua istilah itu dalam pengertian variabel terikat dan variabel bebas. Seluruh ayat dalam al-Fātiḥah disebutnya sebagai muḥkamāt atau variabel terikat yang harus dicari penjelasannya dalam surat lain. Sementara surat-surat selain al-Fātiḥah adalah ayat mutasyābihāt yang menjadi elaborasi dari surat al-Fātiḥah.
***
Mengikuti adagium Malik bin Anas, kullun yu`khadzu bihi wa yuraddu ‘alaihi illā shāḥoba hādzā al-maqām, buku ini layak dibaca untuk memperluas wawasan dan memperoleh “kebenaran” baru yang tidak ditemukan dalam kajian tafsir klasik. Buku ini juga dapat dijadikan sebagai kerangka refereansi dalam kajian atau penelitian tafsir, tanpa harus larut dalam gagasan Prof. Dr. M. Dawam Raharjo@Tambakboyo, 25 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Terkini

PERKEMBANGAN LEMBAGA PERADILAN DARI MASA KENABIAN HINGGA DINASTI ABBASIYAH

Download versi pdf A. Pendahuluan Agama apapun tentu berisikan ajaran-ajaran tentang kebenaran dan petunjuk bagi penganutnya agar mendapatka...

Paling Sering Dibaca