Selasa, 19 November 2013

Renungan Memperingati Hari Pahlawan

Setiap 10 Nopember berbagai acara di helat untuk memperingati hari pahlawan. Berbagai kemeriahan ditampilkan untuk mengenang jasa para pahlawan yang rela berkorban demi kemerdekaan negeri tercinta, Republik Indonesia. Sekolah-sekolah rela memotong jam pelajaran demi mengikuti upacara. Para pegawai instansi pemerintah juga tampak memenuhi barisan upacara untuk melaksanakan perintah atasan. Para pejabat teras memberikan keteladanan dengan menjadi pemimpin upacara. Tidak ketinggalan berbagai lapisan masayarakat juga turut berpartisipasi dalam upacara memperingati hari pahlawan. Pendeknya, pada 10 Nopember seluruh lapisan masyarakat turut berpartisipasi dalam pelaksanaan upacara memperingati hari pahlawan.


Momen mengenang jasa pahlawan tidak hanya terjadi pada 10 Nopember. Pada malam menjelang HUT RI digelar acara malam tirakatan untuk mengenang jasa pahlawan. Pada peringatan G 30-S PKI juga dilakukan upacara untuk mengenang pahlawan yang gugur dalam peristiwa pemberontakan PKI. Bahkan tiap hari senin saat upacara terselip acara mengheningkan cipta untuk mengenenag jasa para pahlawan.


Fenomena pahlawan tidak hanya ditemukan dalam konteks merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Korban tri sakti dijuluki sebagai pahlawan reformasi. Marsinah, korban demo buruh, dielu-elukan sebagai pahlawan. Kyai Alawi menjadi pahlawan dalam kasus waduk nipah. Bahkan di sekitar kita banyak orang-orang yang disebut sebagai pahlawan. Para tenaga kerja yang menghasilkan dolar disebut sebagai pahlawan devisa. Guru mendapat gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Bapak atau ibu atau saudara kita yang dengan gigih memperjuangkan keberlangsungan hidup dan pendidikan anak atau saudaranya disebut sebagai pahlawan keluarga.


Sosok pahlawan juga ditemukan di dalam buku-buku bacaan, baik fiksi maupun sejarah. Ada cerita pahlawan Islam, seperti kepahlawanan Khlafa’ur rasyidin, Hamzah bin Abi Thalib, Abdullah bin Rawahah, Shalahuddin al-Ayyubi, dan lain-lain. Ada pahlawan bangsa, seperti Diponegoro, Cut Nyak Din, Imam Bonjol dan lain-lain. Ada pahlawan fiksi, seperti Naruto, Aang, Batman, Superman, Spiderman dan lain-lain. Seorang pahlawan digambarkan seabagai sosok pemberani, pejuang kebenaran dan rela berkorban demi kepentingan orang lain


Begitu banyak momen dihelat untuk mengingatkan kita akan pengorbanan yang dilakukan para pendahulu demi kesejahteraan, kenyamanan dan keamanan generasi berikutnya. Tak terhitung banyaknya darah yang tertumpah, jiwa yang melayang dan harta yang didermakan demi kebebasan kita sebagai umat dan bangsa. Tak terhitung lagi cucuran keringat dan air mata mengiringi langkah perjuangan mereka demi kabahagiaan kita. Mereka telah berkorban demi kita. Lalu apakah yang telah kita korbankan untuk generasi selanjutnya? Mungkin seperti itulah maksud perhelatan upacara, malam tirakatan dan pengheningan cipta.


Banyak gelar disematkan kepada orang yang telah berjasa besar bagi umat dan bangsa sebagai wujud penghargaan yang tidak seberapa atas pengorbanan mereka. Patung, nama jalan dan nama gedung diddedikasikan untuk mereka. Mampukah penghargaan-penghargaan itu mendorong kita untuk berjiwa, bersikap dan berperilaku seperti kepahlawanan mereka? Bisa jadi itulah maksud pemberian penghargaan. Di samping sebagai imbal jasa yang tidak seberapa juga sebagai motivasi agar orang lain meniru kepahlawanan mereka.


Banyak buku diperkenalkan untuk mengenang dan mendekatkan sosok pahlawan kepada kita. Seorang pahlawan selalu digambarkan secara positif sebagai sosok pemberani, pejuang kebenaran dan rela berkorban demi orang lain. Tetapi sejauh mana semua itu mengilhmai sikap dan perilaku kita sebagai umat maupun bangsa?


Agak ironis bahwa panggung kehidupan akhir-akhir ini justru menyuguhkan berbagai tontonan yang bertolak belakang dengan nilai kepahlawanan. Para pejabat yang seharusnya menjadi teladan kepahlawanan justru berperan sebagai koruptor. Alih-alih berkorban demi rakyat, banyak dari mereka yang justru mengorbankan rakyat. Alih-alih mengakui kesalahan, bertanggung jawab dan bertobat, banyak dari mereka yang justru bersikap culas dan picik untuk menghindari hukuman sembari memperlihatkan wajah tak bersalah dan berdalih bahwa dirinya adalah korban.


Seorang pahlawan berani dan siap mengambil tangungg jawab atas segala tindakannya, baik tindakan itu untuk dirinya sendiri ataupun orang lain. Mari kita renungkan kisah seorang sahabat Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam berikut ini. Ka’ab bin Malik pernah melakukan tindakan dsersi, tidak mengikuti perang Tabuk. Setibanya Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam dari perang Tabuk, orang-orang yang desersi, dan jumlahnya sekitar 80 orang, menyampaikan alasannya, mengapa mereka tidak ikut berperang. Rasullullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam menerima alasan dan memintakan ampunan untuk mereka. Soal kebenaran alasan mereka, Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam menyerahkan sepenuhnya kepada Allah.


Berbeda dengan mereka, Ka’ab bin Malik memilih jujur dan berterus terang, meskipun ia harus menghadapi resiko hukuman. Ketika ditanya Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam tentang alasannya tidak mengikuti perang Tabuk, ia menjawab,


“Sungguh demi Allah kalau saja bukan di hadapan engaku, pasti aku bisa terbebas dari hukuman dengan menyampaikan alasan. Sebab aku dikaruniai kepandaian berdebat. Tetapi, demi Allah, aku tahu bahwa jika aku berkata bohong hari ini yang bisa menyenangkanmu, maka hampir pasti Allah akan membuatmu murka kepadaku. Dan jika aku berkata jujur yang membuatmu menghukumku, maka aku berharap Allah akan memberikan akhir yang baik bagiku. Demi Allah aku tidak punya alasan apapun. Demi Allah, aku tidak pernah merasa sekuat dan segampang seperti ketika aku tidak mengikuti perang bersamamu”.


Dan sebagai hukuman ka’ab bin Malik dikucilkan. Semua orang dilarang berbicara dengan Ka’ab bin Malik. Selama 50 hari Tidak ada yang menyapanya pun tidak ada yang membalas sapaannya, termasuk Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Hingga seolah bumi yang diinjaknya pun tak lagi mengenalnya. Bumi yang ia pijak bukan lagi bumi yang dulu ia kenal. Bahkan pada hari ke 40 Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam menambah hukumannya. Ka’ab bin Malik harus pisah ranjang dengan istrinya. Ka’ab pun mematuhi perintah Rasululah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Ia memerintahkan istrinya agar kembali ke orang tuanya hingga Allah memberikan keputusan atas perkaranya.


Pada hari ke-50 ketika bumi yang luas terasa sempit, datanglah keputusan Allah yang mengakhiri hukuman Ka’ab bin Malik. Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam mengumumkan kepada khalayak bahwa Allah telah menerima taubat Ka’ab bin Malik. (disadur dari hadis Bukhari:4418 dan Muslim:2769)


Itulah salah satu ciri kepahlawanan: bertanggung jawab atas segala tindakan dan perbuatan yang dilakukannya, bukan menghindar dengan sejuta alasan. Pahlawan adalah sosok yang pemberani: berani mengambil resiko, berani mengambil keputusan dan siap bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya.


Keberanian adalah kemantapan hati dan kepercayaan diri dalam menghadapi bahaya dan kesulitan. Tetapi keberanian seorang pahlawan bukan asal mantap dan percaya diri. Keberanian diterapkan secara terukur dan proporsional. Keberanian diletakkan dalam memperjuangkan dan membela kebenaran. Keberanian didedikasikan untuk membela kepentingan orang banyak. Keberanian bukanlah apa yang di salah pahami sebagian orang sebagai solidaritas dalam membela kesalahan kelompok atau teman. Keberanian bukanlah nyali besar yang digunakan untuk membela kesalahan teman atau kelompoknya sendiri.


Benar, bahwa kita harus membantu teman, baik ia benar atau salah. Tetapi membantu teman yang salah tidak dilakukan dengan membela kesalahannya, melainkan dengan meluruskannya agar kembali benar dan tidak jatuh pada kesalahan yang sama. Dan itulah yang diajarkan Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. “tolonglah saudaramu, baik ia berbuat aniaya atau teraniaya”. Ketika ditanya, bagaimana membantu teman yang berbuata aniaya, Rasulullah menjawab, “mencegahnya berbuata aniaya”. (Muslim: 2584).


Keberanian adalah sikap bijak seseorang dalam mengelola nyali. “Jangan berharap bertemu musuh. Tetapi jika kalian menemuinya jangan pernah lari” (Muslim: 1741).  Itulah kebaranian sejati.


Tidak cukup hanya bermodal keberanian, kepahlawanan juga menuntut kesediaan untuk berkorban demi kepentingan orang lain. Kepahlawanan menafikan sikap egois yang mementingkan diri sendiri. Seorang pahlawan memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi. Seorang pahlawan akan merasa prihatin atas penderitaan yang dialami sesamanya. Perhatian seorang pahlawan selalu tercurah untuk kebaikan, kesejahteraan dan kenyamanan sesamanya. Seorang pahlawan selalu menginginkan kebaikan sesamanya, seperti ia mengingingkannya untuk diri sendiri. “Tidak sempurna iman seseorang hingga ia menginginkan untuk saudaranya apa-apa yang ia inginkan untuk dirinya sendiri.”


Jiwa kepahlawanan tidak membenarkan kebahagiaan yang dibangun di atas penderitaan orang lain. Menjegal, menjatuhkan dan menyandera orang lain dengan kesalahan-kesalahannya sangat jauh dari sifat-sifat kepahlawanan yang mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri. Seorang pahlawan tidak akan mengatas namakan rakyat untuk memperjuangkan kepentingan sendiri. Sebaliknya, seorang pahlawan akan memperjuangkan kepentingan rakyat, meski harus mengorbankan diri sendiri. Dan “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya”.


Kepahlawanan bukan sekedar retorika. Ia adalah keberanian dan kepedulian altruistik yang ditransformasikan dalam bentuk perjuangan tanpa kenal lelah demi merebut, mempertahankan dan meningkatkan kebaikan bersama: kebaikan diri sendiri dan kebaikan sesamanya. Dengan demikian pahlawan bukan hanya perjuangan dengan mengangkat senjata. Segala bentuk perjuangan demi kesejahteraan bersama adalah tindakan kepahlawanan.


Berjuang demi kemerdekaan bangsa; berjuang memberantas kejahiliyahan; berjuang memberantas kebodohan; berjuang memberantas kezaliman; berjuang dengan senjata; berjuang dengan pena; berjuang mengestas kemiskinan; berjuang melawan hawa nafsu; berjuang melawan tirani penguasa; berjuang memberantas korupsi; berjuang melahirkan anak; berjuang menyekolahkan anak; berjuang memajukan almamater; semuanya adalah perjuangan kepahlawanan yang patut mendapat apresiasi. Kepahlawanan bukan soal “siapa” tetapi mengenai “apa”. Semua orang bisa menjadi pahlawan dengan keberanian dan kepeduliannya dalam memperjuangkan kepentingan bersama. Sebaliknya seorang pemberani bisa menjadi penjahat dengan keculasan dan egoismenya dalam memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya.


Itulah makna yang seharusnya ditangkap dari berbagai perhelatan yang diselenggarakan untuk mengenang jasa pahlawan, agar waktu yang tersita tidak sia-sia hanya sekedar untuk menjalankan rutinitas basa-basi yang selalu berulang setiap tahun. Hari pahlawan harus bisa menjadi momentum pembentukan dan peningkatan kualitas watak kepahlawanan kita.©2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Terkini

PERKEMBANGAN LEMBAGA PERADILAN DARI MASA KENABIAN HINGGA DINASTI ABBASIYAH

Download versi pdf A. Pendahuluan Agama apapun tentu berisikan ajaran-ajaran tentang kebenaran dan petunjuk bagi penganutnya agar mendapatka...

Paling Sering Dibaca