Rabu, 24 Juli 2013

Melihat Hubungan Muslim Dengan Non Muslim Melalui Penafsiran Surat al-Mumtahinah ayat 8

I. Pendahuluan


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (الممتحنة:8)


Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil[1].


Pembahasan mengenai hubungan muslim dengan non muslim selalu berakhir dengan terbentukya dua kutub yang saling berlawanan: toleran dan intoleran. Kutub intoleran umumnya memposisikan non muslim berhadap-hadapan secara diametral.


Ayat- ayat favorit yang mendasari persepsi stereotip kutub intoleran diantaranya adalah:


وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ... (البقرة:120)


لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً ... (ال عمران: 28)


... فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ ... (التوبة: 5)


Dan diantara hadis favorit mereka adalah:


عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ[2]


Pemahaman terhadap dalil-dalil tersebut kemudian membentuk persepsi stereotipe yang meletakkan hubungan muslim dengan non muslim dalam konteks permusuhan dan perang.


Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, benarkah hubungan muslim dengan non muslim hanya bisa dilihat dari satu sudut pandang saja, yaitu sudut pandang permusuhan dan perang? Setidaknya berdsarkan pemahaman sekilas terhadap surat al-Mumtahinah ayat 8, ada sudut pandang lain yang bisa dijadikan pijakan dalam mensikapi non muslim.


Untuk mendapatkan pemahaman yang terang benderang terhadap al-Mumtahinah ayat 8, makalah ini akan memaparkan pendapat mufassirin tentang ayat tersebut. Karena keterbatasan ruang dan waktu, makalah ini hanya akan menampilkan pendapat tiga mufassir, yaitu: al-Qurtubi, Ibnu Kathir dan Ibnu Ashur.


Alasan pemilihan ketiga mufassir tersebut adalah sebagai berikut. Al-Qurtubi dapat merepresentasikan pandangan ahli fikih. Sebab tafsir al-Qurtubi dikenal berkecenderungan fikih Maliki. Ibnu Kathir dapat merepresentasikan pandanagan ahli Hadis. Bahkan ia merupakan salah satu rujukan utama keompok-kelompok yang cenderung intoleran. Ibnu Ashur dapat merepresentasikan pandangan ulama kontemporer, khususnya ketika dunia Islam mengalami inferioritas di hadapan superioritas Barat yang non muslim. Wa Allah al-Musta`ān.


 


II. Penafsiran al-Qurtubi, Ibnu Kathir dan Ibnu Ashur


A. Penafsiran al-Qurtubi[3]


Al-Qurtubi membagi peanfsiran surat al-Mumtahinah ayat 8 ke dalam tiga pembahasan. Pertama, pembahasan fikih terkait hukum menjalin hubungan baik dengan non muslim. Dalam pembahasan ini pertama-tama ia menyampaikan pendapatnya bahwa ayat ini merupakan dalil diperbolehkannya menjalin hubungan baik dengan non muslim yang tidak memusuhi dan memerangi umat Islam.


Selanjutnya ia mengutip pendapat para ulama. Menurut Ibnu Zaid hukum ini berlaku pada masa awal-awal Islam kemudian dihapus (nasakh). Pendapat yang sama juga disampaikan Qatadah yang mengatakan bahwa ayat ini dihapus dengan ayat:


فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ (التوبة: 5)


Pendapat lain mengatakan bahwa hukum ini bertalian dengan sebab, yaitu adanya perjanjian damai. Ketika perjanjian damai itu hilang dengan dibukanya kota Makkah, maka hukum ini dihapus. Ada yang berpendapat, termasuk diantaranya al-Hasan, bahwa hukum ini hanya berlaku untuk para sekutu dari kalangan non muslim yang terikat perjanjian damai dengan Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam dan mereka tidak melanggar perjanjian tersebut. Sementara al-Kalbi dan Abu Salih berpendapat bahwa yang dimaksud ayat ini adalah Khuza’ah dan Bani al-Harith bin Abdi Manaf. Pendapat Abu Salih yang lain, yang dimaksud dengan ayat ini adalah hanya Khuza’ah saja. Menurut Mujahid, hukum ini hanya berlaku bagi orang-orang mu’min yang tidak turut berhijrah ke Madinah. Ada pula yang berpendapat bahwa hukum ini hanya berlaku bagi perempuan dan anak-anak. Sebab, merekalah orang-orang yang tidak turut serta memerangi kaum muslimin, dan karenanya kaum muslimin diperbolehkan berbuat baik kepada mereka.


Setelah menyampaikan perbedaan pendapat dengan berbagai variannya, al-Qurtubi menyebutkan pendapat mainstream ulama tafsir. Menurut mayoritas ulama tafsir, ayat ini tidak dihapus. Mereka mendasarkan pendapatnya pada kisah Asma` binti Abu Bakar. Ia bertanya kepada Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam, apakah boleh ia mejalin hubungan baik dengan ibunya yang saat itu musyrik. Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam menjawab, “iya”. Kisah ini diriwayatkan Bukhari dan Muslim.


Bahkan ada yang berpendapat bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kisah Asma` binti Abu Bakar tersebut. Amir bin Abdullah bin Zubair menceritakan dari bapaknya bahwa Abu Bakar mecerai istrinya, Qutailah, pada masa jahiliyah. Dan ia adalah ibu dari Asma` binti Abu Bakar. Semasa terjadi gencatan senjata antara Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam dan orang-orang kafir Quraisy, Qutailah datang dengan membawa hadiah anting-anting dan hadiah lain untuk Asma’ putrinya. Asma’ tidak ingin menerima hadiah itu dari ibunya, hingga kemudian ia datang kepada Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Lalu turunlah al-Mumtahinah ayat 8. Kisah ini dituturkan al-Mawardi dan lain-lain dalam tafsirnya serta diriwayatkan oleh Abu Daud al-Tayalisi dalam kitab Musnad-nya.


Pembahasa kedua terkait bahasa. Ada dua frasa yang menjadi obyek tafsir bahasa al-Qurtubi pada ayat ini. Pertama frasa {أَنْ تَبَرُّوهُمْ}. Menurutnya frasa ini berkedudukan jar sebagai badal dari {الَّذِينَ}. Dengan demikian ayat tersebut bermakna demikian:


لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنْ أَنْ تَبَرُّوا الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ


Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang yang tidak memerangimu


Yang dimaksud, “orang-orang yang tidak memerangimu” adalah orang-orang Khuza’ah yang saat itu terikat perjanjian damai untuk tidak memerangi atau membantu orang lain memerangi Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Karena itu diperbolehkan berbuat baik kepada mereka hingga batas waktu perjanjian. Pendapat ini diceritakan al-Farra`.


Sub pembahasan kedua adalah makna {وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ}. Makna frasa ini adalah, “memberikan sebagian harta kepada mereka dalam konteks menjalin hubungan baik”, bukan “berbuat adil”. Sebab berbuat adil adalah kewajiban, baik terhadap orang-orang yang memerangi maupun yang tidak. Pendapat ini disampaikan Ibnu al-Arabi.


Pembahasan ketiga terkait bantahan al-Qurtubi terhadap pengambilan kesimpulan yang salah dari ayat ini. Ia mengutip al-Qadli Abu Bakar dalam al-Ahkām yang mengatakan bahwa berdasarkan ayat ini sebagian orang berpendapat bahwa seorang muslim wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya yang non muslim. al-Qadli Abu Bakar menilai pendapat ini adalah kesalahan besar. Sebab mengijinkan sesuatu atau tidak melarang sesuatu bukan berarti mewajibkan. Mengijinakan atau tidak melarang hanya berimplikasi memperbolehkan. Demikian al-Qadli Abu Bakar, sebagaiman dikutip al-Qurtubi, memberikan alasan. Al-Qadli Abu Bakar menambahkan bahwa suatu hari Ismail bin Ishaq al-Qadli kedatangan seorang dhimmi lalu ia muliakan. Sikap ini mendapatkan protes dari orang-orang yang hadir. Lalu Ismail membacakan ayat ini.


B. Penafsiran Ibnu Kathir[4]


Ibnu Kathir menafsirkan al-Mumtahinah ayat 8 dalam satu rangkaian dengan ayat 7 dan 9. Ada dua tema pada ayat 8 yang menjadi kajian tafsir Ibnu Kathir. Pertama, tentang berbuat baik kepada non muslim. Untuk menjelaskan hal ini Ibnu Kathir mengutip beberapa hadis.


Hadis pertama adalah yang diriwayatkan Ahmad dengan sanadnya dari Asma’ binti Abu Bakar. Asma’ berkata, “Ibuku yang saat itu musyrik datang pada saat orang-orang Quraisy terikat perjanjian. Lalu aku mendatangi Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam dan bertanya, ‘Rasulullah! Ibuku datang dengan senang. Bolehkah aku menjalin hubungan baik dengannya?’ Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam menjawab, ‘iya. Jalinlah hubungan baik dengan ibumu’.


Hadis kedua juga diriwayatkan Ahmad dari jalur Mush’ab bin Thabit dari Amir bin Abdullah bin Zubair dari bapaknya. Ia berkata, “Qutailah mendatangi putrinya, Asma` binti Abu Bakar dengan membawa hadiah berupa ṣināb[5], keju dan anggur. Saat itu Qutailah adalah seorang Musyrik. Asma’ menolak menerima hadiah itu dan tidak mengijinkan ibunya masuk ke rumahnya. Lalu Aisyah bertanya kepada Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Lalu turunlah ayat, لَا يَنْهاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ  sampai dengan akhir ayat. Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam pun memerintahkan Asma’ agar menerima hadiah dan mengijinkan ibunya masuk ke rumahnya”.


Ibnu Kathir menambahkan bahwa hadis kedua juga diriwayatkan Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim juga melalui jalur Mus’ab bin Thabit. Riwayat Ahmad dan Ibnu Jarir menyebutkan bahwa nama keluarga Qutailah adalah Qutailah binti Abdul Uzza bin Abd As’ad dari Bani Malik bin Ḥasal. Sementara dalam riwayat Ibnu Abi Hatim terdapat tambahan, “pada masa (terjadi gencatan senjata – penulis) antara orang-orang Quraisy dengan Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam.


Hadis ketiga diriwayatkan oleh al-Bazzar melalui jalur sanad keponakan Zuhri dari Zuhri dari Urwah dari Aisyah dan Asma’. Mereka berdua berkata, “Ibu kami yang musyrik datang kepada kami di Madinah pada masa terjadi gencatan senjata antara orang-orang Quraisy dengan Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Kami bertanya, ‘Rasulullah! Ibu kami datang kepada kami di Madinah dengan riang. Bolehkah kami menjalin hubungan baik dengannya?’ Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam menjawab, ‘iya. Jalin hubungan baik dengannya’.


Ibnu Kathir menambahkan bahwa al-Bazzar mengomentari hadis ini dengan berkata, “aku tidak mengetahui hadis ini diriwayatkan dari Zuhri dari Urwah dari Aisyah kecuali dari jalur ini”. Ibnu Kathir sendiri memberikan komentar bahwa hadis ini dengan redaksi seperti di atas bernilai munkar. Sebab, ibu Aisyah adalah Ummu Ruman, seorang muslimah yang turut hijrah ke Madinah. Sedangkan ibu Asma’ adalah orang lain, seperti disebutkan dalam hadis-hadis terdahulu.


Tema kedua adalah keutamaan orang-orang yang berbuat adil. Tema ini merupakan penafsiran ayat { إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ}. Ibnu Kathir tidak membahas ayat ini di sini, karena ia telah membahasnya pada surat al-ujurāt. Di dalam surat al-ujurāt, tepatnya pada ayat 9, Ibnu Kathir menafsirkannya dengan mengangkat beberapa hadis yang menunjukkan keutamaan orang-orang yang berbuat adil[6].


Hadis pertama diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dengan sanadnya melalui jalur al-Zuhri dan berujung pada Abdullah bin Amr. Ia mengatakan bahwa Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang beruat adil di dunia berada di atas mimbar yang terbuat dari mutiara dan berada di ‘pangkuan’ (بين يدي) Tuhan, karena keadilannya”. Hadis ini juga diriwayatkan Nasa’i. Ibnu Kathir berkomentar bahwa mata rantai perawainya bagus dan kuat, dan para perawainya sesuai krteria sahih.


Hadis kedua diriwayatkan dari jalur Sufyan bin Uyainah juga berujung pada Abdullah bin Amr. Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam bersabada, “orang-orang yang berbuat adil di hadapan Allah pada hari kiamat kelak berada di atas mimbar dari cahaya yang berada di atas arash. Mereka adalah orang-orang yang berbuat adil dalam memutuskan hukum, dalam keluarga dan dalam kepemimpinannya. Hadis ini juga diriwayatkan Muslim dan Nasa’i dari jalur Sufyan bin Uyainah.


C. Penafsiran Ibnu Ashur[7]


Ada tiga topik dalam pembahasan tafsir surat al-Mumtaḥinah ayat 8, yaitu: korelasi ayat ini dengan ayat sebelumnya, hukum fikih, asbāb al-nuzūl dan bahasa. Semua topik bermuara pada satu tema, yaitu hukum menjalin hubungan baik dengan non muslim.


Pada topik pertama, Ibnu Ashur menghubungan ayat ini dengan ayat 1 dan ayat 2. Menurutnya, ayat ini merupakan kalimat eksplisit (manṭūq) dari implikasi (mafhūm) ayat 1 dan 2. Ayat 1 menggambarkan sifat-sifat musuh Islam sebagai berikut:


 …وَقَدْ كَفَرُوا بِما جاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ (المتحنة:1)


… mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu


Ayat 2 juga menggambarkan sifat-sifat musuh Islam sebagai berikut:


إِنْ يَثْقَفُوكُمْ يَكُونُوا لَكُمْ أَعْداءً وَيَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ وَأَلْسِنَتَهُمْ بِالسُّوءِ (المتحنة:2)


Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu)


Kedua ayat ini menjadi alasan pelarangan menjadikan musuh Islam sebagai teman, sebagaimana disebutkan dalam ayat 1:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ ...


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia …


Dalam ayat 8 Allah mengecualikan orang-orang musyrik yang tidak memendam rasa permusuhan terhadap kaum muslimin, meskipun agama mereka sangat bertentangan dengan Islam.


Selanjutnya Ibnu Ashur membuat dua asumsi terkait hubungan ayat 8 dengan ayat sebelumnya. Pertama, jika pengertian musuh pada ayat sebelumnya adalah orang-orang yang memerangi dan mengusir kaum muslimin, maka ayat 8 menjadi penjelas bagi pengertian musuh pada ayat sebelumnya yang menjadi alasan pelarangan berteman baik dengan non muslim. Ayat 8 menjelaskan bahwa pengertian musuh yang mejadi alasan pelarangan berteman baik dengan non muslim adalah musuh yang memerangi dan mengusir kaum muslimin, bukan sekedar musuh.


Asumsi kedua, jika sekedar berbeda agama dan menolak agama Islam dengan sendirinya sudah disebut musuh, dan karenanya tidak diperbolehkan berteman baik dengan mereka, maka ayat 8 menjadi pembatas (tahki) terhadap cakupan pelarangan pada ayat sebelumnya. Dengan demikian musuh islam yang tidak memerangi dan mengusir kaum muslimin tidak masuk dalam cakupan pelarangan.


Ibnu Ashur sampai pada kesimpulan bahwa baik menggunakan asumsi pertama maupun kedua, hukum pelarangan berteman baik dengan non muslim mengecualikan mereka yang tidak melancarkan perang agama dan tidak mengusir kaum muslimin dari tempat tinggalnya.


Pada topik asbāb al-nuzūl, Ibnu Ashur menanggapi berbagai kisah yang banyak dituturkan ulama tafsir sebagai asbāb al-nuzūl ayat 8, yaitu Khuza’ah, Bani al-Harith, Muzayyanah yang membantu dan menginginkan kemenangan Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam atas kaum kafir Quraisy kisah Asma’ binti Abu Bakar bersama ibunya yang musyrik. Menurutnya, semua kisah tersebut masuk dalam cakupan hukum ayat 8, dan bukan asbāb al-nuzūl dari ayat dimaksud.


Pada topik bahasa, Ibnu Ashur membahasa kedudukan I’rāb {أَنْ تَبَرُّوهُمْ}, makna الْبِرُّ dalam {أَنْ تَبَرُّوهُمْ} dan الْقِسْطُ dalam { وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ} serta unsur balāghah dalam {إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ}. Kedudukan {أَنْ تَبَرُّوهُمْ}adalah badal ishtimāl dari { الَّذِينَ لَمْ يُقاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ}. Yang mempertalikan keduanya adalah keberadaan omīr  هُمْ yang kembali kepada الَّذِينَ. Dengan demikian {أَنْ تَبَرُّوهُمْ}adalah sebagian keadaan dari { الَّذِينَ لَمْ يُقاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ}.


Arti{الْبِرُّ} adalah memuliakan dan memperlakukan dengan baik. Kata ini muta`addi (transitip) dengan bantuan huruf jarr bā`, seperti بَرَّ بِهِ. Tetapi dalam kalimat ini  الْبِرُّ muta`addi tanpa huruf jarr, karena menggunakan model Naz’ al-Khafi, yaitu penghilangan huruf jarr dan al-majrūr bihi dibaca naab.


Arti {الْقِسْطُ}adalah berbuat adil. Kata ini seharusnya muta`addi dengan huruf jarr lām. Tetapi dalam kalimat ini ia muta`addi dengan huruf jarr ila, karena {الْقِسْطُ} mengandung makna { تُفْضُوا} yang berarti menyampaikan. Bisa pula lām di sini bermakna ila. Sebab, lām dan ila sering bertukar posisi. Dan arti ayat tersebut adalah, “... kamu memperlakukan mereka setimpal dengan bagaimana mereka memperlakukan kamu ...”. Sebab, memperlakukan orang lain setimpal dengan perlakuan orang lain terhadap kita adalah keadilan.


Di dalam kalimat{إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ} terdapat unsur balāghah yang disebut tadhyīl[8]. Dan makna kalimat tersebut adalah, Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil, termasuk orang-orang yang berbuat adil terhadap orang lain yang berbeda agama ketika mereka berlaku baik.


Selanjutnya Ibnu Ashur mengutip pendapat al-Thabari yang membantah bahwa ayat ini dibatalkan. Ibnu Wahab bertanya kepada Ibnu Zaid tentang ayat 8. Ibnu Zaid menjawab bahwa ayat ini dibatalkan dengan ayat perang. Menanggapi pendapat tersebut al-Thabari mengatakan, “tidak ada artinya ucapan orang yang mengatakan bahwa ayat ini dibatalkan. Sebab, perlakuan baik seorang mu’min terhadap ahlul arb yang masih memiliki hubungan kerabat ataupun tidak, hukumnya tidak haram sepanjang mereka tidak membuka aib kaum muslimin”.


Di akhir penafsiran, Ibnu Ashur berkesimpulan bahwa berdasarkan ayat ini diperbolehkan berbuat baik kepada ahlu al-dhimmah dan memuliakan mereka dari sudut kemanusiaan, bukan dari sudut kekufurannya.


III. Kesimpulan


Dari ketiga penafsiran di atas dapat disimpulkan topik utama ayat 8, yaitu menjalin hubungan baik dengan non muslim yang tidak memerangi dan mengusir kaum muslimin. Topik ini kemudian diulas dari tiga sudut pandang. Pertama, ulasan dari sudut pandang hukum dengan pertanyaan, bagaimana hukum menjalin hubungan baik dengan non muslim yang tidak memerangi dan mengusir kaum muslimin. Kedua, dari sudut pandang asbāb al-nuzūl dengan pertanyaan, peristiwa apakah yang menjadi asbāb al-nuzūl ayat 8. Ketiga,  dari sudut pandang bahasa dengan pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan { وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ} dalam ayat 8.


Dari sudut pandang hukum fikih terjadi perbedaan pendapat antar ulama tentang hukum menjalin hubungan baik dengan non muslim yang tidak memerangi dan mengusir umat Islam. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini dibatalkan (mansūkh). Sebagian lain berpendapat ayat ini tetap diberlakukan (mukam). Tampaknya ketiga mufassir lebih condong kepada pendapat kedua. Bahkan Ibnu Ashur dengan mengutip al-Thabari menegaskan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini dibatalkan adalah pendapat yang tidak ada artinya.


Salah satu yang menarik dari uraian Ibnu Ashur adalah, kekuatan analisisnya dalam mengidentifikasi pengertian musuh. Pertama, perbedaan keyakinan tidak dapat dengan serta merta disebut sebagai permusuhan, sepanjang tidak ada tindakan aktual, seperti memerangi dan mengusir. Kedua, perbedaan keyakinan dengan sendirinya adalah permusuhan. Dan apapun pengertian musuh yang dimaksudkan, ayat 8 menjadi dasar diperbolehkannya berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi dan mengusir umat Islam.


Perbedaan antar ketiga mufassir terjadi dalam mengidentifikasi asbāb al-nuzūl. Al-Qurtubi menyebutkan bahwa asbāb al-nuzūl ayat 8 adalah kisah Asma’ binti Abu Bakar yang menolak kedatangan ibunya yang musyrik. Menurutnya, asbāb al-nuzūl ini juga dituturkan al-mawardi[9] dalam tafsirnya dan juga diriwayatkan Abu Daud al-Tayalisi dalam musnad-nya[10].


Hal yang sama juga dituturkan Ibn Kathir. Meskipun tampaknya Ibnu Kathir tidak membahas asbāb al-nuzūl, tetapi salah satu hadis yang diangkat Ibnu Kathir dalam menafsirkan ayat 8 adalah hadis Ahmad dari jalur Mush’ab bin Thabit yang mengkaitkan secara eksplisit turunya ayat 8 dengan kisah Asma’ binti Abu Bakar[11].


Pendapat berbeda disampaikan Ibnu Ashur yang mengatakan bahwa kisah-kisah yang disebut sebagai asbāb al-nuzūl ayat 8 sejatinya adalah peristiwa-peristiwa yang masuk dalam kategori hukum ayat 8, bukan asbāb al-nuzūl. Tetapi Ibnu Ashur tidak menjelaskan alasan yang mendasari pendapatnya.


Ketiga mufassir juga berbeda pendapat dalam mengartikan { وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ}. Al-Qurtubi dengan mengutip pendapat Ibnu Arabi menafsirkanya dengan  تُعْطُوهُمْ قِسْطًا مِنْ أَمْوَالِكُمْ (memberikan kepada mereka sebagian hartamu). Dan atas dasar ini Ibnu Arabi berpendapat, diperbolehkan memberikan harta, termasuk memberikan nafkah, kepada non muslim yang hidup berdampingan damai dengan kaum muslimin. Ibnu al-Arabi beralasan bahwa berlaku adil adalah kewajiban, baik  terhadap sesama muslim maupun non muslim[12]. Sedangkan Ibnu Kathir dan Ibnu Ashur berpendapat bahwa pengertian { وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ} adalah berlaku adil.


Di samping topik utama dengan tiga sudut pandang ulasan, Ibnu Kathir menurunkan sub topik, keutamaan berbuat adil. Sub topik ini dimabil dari bagian akhir dari ayat 8. Sementara Ibnu Ashur memaparkan kajian balaghahnya terhadap bagian akhir dari ayat 8.©2013


Bibliografi


al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Beirut: Dār Tawq al-Najāt, 1422 H


Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur`an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1989


al-Qurtubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`an, Cairo: Dār al-Kutub al-Masriyyah, 1964


Ibnu al-Arabi, Muhammad bin Abdullah Abu Bakar, Aḥkām al-Qur`an, Beirut: Dā al-Kutub al-‘Arabiyyah, 2003


Ibnu Ashur, Muhammad al-Tahir bin Muhammad, al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, Tunisia: al-Dār al-Tunisiyah, 1984


Ibnu Hanbal, Muhammad bin Ahmad, Musnad al-Imām Ahmad bin Ḥanbal, Beirut: Mu`assasat al-Risālah, 2001


Ibnu Kathir, Abu al-Fida` Isma’il, Tafsīr al-Qur`an al-‘Aẓīm, Bierut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1419 H


Ibnu Manẓur, Muhammad bin Mukrim Jamaluddin, Lisān al-‘Arab, Beirut: Dā Ṣādir, 1414 H


al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali bn Muhammad, al-Nukat wa al-‘Uyūn, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth


al-Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakar Jalaluddin, Sharḥ `Uqūd al-Jumān, Beirut: Dār al-Fikr, tth


al-Tayalisi, Abu Daud Sulaiman bin Daud, Musnad Abi Dāwud al-Ṭayālisī, Cairo:Dār Hajar, 1999





 






[1] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur`an dan Terjemahannya, (Bandung: Gema Risalah Press, 1989), 924.




[2] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (Beirut: Dār Tawq al-Najāt, 1422 H), 1:14.




[3] Disadur dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi,  al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`an, (Cairo: Dār al-Kutub al-Masriyyah, 1964), 18:59-60




[4] Disadur dari Abu al-Fida` Isma’il Ibnu Kathir, Tafsīr al-Qur`an al-‘Aẓīm, (Bierut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1419 H), 8:118-119.




[5] Campuran biji sawi dengan anggur. Lihat, Muhammad bin Mukrim Jamaluddin Ibnu Manẓur, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dā Ṣādir, 1414 H), 1:531.




[6] Disadur dari Abu al-Fida` Isma’il Ibnu Kathir, Tafsīr al-Qur`an al-‘Aẓīm, 7:350.




[7] Disadur dari Muhammad al-Tahir bin Muhammad Ibnu Ashur, al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, (Tunisia: al-Dār al-Tunisiyah, 1984), 28:151-153.




[8] Tadhyīl adalah menghadirkan suatu kalimat yang mengandung makna kalimat sebelumnya untuk menegaskan makna kalimat pertama. Lihat Abdurrahman bin Abi Bakar Jalaluddin al-Suyuthi, Shar `Uqūd al-Jumān, (Beirut: Dār al-Fikr, tth), 74




[9] Lihat, Abu al-Hasan Ali bn Muhammad al-Mawardi, al-Nukat wa al-‘Uyūn, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), 5:519-520.




[10] Lihat, Abu Daud Sulaiman bin Daud al-Tayalisi, Musnad Abi Dāwud al-Ṭayālisī, (Cairo:Dār Hajar, 1999). 3:209-210




[11] Lihat, Muhammad bin Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imām Ahmad bin Ḥanbal, (Beirut: Mu`assasat al-Risālah, 2001), 26:37.




[12] Lihat, Muhammad bin Abdullah Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Aḥkām al-Qur`an, (Beirut: Dā al-Kutub al-‘Arabiyyah, 2003),  4:228


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Terkini

PERKEMBANGAN LEMBAGA PERADILAN DARI MASA KENABIAN HINGGA DINASTI ABBASIYAH

Download versi pdf A. Pendahuluan Agama apapun tentu berisikan ajaran-ajaran tentang kebenaran dan petunjuk bagi penganutnya agar mendapatka...

Paling Sering Dibaca