Kamis, 01 November 2012

Fungsi Mimpi Bagi Kaum Papa

Freud pernah bilang bahwa mimpi adalah ekspresi terselubung dari keinginan yang tak terpenuhi dalam alam sadar. Dalam pengertian tersebut mimpi bisa ditangkap sebagai alternatif ketika keinginan di alam sadar tak terwujud. Mimpi menyediakan segala bentuk kenikmatan dan kemewahan siap saji. Bahkan mimpi bisa mengkombinasikan berbagai kesenangan yang tak pernah dan tak mungkin ada di alam kenyataan. Hanya dalam mimpi kita bisa berjemur di pantai Kuta sambil menyaksikan debu tebal reruntuhan gedung WTC atau menyeruput teh poci di Simpang Lima sambil menyaksikan hujan salju. Untuk mendapatkan semua itu tidak diperlukan kerja keras. Cukuplah dengan banyak banyak berkahyal tentang kesenangan, kemewahan, dan kenikmatan, lalu tidur.


Tapi seorang novelis, Edy D. Iskandar, --yang karyanya, Gita Cinta Dari SMA,  pernah ngetop di layar lebar—bilang bahwa seindah indah mimpi masih indah realita walau bagaimanapun pahit dan getirnya. Mimpi hanyalah kenikmatan daya khayal. Ia bukan keindahan Tamara Blezinsky yang dapat dinikmati dengan mata, bukan  kenikmatan Piza Hut yang dicerap dengan lidah, bukan pula gengsi sebagai pejabat berpengaruh yang meningkatkan kebanggaan nyata. Mimpi hanyalah halusinasi alam bawah sadar yang muncul liar dalam tidur. Sungguh sungguh makan nasi putih murni masih lebih baik daripada bermimpi makan Piza Hut. Sungguh sungguh menjadi gelandangan masih lebih baik daripada bermimpi jadi pejabat.


Mimpi memang bukan kenyataan. Tapi mimpi bisa menjadi saat paling indah yang menyelingi deretan panjang penderitaan di alam nyata. Dalam kemiskinan hidup serba menggunakan standar “YEN”; yen ono (bahasa jawa: kalau ada). Mangan yen ono seng dipangan, yandang yen ono seng disandang, ngayup yen ono seng dinggo ayupan (makan kalau ada makanan, berpakaian kalau ada pakaian, berteduh kalau ada tempat berteduh). Hidup dalam standar “YEN” akrab dengan penderitaan, dan kesenangan menjadi barang langka yang tak selalu hadir dalam rutinitas 24 jam.  Karenanya tidur dan mimpi menjadi rutinitas terindah diantara deretan panjang penderitaan. Dan saat paling disesalkan adalah ketika seseorang terbangun dari tidurnya; ketika ia harus kembali menggeluti kenyataan pahit hidupnya.


Pemaknaan mimpi semacam itu sering dicibir sebagai bentuk kepasrahan dan biang kemalasan. Jika mimpi tidak pernah sungguh sungguh mengakhiri penderitaan kemiskinan, maka menikmati mimpi diantara penderitaan kemiskinan adalah bentuk pelarian dan kepasrahan. Mimpi menjadi tempat persembunyian dari deraan kesedihan. Mimpi adalah ketidakberdayaan menghadapi kemiskinan sebagai takdir Tuhan.


Celaka! Keindahan apalagi yang bisa dinikmati kaum papa, jika mimpi sebagai satu satunya keindahan yang tersisa harus dinista dan jika mimpi sebagai sisa kedamaian yang dimilikinya terus dicerca.


Sangatlah naif bila berpikir bahwa para “penderita” kemiskinan adalah orang orang malas yang bersimpuh pasrah menghadapi kenyataan hidupnya. Justru jika kemalasan dan kepasrahan diukur dari tingkat kegiatan fisik dalam memperoleh pendapatan, banyak penderita kemiskinan yang masuk peringkat utama orang orang yang liat, giat dan tidak mudah pasrah. Persoalannya adalah bahwa tingkat kegiatan fisik yang tinggi tidak identik dengan penghasilan yang tinggi. Dan karenanya kerja keras sebagai bentuk ikhtiyar dan bukti ketidakmalasan menjadi bagian dari penderitaan yang harus dialami bukan demi kemewahan hidup di masa mendatang tetapi demi mempertahankan hidup dalam penderitaan.


Kalau demikian halnya, patutkah mimpi sebagai selingan dan dalam takaran serta dengan proses yang wajar dinistakan?


Jawabannya, “tidak”. Berharap secuil kenikmatan dari mimpi bukan barang nista, sebab mimpi bagian dari secuil harapan. Mimpi bagi kaum papa adalah cara paling efektif untuk dapat sesekali menikmati kemewahan orang kaya. Mimpi menjadi tempat persembunyian paling aman untuk sesekali menghindari deraan penderitaan. Bahkan tidak jarang mimpi menjadi bagian dari materi doa yang tak henti hentinya dilafalkan, seperti mimpi seorang pedagang asongan yang selalu dilafalkannya dalam doa, “Tuhan, wujudkanlah mimpi kami. Agar kami sungguh sungguh dapat merasakan kemewahan Volvo yang tiap hari berlalu lalang menyampingi tubuh dekil kami sambil memuntahkan asap dan mengibaskan debu jalanan ke tubuh kami”.


Namun demikian, toh masih sangat banyak mimpi yang tidak menjadi kenyataan. Atau barangkali terlalu naif menjadikan mimpi sebagai materi proposal yang diajukan kepada Tuhan. Sebab, sesungguhnya kemiskinan merupakan “takdir” tu(h)an sang penguasa. Banyak kemiskinan yang diakibatkan oleh pilihan sadar penguasa untuk memiskinkan sektor pekerjaan tertentu dan memakmurkan sektor pekerjaan lain. Dalam hal ini kemiskinan tidak diakibatkan oleh kemalasan, tetapi karena kebijakan penguasa tidak sejalan dengan keinginan orang orang miskin.


Lihat saja nasib para tukang becak, pedagan kaki lima, dan pedagang asongan di banyak kota besar. Mereka harus “mengemasi” pekerjaan bahkan mungkin juga rumahnya, karena lingkungan kerja serta lingkungan rumah mereka tidak selaras dengan cita cita kota adipura yang mencitrakan ketertiban, keindahan dan kemakmuran. Dalam setting kota adipura pekerjaan mereka terlalu norak untuk dibirakan berkeliaran mengotori keindahan dan menyumbat lalu lintas kota. Gubuk liar -- yang menjadi “payung permanen” mereka-- pun terlalu dekil utuk tetap dibiarkan berdiri setengah tegak diantara rumah istana orang orang kaya. Bahkan penampilan miskin mereka terlalu memalukan untuk dipamerkan kepada tamu negara. Dengan demikian cita cita kota adipura yang dipuja para penguasa telah “mentakdirkan” kemiskinan dan menutup kesempatan kemakmuran bagi golongan tertentu.


Tampakmya mimpi bagi penghuni miskin kota adipura memang bukan untuk dilafalkan sebagai doa. Mimpi mereka seharusnya menjadi cambuk yang menyadarkan tanggung jawab mereka atas nasib dirinya. Mimpi mereka semestinya menjadi aspirasi yang dinegosiasikan kepada penguasa. Namun, ketika dengan kesadarannya, mereka tak berdaya melawan “takdir” penguasa, mimpi hanyalah moment melepas lelah.@2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Terkini

PERKEMBANGAN LEMBAGA PERADILAN DARI MASA KENABIAN HINGGA DINASTI ABBASIYAH

Download versi pdf A. Pendahuluan Agama apapun tentu berisikan ajaran-ajaran tentang kebenaran dan petunjuk bagi penganutnya agar mendapatka...

Paling Sering Dibaca